Cerita dari Mantan Santri Al-Wahdah Bombana (Nur Asyima): Menggenggam Hati Menyelimuti Prestasi

Cerita dari Mantan Santri Al-Wahdah Bombana (Nur Asyima): Menggenggam Hati Menyelimuti Prestasi

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Bunyi adzan Subuh membangunkan Asyima dari mimpi indahnya. Masih dengan mata yang setengah terpejam, dia berdiri menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Selesai sholat Subuh, Asyima masuk mengerjakan rutinitasnya di dapur.

Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 06.30. Asyima segera bersiap-siap untuk ke sekolah. Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan Asyima di SMP 18 Kabaena Utara. Sambil menunggu ayahnya, yang merupakan pegawai tata usaha di sekolahnya, Asyima duduk menikmati teh hangat bersama ibu dan tiga adiknya.

“Ibu, nanti aku lanjut di mana?” Tanya Asyima.

“Ayahmu ingin kamu mondok di Baubau bersama kakakmu.” Ucap ibu.

“Jadi Ibu setuju?”

“Ibu bingung. Masalahnya kita mau ambil biaya dari mana? Kakakmu saja kita kadang telat membayar SPP-nya, bagaimana kalau ditambah lagi dengan kamu?”

Asyima diam mendengar ibunya. Dia tahu kondisi orang tuanya yang memang tidak terlalu memungkinkan.

“Tapi kamu berdoa saja semoga ada rezeki,” sambung Ibu yang dibalas anggukan Asyima.

“Ya, sudah, Bu, aku berangkat ke sekolah dulu. Assalamu’alaikum,” pamit Asyima saat mendengar suara klakson motor ayahnya.

“Wa’alaikumsalam,” jawab ibu.

***

Setibanya di sekolah, Asyima langsung menuju musholla, tempat teman-temannya berkumpul.

“Pengumuman jam berapa?” Tanya Asyima kepada seorang temannya yang bernama Fitri.

“Katanya sih jam sembilan,” jawab Fitri.

“Asyima, kamu mau lanjut di mana?” Sekarang Fitri yang ganti bertanya.

“Rencananya sih mau pesantren. Tapi tidak tahu jadi atau tidak?”

“Oh, ya, katanya Gandis juga mau lanjut pondok,” ucap Fitri.

“Di pondok mana?”

“Kalau tidak salah di Baubau.”

“Aku kalau jadi rencana juga ke sana.” Ujar Asyima.

***

Mereka terus berbincang hingga jam 08.45. Seorang guru menyuruh mereka masuk kelas. Lama menunggu tidak ada guru, kelas pun kembali ramai.

Jam 09.20, seorang guru masuk kelas. Seketika semua diam, tidak ada yang berani membuka suara. Sang guru pun segera mengumumkan kelulusan kelas IX SMP 18 Kabaena Utara.

Setelah pengumuman berakhir, Asyima menghampiri ayahnya di ruang tata usaha. Tampak ayahnya sedang merapikan berkas-berkas dan hendak bergegas pulang.

Dalam perjalanan, Asyima menyempatkan diri untuk bertanya kepada ayahnya,

“Ayah, nanti aku lanjut di mana?”

“Insya Allah di pondok, Nak.”

Asyima tidak lagi bertanya hingga tiba di rumah. Saat Asyima sedang menyiapkan makan siang,

“Asyima, kamu mau tidak lanjut di Sikeli?” Tanya ibu.

Namun, Asyima tidak mendengar nada ibunya sedang bertanya melainkan lebih terdengar menyuruh.

“Tapi Asyima mau masuk pondok, Bu. Asyima mau bisa tahu ilmu agama juga bisa membaca Al-Qur’an dengan benar.”

“Kita tidak punya biaya, Nak.”

“Ya, sudah. Asyima tidak usah sekolah saja dulu. Setahun biar bisa cari uang untuk biaya masuk pondok tahun depan.”

“Kamu ini dikasih tahu malah membantah!”

Asyima diam, tidak berani lagi bersuara. Dia sangat tahu jika nada bicara ibunya tadi menandakan bahwa bantahannya tertolak. Itu berarti, dia harus pasrah untuk melanjutkan sekolah di Sikeli.

***

Keesokan harinya, Asyima pergi ke kampung neneknya. Dia menceritakan keinginan untuk masuk pondok kepada sang nenek dengan harapan bisa dibantu. Benar saja, nenek Asyima mendukung cucunya untuk masuk pondok.

“Masuklah, Nak, kalau masalah biaya pendaftaran biar Nenek bantu ibumu.”

“Terima kasih, Nek.”

Sepekan kemudian, ibu Asyima datang untuk menjemput anaknya. Saat itulah, nenek memberitahu ibu bahwa dia membantu biaya Asyima masuk pondok. Ternyata ibu Asyima juga sudah punya biaya, hanya kurang sedikit.

Asyima sangat bahagia mendengar hal itu. Meskipun dia tidak jadi mondok di Baubau, tetapi di Bombana karena menurut ibunya, Baubau terlalu jauh. Asyima pun tidak ambil pusing, yang terpenting baginya bisa masuk pondok.

Malam harinya, Asyima hendak menelepon Gandis untuk mengabarkan bahwa dia tidak jadi lanjut di Baubau, tetapi di Bombana bersama seorang teman kecilnya yang bernama Lina. Saat sedang mencari nomor Gandis, tiba-tiba sebuah panggilan masuk. Ternyata panggilan dari Gandis! Asyima segera mengangkatnya.

“Assalamu’alaikum,” suara Gandis dari seberang sana.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Asyima.

“Aku ingin mengabarkan sesuatu.” Kata kedua gadis itu bersamaan.

“Kamu dulu!” Suruh Asyima.

“Aku tidak jadi mondok di Baubau. Aku akan mondok di Bombana,” ujar Gandis.

Asyima kaget karena kabar yang hendak disampaikannya sama persis.

“Aku juga hendak menyampaikan kabar yang sama,” kata Asyima.

“Oh, yah?! Berarti kita tetap sama-sama dong?!” Balas Gandis.

“Iya.” Tanggap Asyima.

Merekapun saling bercerita tentang persiapan ke pondok hingga hampir larut malam. Mereka memutuskan pembicaraan dan segera menuju mimpi.

***

Sebulan kemudian, tibalah hari keberangkatan Asyima dan Gandis ke pondok. Asyima mengenakan jilbab merah maron sepanjang lutut. Sambil tersenyum mengingat beberapa tahun lalu. Dia pernah meminta kepada ibunya untuk memakai seperti saat ini. Namun, ibu mengatakan bahwa hanya orang kaya yang bisa mengenakan pakaian seperti itu karena mahal. Ternyata, dia bisa mengenakannya juga.

Ahad sore, Asyima dan Gandis tiba di pondok ditemani ibu Asyima. Begitu bahagia Asyima melihat tempat yang sudah diimpikannya sejak SD yang kini akan ditempati selama tiga tahun ke depan.

Asyima dan Gandis pun segera berkeliling hingga tiba di sebuah bangunan yang berdinding seng. Bangunan itu sedari awal Asyima mengiranya adalah asrama. Ternyata salah, bangunan itu adalah kelas darurat yang berada di samping masjid.

***

Keesokan harinya, ibu Asyima dan ibu Gandis pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan anak-anak gadis mereka, termasuk piring dan ember. Hingga siang hari, ibu Asyima belum juga datang. Asyima yang sejak tadi menunggu akhirnya tertidur.

Sore harinya, barulah ibunya datang. Langsung menanyakan apakah Asyima sudah makan? Asyima menggeleng. Tadi dia tidak makan siang karena tidak memiliki piring.

“Astaqfirullah, apa tidak ada temanmu yang mau meminjamkanmu piring sampai kamu tidak makan?”

“Aku kan belum kenal mereka, Bu. Bagaimana mau pinjam piring?”

“Besok kita pulang!” Seru ibu Asyima.

“Tidak mau, Bu,” tolak Asyima.

“Pokoknya besok pulang!”

“Bu, aku tidak mau. Aku janji tidak akan telat makan.”

Ibu tampak berpikir, sedangkan Asyima sudah menangis di depan ibunya.

“Ya, sudah, besok kamu tidak pulang. Tapi kalau ibu sampai dengar kejadian ini terulang lagi, ibu langsung datang menjemputmu!” Ancam ibu. Asyima mengangguk.

***

Ibu Asyima pulang esok. Asyima mulai merasa aneh. Awalnya dia bahagia ibu pulang yang berarti dia pikir bisa tinggal di pondok pesantren.

Namun, hanya selang beberapa jam, perasaannya berubah menjadi rindu. Gambaran-gambaran kebersamaannya dengan ibu, ayah, saudaranya, selalu terbayang, hingga dia menangis selama tiga hari lamanya di kelas SD yang masih setengah jadi.

Pada hari ketiga, Asyima berhenti menangis mengingat pesan ibunya. Kalau dia tidak makan saja ibu akan menjemput pulang, lalu bagaimana kalau ibunya sampai tahu dia menangis selama tiga hari? Bisa-bisa tidak ada tawar-menawar lagi, dia benar-benar akan dipulangkan. Asyima menghapus air matanya, berusaha menahan tangis.

Dua hari berikutnya, seorang ustadzah memanggil Asyima ke kantor. Ibu Asyima menelepon.

“Assalamu’alaikum,” sapa Asyima.

“Wa’alaikumsalam,” balas ibu Asyima. “Gimana kabarmu, Nak?”

“Alhamdulillah, baik Bu.” Jawab Asyima. “Di sini sangat bagus, Bu. Ustadzah sangat baik, bahkan kita kalau makan tidak dibatasi nasinya, Bu. Jadi aku sangat puas, Bu.”

Perkataan itu dilontarkan Asyima sebelum ibu menanyakan makannya.

“Alhamdulillah, kalau begitu, Nak. Kamu betah di sana?”

“Sangat betah, Bu. Teman-teman sangat baik, Bu. Kakak kelasnya juga ramah-ramah, Bu.”

“Alhamdulillah kalau betah, Nak.”

Lama Asyima berbincang dengan ibu sambil menahan tangisan. Sejak mendengar suara ibu, Asyima tiba-tiba ingin menangis, tetapi ditahannya agar tidak terdengar lawan bicara Asyima tersebut.

Menelepon selesai, Asyima langsung duduk menangis. Ustadzah di sana heran. Ada yang tertawa karena merasa lucu. Biasanya, santriwati yang lain akan menangis saat menelepon. Namun, Asyima berbeda. Dia justru menangis ketika sambungan telepon sudah terputus.

***

Tak terasa, Asyima sudah hampir satu semester di pondok tersebut. Dia kini dipercaya oleh ustadzah untuk menjadi pengurus kesehatan. Ketika itulah, Asyima mulai merasa tidak betah dengan perlakuan adik-adik kelas yang kurang beradab.

Pernah suatu ketika, Asyima membawakan nasi untuk seorang adik kelas yang memang dikenal keras. Saat Asyima mendapatinya tidur di lantai satu, Asyima pun memintanya untuk naik ke lantai dua karena di lantai satu dingin. Namun, permintaan tersebut tidak dipedulikan. Asyima kembali memintanya untuk makan. Asyima malah mendapat bentakan. Akhirnya, Asyima pun diam, meletakkan piring di samping adik kelasnya itu, lalu pergi.

***

Selesai libur semester, Asyima berharap agar dia tidak dijadikan pengurus lagi. Dugaannya salah. Dia malah dijadikan pengurus kesehatan plus kebersihan.

Asyima mengutarakan kepada ustadzah bahwa dia tidak bisa sampai akhirnya diberi pilihan untuk tetap pada pengurus kesehatan atau pindah ke kebersihan. Oleh karena tidak ada pilihan lain, Asyima mengambil yang kedua.

***

Dua tahun kemudian, tibalah pergantian pengurus. Asyima kembali berharap untuk tidak dijadikan pengurus. Paling minimal, dia tetap berada di bagian kebersihan.

Akan tetapi, takdir tidak berpihak kepada Asyima. Dia justru diangkat menjadi ketua kamar. Asyima mulai berpikir positif, mungkin di sinilah dia bisa melatih mentalnya untuk bisa berbicara di depan teman-temannya. Selain itu, belajar mengurus keseharian teman sekamarnya.

Saat kelas 3 SMA, Asyima kembali diangkat menjadi ketua umum. Momen inilah, dia benar-benar belajar. Mulai dari menentukan peraturan, mengatur jadwal, hingga memberi nasihat kepada adik-adik maupun teman kelasnya. Hal yang benar-benar melelahkan.

Sisi lain, Asyima bersyukur karena dia yang dulunya tidak mampu berbicara di depan orang banyak, kini sudah memiliki keberanian untuk hal itu. Dia juga mendapatkan banyak pelajaran selama menjadi pengurus. Ketika semester dua, kembali pergantian pengurus karena kelas 3 akan difokuskan untuk menghadapi ujian.

Asyima tidak pernah berhenti untuk membuktikan kepada ibunya bahwa pilihannya masuk pondok memang tidak salah.

Suatu hari, saat banyak temannya yang pulang karena cacar, pondok mengadakan kegiatan Porsani. Asyima mengikuti lomba ceramah bahasa Arab dan lomba hafalan Al-Qur’an lima juz.

Tiba malam pengumuman juara, Asyima sungguh tidak percaya bahwa dia bisa mendapatkan peringkat 1 hafalan Al-Qur’an. Ditambah dengan peringkat 2 lomba ceramah bahasa Arab serta hal yang belum pernah dia dapatkan sejak kelas 1 SD sampai 2 SMA, yaitu: ranking 1 di kelas. Hal itu didapatkannya ketika kelas 3 SMA. Tentu saja, kenyataan itu menjadi kejutan untuk ibu dan ayahnya.

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.