Membajak sawah memang identik dengan pertanian. Sedangkan membajak buku, sangat identik dengan perampokan pikiran. Apalagi bagi yang membeli buku bajakan. Seperti lagu, entah apa yang merasukimu? Kok tega beli buku bajakan, mau pakai alasan apa? Harga buku asli mahal?
Bicara tentang pembajakan buku, pastilah muncul karena adanya permintaan. Seperti hukum ekonomi, ada penawaran, ada pula permintaan. Meskipun sudah lama saya tidak sekolah lagi, namun hukum penawaran dan permintaan masih saya ingat, tentunya berkat bantuan Google juga sih.
“Apabila harga suatu barang meningkat, maka jumlah barang yang diminta akan menjadi turun. Dalam kondisi sebaliknya, jika harga suatu barang turun, maka jumlah barang yang akan diminta jelas meningkat (Cateris Paribus).”
Kondisi Ceteris Paribus dalam kutipan tersebut adalah faktor-faktor lainnya tetap sama, asumsi yang diambil mengabaikan berbagai faktor yang diketahui dan tidak diketahui. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hubungan antara harga dan kuantitas permintaan.
Lalu, bagaimana pula dengan penawaran? Boleh simak kutipan berikut ini:
“Bila harga suatu barang itu tinggi, maka barang yang akan ditawarkan menjadi semakin banyak. Sebaliknya, jika harga suatu barang rendah, maka barang yang akan ditawarkan tentunya jadi semakin sedikit (Ceteris Paribus).”
Permintaan berkebalikan dengan penawaran. Dalam tulisan ini, yang akan difokuskan adalah tentang buku. Tentunya, buku di sini bukan buku sembarangan. Bukan berupa buku nikah, tabungan, berbentuk saku dengan judul Dasadarma Pramuka atau malah buku diary yang mungkin sekarang sudah tidak dikenal lagi oleh anak jaman now. Sementara diare, masihlah.
Buku adalah Jendela Dunia
Entah siapa yang mempopulerkan slogan sesuai subjudul di atas itu: Buku adalah jendela dunia. Jangan langsung ditanya, terus pintunya mana? Jangankan bicara pintu, jendelanya saja banyak yang rusak, kok! Lho, rusak karena apa? Jelas rusak karena pembajakan. Apalagi jika masih banyak yang membeli buku bajakan. Miris, membuat hati teriris dan kondisinya sangatlah kritis.
Memang benar slogan itu. Ada memang banyak sekali manfaat dari membaca buku. Sampai sekarang buku masih dianggap primadona dalam mendapatkan ilmu. Bagaimana dengan media lain, di luar buku?
Nah, perkembangan teknologi jaman now itu tentunya melahirkan media baru untuk belajar. Contohnya belajar melalui video-video Youtube. Bagus mana belajar melalui video atau membaca buku? Jawabannya boleh dilihat pada hasil survey tentang video Youtube untuk belajar.
Meskipun tetap ada pula kenyataan yang lain bahwa buku cetak masih lebih unggul. Mau pilih yang mana? Perbedaannya adalah pada alatnya. Meskipun kamu punya gawai, tapi tidak ada sinyal internet maupun WiFi gratisan, maka tetap kamu tidak mengakses video Youtube. Namun, kamu masih bisa membaca buku karena buku cetak tidak membutuhkan internet untuk membacanya.
Baca Juga: Kaum Rebahan Tetap Butuh Perubahan?
Slogan buku adalah jendela dunia ini memang banyak membuka wawasan orang. Dari yang tadinya tidak tahu, menjadi tahu. Bahkan dari yang awalnya sok tahu, benar-benar soknya hilang.
Otak yang diisi dengan aneka pengetahuan akan makin segar. Ringan diajak berpikir karena amunisinya ada. Mau menulis gampang, mau bicara di depan umum hasilnya ranum. Pokoknya, tidak ada ruginya deh baca buku itu. Meskipun dilihat dulu sebelumnya, baca buku apanya nih?
Selain buku dianggap sebagai jendela dunia yang membuka wawasan, buku juga membuka jendela penghasilan. Mulai dari penulis buku, editor, pembuat kaver, tukang layout, tukang sampul plastik, distributor sampai dengan tukang parkir toko buku resmi. Semuanya menjadi satu alur kebersamaan yang indah, dengan pembagian keuntungan atau rezeki masing-masing.
Namun, harapan tidaklah sesuai dengan kenyataan. Masih banyaknya pembajakan buku, membuat romantisme keuntungan dan kenikmatan penghasilan para pelaku industri buku menjadi sangat berantakan. Dan, efeknya pun jadi jangka panjang, bahkan sangat panjang! Melebihi panjangnya lamunan seorang jomblo yang ingin menikah. Seperti apa efek negatif tersebut?
Faktor Utama Membeli Buku Bajakan
Ketika ada sebagian masyarakat yang membeli buku bajakan, apa sih alasannya? Kita bisa lihat dari pengakuan beberapa anggota masyarakat. Berikut videonya:
Dalam tayangan tersebut, ada tiga faktor atau alasan dari masyarakat yang diwawancarai, di antaranya:
- Leffy (23): “Buku itu yang penting substansinya, isi dari buku itu seperti apa?”
- Ahmad (27): “Penginnya punya yang asli, tapi nggak bisa beli. Karena cerita dan karangannya sama.”
- Muhammad Adam (21): “Saya biasanya beli di Gramedia. Cuma kalau yang aslinya susah dicari atau nggak ada di toko buku, saya nyarinya yang bajakan. Itu pilihan terakhir.”
Nah, itu mungkin sudah cukup mewakili dari alasan masyarakat yang dengan santainya membeli buku bajakan. Tidak cuma di kios tradisional dan lokal, tetapi juga di lokapasar, dulu istilahnya adalah marketplace. Yah, namanya juga diubah jadi Bahasa Indonesia gitu lho!
1. Membeli Buku Bajakan Karena Harganya Murah
Ini adalah alasan sebagian orang membeli atau menginginkan buku dengan harga yang murah. Pertanyaannya, murah itu yang bagaimana sih? Kenapa ada satu harga dibilang murah, tetapi itu sebenarnya mahal bagi yang lain. Begitu pula sebaliknya. Ah, itu mahal, tapi sebenarnya tidaklah murah. Lho, ya, iyalah, mahal itu memang tidaklah murah.
Saya ambil contoh dari budaya pernikahan di Sulawesi ya! Ini sudah jamak dan umum terjadi. Sering di sana pakai budaya “uang panaik”. Kamu pernah tahu filmnya?
Uang panaik menjadi semacam persyaratan bagi seorang laki-laki untuk bisa mendapatkan perempuan idamannya. Jumlahnya pun fantantis. Bisa ratusan juta dan jumlah besar lainnya. Nah, karena saya juga tinggal di Sulawesi, tepatnya Sulawesi Tenggara, dikatakan teman saya bahwa uang panaik sebesar Rp 30 juta itu sudah murah. Hah, murah?!
Kok bisa dikatakan murah? Sebab, masih ada yang lebih tinggi lagi. Teman saya di Makassar menikah dengan uang panaik 40 juta. Di sana uang segitu juga dikatakan murah. Padahal, masih banyak pemuda yang ingin menikah, tetapi selalu alasannya terhalang dengan uang panaik.
Baca Juga: 9 Alasan Tanpa Pakai Adat Pernikahan
Bahkan untuk sekadar Rp 30 juta yang dikatakan murah, ada pemuda berjuang sampai berdarah-darah. Akhirnya, kalau belum terkumpul uangnya bagaimana? Ya, terpaksa gigit jari saja deh.
Bagi yang mampu, uang tiga puluh juta rupiah adalah gampang dipegang. Bahkan lebih dari itu pun oke. Sip. Makanya, senanglah orang atau laki-laki yang keluarganya menengah ke atas. Bisa menikah dengan cukup mudah.
Sedangkan bagi yang kalangan menengah ke samping, apalagi menengah ke bawah, harus menabung dulu selama puluhan tahun atau cari yang lain. Tunggu dulu, menabung puluhan tahun, mau nikah umur berapa ya? Hem…
Murah dan mahal memang persepsi yang kadang cuma ada di pikiran. Minum kopi contohnya, seperti kebiasaan kamu tiap pagi. Minum kopi di kantin sebelah kantor, mungkin cuma lima ribu. Tapi minum kopi di Starbucks bisa berkali-kali lipat. Minimal Rp 100 ribu, lah. Meskipun bisa jadi kantormu di sebelah Starbucks, tapi tetap harganya bisa naik seolah-olah sampai ke angkasa.
Begitu pula dengan buku. Yang dikatakan mahal itu yang seperti apa, hoy? Buku hanya 40 ribu rupiah, 50 atau bahkan tidak sampai 100 ribu, masih dikatakan mahal? Bisa jadi itu mahal kalau belinya tiap hari. Nah, ini! Mungkin kamu belinya tiga bulan sekali, enam bulan sekali, asal jangan-jangan seumur hidup sekali ya? Parah banget kalau ini.
Plis, deh, buku itu sama sekali tidak mahal, kok. Bahkan, termasuk murah, jika kamu mau lihat dalamnya, value-nya, manfaat atau benefit atau bahkan penulis, penerbitnya, dan lain sebagainya. Apa yang akan kamu dapatkan dari sebuah buku itu? Bisa jadi, yang akan kamu dapatkan dari sebuah buku itu nilainya sampai jutaan, puluhan juta, ratusan juta, bahkan tidak terhingga.
Lho, yang tidak terhingga itu seperti apa, Mas? Gampang! Al-Qur’an, buku hadits shohih, sejarah Islam dan buku motivasi lain. Itu bisa bikin hidupmu jadi lebih hidup, bukan lagi redup, tertutup atau malah tak semanis sirup. Percaya deh, kalau kamu beli buku yang asli, meskipun itu mungkin kamu anggap tidak terlalu murah juga, kamu akan dapatkan yang jauh lebih besar dan banyak daripada sekadar label harga di buku itu.
Bila memang kamu terkendala dengan harga buku yang memang kamu tidak sanggup membelinya, maka bisa kok tetap gratis dan pakai buku asli. Pinjam saja ke perpustakaan di daerahmu, baca secara online di Perpusnas atau patungan saja dengan teman atau keluarga. Beres ‘kan? Tidak ada hal yang mustahil, selama kita terus usaha. Mendapatkan buku asli dan legal bukan lagi hil yang mustahal.
2. Karena Cerita dan Karangannya Sama
Jika ada orang yang beralasan membeli buku bajakan karena toh isinya sama, ceritanya sama, karangannya sama, kira-kira bagaimana menurutmu? Ya, jelas, dong, namanya saja buku bajakan, pastilah sama dengan aslinya. Eits, tapi tunggu dulu! Yang lebih tepat itu adalah serupa tapi tak sama.
Seperti dalam kuis-kuis kecil yang pernah menghuni majalah maupun dunia online, carilah 10 perbedaan dalam dua gambar. Itulah kuis serupa tapi tak sama. Buku asli, dengan buku bajakan, tidak bisa disamakan antara isi, cerita dan karangannya yang sama. Lalu, di mana perbedaannya sih?
Pertama, dari segi kualitas sudah berbeda. Okelah, mungkin ada di antara kamu yang menganggap bahwa tulisannya sama, tapi coba lihat kualitas kertasnya, gambar depan (kaver), lemnya, bahkan sampai beberapa halaman tertukar maupun hilang. Kertas yang dipakai buku bajakan lebih jelek, tipis dan tidak tahan lama. Menjilidnya tidak rapi, lem mudah lepas, pokoknya serba tidak memuaskan, lah.
Buku bajakan yang dari segi harganya lebih murah, bahkan sangat-sangat murah, memang tidak bisa menjanjikan hasil buku yang maksimal. Ingat toh peribahasa: ada harga, ada rupa. Buat apa kamu beli buku bajakan, yang notabene cepat rusak? Apakah kamu tidak punya keinginan agar buku itu bisa dibaca orang lain? Bisa diwariskan ke keluarga kamu sampai 10 turunan dan 12 kenaikan?
Baca Juga: 5 Ciri Penting Jika Anda Cerdas Atau Pintar
Misalnya, kamu nanti memberikan buku itu ke anak cucu, lalu bagaimana perasaan mereka ketika membatin bahwa ayahnya, kakeknya, kakek buyutnya, suka membeli buku-buku bajakan? Pastilah persepsi ke diri kita akan jadi jelek banget. Tidak punya uang, lah, suka kualitas rendahan, tidak menghargai jerih payah penulis dan penerbit, serta sebutan lainnya. Mungkin kita tidak tahu atau malah sudah berpindah ke alam lain, tapi cap itu susah dihilangkan.
Apa yang mau dibanggakan dari sebuah buku bajakan? Apa coba? Cuma dengan alasan, ah, toh, keduanya sama, yang berbeda jelas adalah pemikiran dan penggunaan akal sehatnya, Bro! Orang yang membeli buku asli, dia adalah jempolan. Menghargai betul proses lahirnya sebuah buku, meski tidaklah serumit lahirnya bayi. Harga yang dibayarkan memang lebih mahal, tapi justru yang dibayar adalah harga diri. Ya, harga diri kita Bro! Harga diri ini mahal, semestinya lebih mahal dari segepok rupiah.
3. Susah Dicari Atau Tidak Ada di Toko Buku
Alasan karena bukunya sudah langka? Terus, akhirnya membeli buku bajakan? Kalau karena alasan buku susah dicari atau tidak ada, memangnya sudah cari atau keliling di berapa toko buku sih? Apakah sudah keliling toko buku di Indonesia ini? Meski terdengar lebay, tetapi alasan ini masih kurang tepat untuk membenarkan pembajakan buku.
Jika tidak ada di toko buku konvensional, bagaimana dengan di toko buku online, seperti Mizan Store. Biasanya toko buku online bisa menyediakan buku-buku langka yang original dan tidak laku di toko buku biasa. Semestinya bisa dicoba juga.
Buku yang susah dicari itu bisa diminta ke penerbit untuk membuat lagi, atau minta izin penerbit untuk digandakan dengan keperluan pribadi tentunya. Namun, ketika buku dari penerbit tersebut dibajak, bukankah dia jadi makin kolaps? Bisa jadi penerbit itu sudah tidak lagi memproduksi buku karena toh banyak yang dibajak. Hayo, mungkin tidak? Bisa apa tidak? Bisa dong! Mungkin saja dong!
Fakta lainnya yang lebih mencengangkan dunia persilatan, maksudnya dunia perbukuan, ternyata buku-buku yang dibajak tidak selalu dan tidak mesti buku-buku lama. Malah, yang lebih menggiurkan bagi si pembajak adalah justru buku-buku baru.
Baca Juga: Mencari Recehan Dunia, Aduhai Asyiknya
Logikanya, buku-buku baru itu ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Oleh penggila baca. Mungkin ada satu pengarang yang terkenal, buku-bukunya menarik dan selalu ditunggu. Ketika ada berita dia akan mengeluarkan buku baru, pada saat itu, bisa muncul langsung buku bajakannya. CLING!!! Seperti itulah kecepatan buku bajakan baru, melebihi cepatnya sulap jin dalam iklan rokok.
Mau buktinya lebih jelas? Baiklah, ini dia. Seorang anggota Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ) Hisworo Banuarli, mengatakan bahwa para pembajak bahkan mengincar buku-buku yang baru direncanakan terbit. Ini seperti yang terjadi kepada buku Seni, Politik, dan Pembebasan karya Goenawan Mohamad. Buku asli belum dirilis, tapi bajakannya sudah beredar duluan. Waduh…!
Solusi Menghindari Pembajakan Buku
Membaca sampai di sini, boleh juga sambil minum gorengan dan makan kopi, eh, terbalik, mungkin kamu sudah mulai paham dengan kejahatan luar biasa dari pembajakan buku. Para pelaku, industri, produk bahkan konsumennya terlibat dalam suatu proses yang tidak baik, haram dan tidak berkah dunia, terlebih akhirat.
Bagi kita yang mencintai buku, dengan segala isinya, maka usahakan dan upayakanlah untuk tidak lagi membeli buku bajakan. STOP BUKU BAJAKAN! Itulah yang harus menjadi cita-cita bersama kita.
Jangan cuma bercita-cita menjadi menteri, terus pakai baju putih dan batik, berharap dipanggil presiden. Padahal, kalau mau dipanggil presiden, ya, tinggal suruh keluarga kamu, boleh juga anak-anak kamu, buat manggil kamu dengan sebutan “Presiden.” Jelas ‘kan bahwa itu tandanya kamu sudah dipanggil presiden.
Setiap masalah pastilah ada solusinya. Ketika masalah itu belum ada solusinya, maka selamanya akan terus jadi masalah. Termasuk dalam hal ini adalah pembajakan buku. Lalu, bagaimana solusi yang bisa ditawarkan?
1. Menggalakkan Kampanye Anti Pembajakan Buku Melalui Media Sosial
Kampanye memang tidak selalu kaitannya dengan Pemilu, karena dalam tulisan ini artinya Pemilu artinya Pembajakan Bikin Pilu. Hem, disangkutpautkan saja.
Bagaimana model kampanye anti pembajakan buku di sini? Jelas yang harus lebih disasar adalah generasi muda atau istilah yang masih belum berubah adalah anak jaman now. Mengapa kok sasarannya mereka? Kenapa bukan orang tua? Sederhana saja jawabannya dan sah-sah saja meski tidak pakai penghulu, bahwa anak-anak muda jaman now adalah generasi masa depan. Mereka perlu disadarkan dengan dampak negatif pembajakan buku.
Boleh dimulai dari medsos, Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya. Buat tagar #AntiPembajakanBuku atau yang lain. Yang penting bisa menjadikan anak-anak muda tergerak untuk bersemangat tidak lagi membeli buku bajakan, apapun bentuknya.
Baca Juga: 5 Tips Ampuh Menghilangkan Malas
Tagar yang terus diviralkan atau dibicarakan, maka akan bisa menduduki Trending Topic. Dengan demikian, tagar atau kampanye semacam ini betul-betul tanda keseriusan bahwa kita tidak ingin lagi ada pembajakan buku.
Terus-menerus melakukan kampanye anti pembajakan buku bisa membuat mental anak muda jadi lebih terbangun. Mereka akan merasa malu, minder, tidak percaya diri, sekaligus resah dan gelisah ketika membeli buku bajakan. Menanamkan sifat seperti itu pada mereka akan sangat bagus demi kemajuan buku dengan segala industri dan pengembangannya.
2. Menjalin Komunikasi dengan Pemerintah, Terutama Mendikbud yang Baru
Nah, kan kabinet baru Indonesia Maju baru saja dilantik pada Rabu, 23 Oktober 2019 yang lalu. Salah satu yang bisa cocok dengan gerakan moral ini adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim.
Sosok beliau sebagai bagian dari generasi milenial menjadi sebuah power unik untuk mendorong gerakan moral mencegah pembajakan buku. Forum atau konsorsium penerbit mesti menjalin komunikasi dengan pemerintah, dalam hal ini Mendikbud atau menteri lain yang mungkin terkait, agar dimasukkan program sosial anti pembajakan buku. Bila hal tersebut diterima, maka akan ada suatu kekuatan yang kuat dari pemerintah sehingga pembajakan buku bisa dicegah seminimal mungkin, bahkan hilang.
3. Program Mengupas Lebih Dalam di Penerbit dan Percetakan Buku
Mungkin, anak-anak remaja kita sudah banyak yang membaca buku, tetapi untuk proses lahirnya buku, sebagian besar belum tahu. Nah, ini menjadi kesempatan yang besar dari penerbit untuk lebih mengenalkan proses pembuatan atau produksi buku ke mereka.
Anak-anak sekolah menengah maupun mahasiswa bisa dibuatkan program kunjungan ke penerbit sampai ke percetakan tertentu yang ada di kotanya. Ketika di kota tersebut tidak ada penerbit, maka bisa ke kota lain selama terjangkau dan mudah dilakukan.
Kunjungan para murid ke penerbit bisa membuka cakrawala dan wawasan mereka, bahwa memang proses untuk melahirkan sebuah buku itu tidak mudah. Butuh usaha yang berkesinambungan mulai dari penulis, editor, layouter, perancang sampul dan bagian lain, sampai buku benar-benar berada di tangan konsumen. Ketika kesadaran mereka muncul bahwa buku itu tidak mudah diproses, maka peluang mereka untuk membeli buku bajakan akan bisa dihentikan.
4. Kampanye Melalui Artis Atau Idola Anak Milenial
Ambil saja satu ikon anak muda yang sedang digandrungi. Contohnya: Nia Ramadhani misalnya. Atau siapapun artis yang sedang viral, meskipun tidak selalu ada kaitannya dengan salak ya…
Artis yang mengkampanyekan anti pembajakan buku bisa menjadi contoh bahwa mereka begitu peduli dengan nasib generasi anak muda atau milenial itu. Buku yang tetap akan selalu menjadi jendela dunia harus dipertahankan kelestariannya dengan berada pada kondisi original. Karena cuma dengan cara original dan didapatkan secara legal, maka buku bisa terus diproduksi sekaligus dinikmati dengan maksimal.
5. Membangun Komunikasi dengan Konsorsium Penerbit Lain di Berbagai Daerah
Langkah Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ) yang melaporkan kasus pembajakan buku ke Polda DIY merupakan langkah yang luar biasa. Hal itu merupakan bentuk dan langkah hukum yang pasti dan jelas bahwa memang pembajakan buku bukan lagi masalah kaleng-kaleng. Akan tetapi, merupakan kasus luar biasa ganas yang bisa menelan rezeki banyak pihak, kaitannya dengan industri buku.
Semestinya langkah tersebut juga diikuti dengan forum atau komunitas penerbit lain di berbagai daerah Indonesia. Mereka membentuk jaringan atau konsorsium penerbit yang kuat, lalu melaporkan kasus pembajakan buku juga ke aparat kepolisian. Jika lebih dari satu daerah yang melaporkan, maka kasus tersebut merupakan kasus besar dan semestinya aparat jangan main-main atau menganggap biasa-biasa saja!
Aparat kepolisian semestinya tanggap dan segera menindaklanjuti masalah pembajakan buku demi ikut membangun tatanan masyarakat yang lebih intelek dan berorientasi ilmu pada masa sekarang, terlebih di masa depan.
Membuang Sampah di Sungai
Sebentar, sebentar, dari tadi membahas tentang pembajakan buku, kok sekarang malah bahas membuang sampai di sungai? Hubungannya apa coba? Ya, kalau ada pertanyaan semacam ini, jawabannya jelas: hubungannya baik-baik saja kok! Nah..
Kok mengambil analogi buang sampah di sungai sih Mas? Begini, para pembaca sekalian, fenomena membuang sampah di sungai atau kali sebenarnya menarik. Itu sebetulnya berasal dari persepsi dari orang saja lho! Dia berpikir dari rumahnya di pinggir sungai. “Ah, buang sampah cuma kecil kok. Cuma bungkus permen kok. Sampah segini jelas nggak bakalan mengotori sungai. Buang saja deh!” Cuiingg… Bungkus sialan itu meluncur ke aliran air.
Itu dari persepsi atau pemikiran satu orang. Lalu, bagaimana jika tidak cuma orang yang berpikir seperti itu? Bisa saja lho, ada orang lain yang beranggapan sama. Sampah yang dia buang tidak akan mengotori sungai karena dirasa kecil saja kok. Cuma segini doang kok. Tidak akan bikin kotor sungai. Nyatanya?
Jika beberapa orang, puluhan orang, ratusan orang sampai belasan ratus orang yang tinggal di bantaran kali persepsinya sama, rupanya punya efek sangatlah besar! Sampah-sampahnya sangat besar dan banyak. Dari masing-masing yang mengatakan, sampahnya cuma kecil, terkumpul di sungai sampai menyumbat aliran sungai itu sendiri. Menimbulkan bau yang tidak sedap dan muncul aneka penyakit.
Ketika banjir, hem, jangan ditanya lagi! Sampah-sampah itu akan kembali lagi ke si pembuangnya. Membawa kuman dan bibit berbahaya masuk ke dalam rumah. Bahkan dengan bonusnya pula. Penyakit pes karena kencing tikus atau mungkin saja masuk ular.
Bandingkan dengan pembajakan buku. Pola pikirnya bisa sama. Ah, toh, cuma kita sendiri kok yang beli. Kita kan tidak jual buku itu. Buat konsumsi sendiri. Namun, apa yang terjadi? Ternyata, kita tidak cuma sendiri. Begitu banyak orang yang membeli buku bajakan, sampai akhirnya membuat industri penerbitan buku kembang kempis. Bahkan lebih banyak kempisnya daripada kembangnya.
Sampai di sini sudah paham betul ya? Semoga mulai sekarang pemikiran, cara pandang atau logika di hati kita bisa berubah bahwa jangan berpikir egois tentang pembajakan buku. Betul-betul langkah kita untuk selalu membeli buku original di tempat yang resmi akan menentukan masa depan intelektualitas kita.
Tidak terbayang kalau banyak penerbit yang gulung tikar maupun karpet karena produksinya dibajak secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Maaf, ini bukan kaitannya dengan sengketa Pemilu di MK, lho!
Kesimpulan
Membeli buku bajakan sebenarnya termasuk kejahatan. Namun, masih banyak dari masyarakat yang belum sadar tentang tindakan tersebut. Berbagai alasan yang mendorong mereka untuk membeli buku bajakan belum tentu didasari oleh keadaan terpepet atau terpojok. Masalah harga buku asli yang dirasa lebih mahal kiranya perlu diubah karena banyak cara untuk mendapatkan buku asli dan original.
Sampai di sini, masih mau membeli buku bajakan? Kembali saja kepada diri kita, bahwa kita tercipta di dunia ini, pemikiran, perasaan, kehidupan, bahkan kematian nanti tetaplah original milik kita. Bukan bajakan.
Baca Juga: 5 Negara dengan Jumlah Buku Paling Banyak Setiap Rumah