Resensi Buku Novel HAMKA: Dari Anak “Nakal” Menjadi Ulama Terkenal

Resensi Buku Novel HAMKA: Dari Anak “Nakal” Menjadi Ulama Terkenal

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Kali ini saya mau menuliskan tentang resensi buku novel Hamka. Sebuah buku yang mengupas biografi atau perjalanan hidup ulama terkenal dari Indonesia dalam format novel.

Sebelumnya, saya sertakan datanya dulu ya! Resensi buku novel Hamka ini mengambil judul aslinya “Hamka Sebuah Novel Biografi”, ditulis oleh Haidar Musyafa. Penerbitnya Imania. Buku yang ada di rumah saya masih cetakan I (Oktober 2016). Lumayan tebal, ada 464 halaman. Ketika beli, saya lupa harganya! Saya beli secara online di Bukalapak. Hehe…

Sebenarnya, naskah ini saya kirimkan untuk mengikuti lomba resensi buku novel Hamka oleh Penerbit Imania. Saya beberapa kali kirim email ke kontak person lomba, kapan lomba diumumkan? Awalnya, dijawab tanggal 24 April 2020.

Eh, pas sudah lewat 24 April, saya tanya lagi tentang kejelasan hasil dari lomba resensi buku novel Hamka tersebut. Rupanya, kemarin tanggal 25 April 2020 diumumkan. Wah, saya kalah karena tidak ada nama saya di situ! Namun, ya, sudahlah, toh sudah mencoba ikut ya ‘kan?

Nah, daripada naskah itu menganggur saja di laptop, lebih baik saya tuangkan saja di blog pribadi saya ini. Toh, juga bisa dibaca orang lain, termasuk kamu sendiri tentang resensi buku novel Hamka ini. Yuk, kita mulai saja!

Pengantar

Dahulu, ketika masih sekolah, lupa apakah masih SMP atau SMA, saya memang sudah pernah mendengar nama seorang ulama atau penulis terkenal dari negeri ini bernama Hamka. Awalnya, bagi yang tidak tahu, memang dikira itu nama orang dengan satu kata saja.

Rupanya, Hamka adalah kepanjangan dari Haji Abdul Malik Karim Abdullah. Oleh karena itu, seharusnya namanya menjadi HAMKA atau huruf kapital semua. Nah, begitu tahu, mungkin langsung tepuk jidat, sambil berkata, “Oalah, ternyata begitu toh!”

Baca Juga: Kaum Rebahan Tetap Butuh Perubahan?

Ketika sudah dewasa ini, saya kembali mendengar HAMKA lewat sebuah film yang dirilis pada tahun 2011. Diangkat dari novel dengan judul yang sama, yaitu: Di Bawah Lindungan Ka’bah.

Cerita cinta antara dua anak manusia dengan status sosial yang berbeda. Ah, memang kalau tema yang diangkat seputar cinta dan segala romantikanya, masihlah akan terus dicari dan diminati orang, terutama anak muda.

Masa Kecil yang Tidak Terduga

Bila tidak membaca novel berwarna hijau muda tentang biografi HAMKA ini, maka pikiran kita betul-betul tidak tahu, bahwa ternyata HAMKA ketika kecil, dikenal cukup bandel, bahkan cenderung nakal. Namun, sebelum membahas itu, pada bagian awal novel ini, HAMKA dewasa didatangi tamu Drs. Kafrawi Ridwan dan Mayjen Soerjo. Drs. Kafrawi tidak diceritakan identitasnya, sedangkan yang satunya adalah asisten pribadi Presiden Soekarno.

Mayjen Soerjo meminta kepada HAMKA untuk menjadi imam sholat jenazah Presiden Soekarno di Wisma Yaso, Jakarta. Namun, HAMKA sendiri dilanda kebingungan, apakah benar-benar akan datang atau tidak?

Dari pertanyaan di prolog novel tersebut, kita mulai dibuat penasaran dan berharap mendapatkan jawabannya di ending cerita. Apakah benar-benar bisa terpuaskan jawaban tersebut? Sebelum ke sana, mari kita mulai dulu dari HAMKA kecil.

Sosok ulama Nusantara ini lahir pada tanggal 17 Februari 1908 atau 15 Muharram 1326 Hijriyah. Bapaknya bernama Abdul Karim bin Amrullah atau disebut dengan Haji Rasul. Terlahir dari keturunan keluarga ulama dan dikenal pula sebagai pelopor gerakan pembaharuan Islam atau gerakan islah/tajdid di Minangkabau.

Sedangkan ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria alias Gelanggar. Gelarnya adalah Bagindo Nan Batuah. Kedua orang tuanya memberi nama Abdul Malik, tetapi lebih sering dipanggil dengan Malik saja.

Kita tahu pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Semestinya begitu bukan? Namun, sepertinya pohon tersebut berada di pinggir sungai. Jadi, buah yang jatuh tadi malah hanyut mengikuti arus air.

Hal itu mulanya terjadi karena Haji Rasul mendidik HAMKA kecil yang punya nama panggilan Malik dengan sangat keras. Menetapkan aturan yang ketat. Bapaknya ingin agar Malik selalu belajar, belajar dan belajar.

Awalnya, mereka tinggal di Maninjau, lalu pindah ke Padangpanjang. Pada tahun 1915 atau waktu usia 7 tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa atau setingkat SD sekarang.

Dasar Malik punya hobi bermain, dia sering dimarahi bahkan dicaci-maki oleh ayahnya. Katanya, harga diri sebagai orang tua terinjak-injak. Tindakan selanjutnya, Malik dimasukkan ke Diniyah School, sekolah agama di Padangpanjang.

Sebenarnya akar masalahnya adalah Malik merasa bosan. Mau mendengarkan tukang kaba atau tukang cerita berupa kisah-kisah rakyat dari Minangkabau saja tidak boleh. Dilarang keras.

Padahal menurut Malik, tukang kaba itu seorang ahli bahasa dan sastra. Tukang cerita itu juga belajar dan mencari pengalaman di alam bebas.

Baca Juga: Kebiasaan Baru Karena Virus Corona

Haji Rasul melihat, wah, Malik ini suka menentang dan berdebat dengan dirinya! Oleh karena itu, pendakwah yang terkenal di masyarakat sekitar itu memindahkan Malik dari Sekolah Desa ke Sumatera Thawalib yang diasuh oleh beliau sendiri dan beberapa temannya. Jadi, ketika pagi Malik mengikuti pelajaran agama di Diniyah School, sedangkan sore harinya di Sumatera Thawalib.

Jiwa pembelajar Malik yang sebenarnya tampak dari kesukaannya menyantap buku-buku di bibliotek atau tempat penyewaan buku milik Syaikh Zainuddin Labay El Yunusy, guru Malik di Diniyah School. Buku-buku yang ada hanya berbahasa Melayu dan Tionghoa. Meskipun membaca itu perlu karena buku adalah jendela dunia, tetapi Malik tahu bahwa sang ayah pasti melarangnya untuk membaca di situ.

Anak itu tidak kehilangan akal. Dia tetap ingin membawa buku-buku ke rumah, caranya dengan menawarkan kepada Syaikh Zainuddin untuk menyampul buku-buku tersebut. Padahal syaikh tersebut juga sudah berkali-kali melarang Malik agar jangan membawa buku ke rumah.

Namun, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Haji Rasul mengetahui Malik membaca buku-buku semacam itu. Kena marah lagi. Buku yang ada dilempar ke lantai begitu saja.

Makin lama, Malik merasa makin malas sekolah. Sudah jarang datang lagi ke Diniyah School dan Sumatera Thawalib.

Dia ingin menemukan gaya belajar sendiri, tetapi terus berbenturan dengan keinginan bapaknya. Untuk memecahkan masalah ini, Haji Rasul memasukkan Malik ke pesantren milik Syaikh Ibrahim Musa, teman Haji Rasul di Parabek.

Awalnya betah dan menikmati belajar di sana, apalagi Syaikh Ibrahim Musa adalah guru yang masih muda dan mengerti dengan Malik. Namun, lagi dan lagi, penyakit Malik muncul lagi. Bersama teman-temannya, dia sering ke bioskop atau ke pasar menonton judi sabung ayam. Malik ikut tertarik sabung ayam dan sudah bisa diduga, dia kalah. Syaikh Ibrahim menasihati bahwa itu memang bukan keahlian atau bidang Malik.

Malik adalah korban dari broken home. Hidup anak itu tidak lagi sama setelah kedua orang tuanya bercerai. Hal itu terjadi karena adat dan kebiasaan antarsuku yang tidak kunjung selesai. Haji Rasul menikah lagi dengan Hindun, sedangkan Shafiyah dengan saudagar kaya asal Deli. Malik ikut bapaknya.

Setelah tujuh bulan belajar di Parabek, itulah puncak kebosanan Malik. Selama itu pula, dia merasa tidak banyak perubahan. Katanya sama dengan metode pengajaran di Diniyah School. Dia mengatakan kepada Syaikh Ibrahim Musa bahwa dia memang ingin ke luar. Akhirnya, syaikh tersebut membiarkan saja Malik ke luar, meski dengan terpaksa.

Anak itu tidak langsung kembali ke Padangpanjang, tetapi malah menuju Payakumbuh. Dia punya pengalaman menarik sekaligus tidak menyenangkan setelah bertemu dengan seorang peternak kuda pacu.

Ketika Malik berhasil pulang ke rumah kembali, dia langsung mendapatkan “limpahan” amarah yang luar biasa. Siapa lagi kalau bukan dari bapaknya? Bahkan, dia dikatakan sebagai anak durhaka karena tidak menuruti keinginan Haji Rasul. Ketika ayahnya marah, maka Malik diam saja. Percuma ditanggapi, sebab bakal runyam nantinya.

Dalam suasana agak sepi karena Haji Rasul sering berdakwah ke luar daerah, maka Malik pun sempat belajar Silek kepada pamannya sendiri, Kari Manamin. Silek adalah seni beladiri yang dipunyai masyarakat Minangkabau secara turun-temurun. Ada pengalaman lucu di sini waktu Malik menguji hasil beladirinya di pasar.

Saat masalah dengan sang bapak semakin pelik, Malik memilih untuk meninggalkan rumah begitu saja. Dia punya keinginan untuk pergi ke Jawa. Malik tertarik dengan pembaharuan Islam yang dilakukan oleh seorang ulama bernama Kyai Haji Ahmad Dahlan.

Baru sampai di Bengkulu, ternyata kena cacar. Bertemu dengan dua pengendara pedati, suami istri yang baik hati. Bersedia merawat Malik, bahkan bagaikan anak sendiri. Suami istri tersebut bersimpati kepada Malik yang menjadi korban perceraian, tetapi tetap dinasihati untuk pulang saja ke rumah ayahnya.

Ternyata, Malik belum terbebas sekali dari penyakit cacar. Sebelum sampai di Pelabuhan Bengkulu untuk menumpang kapal barang ke Padangpanjang, cacarnya kumat lagi. Dia ingat ada saudara ibu kandungnya di Napal Putih bernama Angku Rasjad.

Nasihat yang sama diterima Malik dari Angku Rasjad dan istrinya, Angku Shaleh, menyuruh Malik untuk pulang saja. Malik pun menyanggupi. Akan tetapi, mungkin karena dianggap durhaka kepada orang tua, bekas-bekas luka cacarnya terkena air laut dalam perjalanan pulang ke Padangpanjang. Membuatnya jadi gatal luar biasa, timbul luka-luka baru, ke luar nanah dan bau tidak sedap. Cukup mengerikan membayangkannya.

Gejolak Remaja

Bakat sebagai penulis besar memang sudah terlihat sejak remaja. Meskipun arahnya salah karena melalui surat-surat cinta bertabur puisi, tetapi tetap di situlah cikal bakalnya. Malik mengenal beberapa gadis sebayanya. Setelah berhasil pulang, dia menemui Ros. Rupanya, sakit hati bagi Malik, Ros tidak mengenalinya lagi gara-gara cacar.

Baca Juga: Aku Bukanlah Pelakor [Diangkat Dari Kisah Nyata]

Bagaikan membentur tembok yang kokoh karena mengharapkan Ros, maka Malik mengambil alternatif dengan Halimah. Gadis itu masih menganggap Malik seperti yang dulu, meskipun wajah Malik sudah dihantam cacar.

Kalau dengan Halimah ini, juga masuk ke dalam sad ending, karena Halimah akan menikah dengan laki-laki lain pilihan keluarganya. Padahal mereka masih saling kirim surat. Jelas setelah itu tidak ada lagi surat-menyurat.

Benar-benar ke Pulau Jawa

Bila sebelumnya Malik memang ingin ke Jawa dengan tujuan belajar, namun tanpa diridhoi oleh orang tuanya, kini keadaan sudah berubah. Saat anaknya punya keinginan, maka akan terus diperjuangkan, itulah yang mulai disadari oleh Haji Rasul.

Beliau sudah mengizinkan Malik untuk berangkat ke sana bersama Marah Intan, saudagar kaya asal Minangkabau, pada bulan Desember 1924. Malik akan menemui Sutan Mansyur, kakak iparnya di Pekalongan, sementara ayahnya menyarankan untuk menemui paman Malik, Ja’far Amrullah di Yogyakarta.

Marah Intan mengantarkan Malik ke rumah Ja’far, meski alamatnya sendiri masih belum jelas. Ternyata, tanpa sengaja, bertemu dengan orang yang dicari di kampung Ngampilan. Ketika itu, Ja’far berjalan dari Kauman.

Setelah urusan bisnis batik Marah Intan tuntas di Yogyakarta, dia meninggalkan Malik bersama pamannya tersebut. Dalam rentang waktu selanjutnya, Malik tertarik dengan perkumpulan dari buku-buku yang dibaca waktu di bibliotek ketika masih di kampung halaman. Betapa senang hatinya karena akan diperkenalkan dengan Kyai Haji Fachruddin dan Ki Bagoes Hadikoesoemo, petinggi Persyarikatan Muhammadiyah.

Organisasi yang menjadi tempat bernaung Malik pertama kalinya justru Sarekat Islam. Kemudian, merangkap dengan Persyarikatan Muhammadiyah.

Agar lebih moncer dalam berdakwah, maka Malik belajar menulis kepada Mohammad Natsir dan Ahmad Hasan di Bandung seperti saran dari HOS Tjokroaminoto, petinggi Sarekat Islam. Nah, dari hasil belajar itulah, maka begitu dia kembali ke kampungnya di Maninjau, Malik membuat buletin Tablig Muhammadiyah.

Tidak mudah memang menjadi seorang penceramah, apalagi tampil di depan umum. Malik diremehkan oleh masyarakatnya sendiri. Nah, tidak cuma orang lain, bahkan Haji Rasul juga memandang sebelah mata kepada Malik. Pada titik inilah, Malik ingin pergi ke Makkah untuk menunaikan haji dan belajar agama Islam secara lebih serius lagi.

Sebelumnya, dia sudah mengumpulkan uang jerih payah sendiri untuk berangkat ke Makkah. Namun, terjadi gempa yang sangat dahsyat di tempat tinggalnya pada tanggal 28 Juni 1926. Rumah dan sekolah bapaknya hancur lebur. Malik membantu bapaknya dengan sejumlah uang, hasil dari tabungan dan honor menulisnya di Jogja dan Bandung.

Namun, ketika muncul konflik lagi karena ceramahnya yang diremehkan, maka Malik benar-benar sudah bertekat bulat ke Makkah. Pergi tanpa kabar dan meninggalkan ayahnya begitu saja. Yah, perbuatan yang diulangi lagi oleh Malik.

Baca Juga: Tong Kosong Nyaring Bunyinya [Ternyata Ada Hubungannya dengan Ayam dan Kura-kura]

Ketika sudah sampai Makkah, dia bertemu dengan orang baik hati yang menyediakan tempat tinggal sementara, yaitu: Hamid bin Majid, keluarga dari Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Dari namanya saja, sudah terlihat ulama di Makkah itu berasal dari mana bukan?

Sampai berbulan-bulan Malik meninggalkan ayahnya. Kembali dari Makkah atas saran Haji Agus Salim, petinggi Muhammadiyah, tetapi Malik tidak langsung ke kampung halamannya. Dia malah tiba di Medan. Malik merasa nyaman di Medan karena dia sudah punya pekerjaan sebagai wartawan. Selain itu, nama HAMKA makin berkibar dan dikenal sebagai penulis.

Ketika berada di kota ini, dia bertemu dengan Sutan Mansyur, iparnya. HAMKA diminta untuk pulang ke Maninjau, terutama untuk menemui ayahnya yang jelas sangat merindukannya. Selanjutnya, perjalanan dakwah Malik atau HAMKA sekembalinya dari Makkah memang cukup banyak pengalaman. Apalagi dia sudah mengantongi gelar Haji, membuat masyarakat tidak lagi meremehkan atau menyepelekan.

Beberapa hal yang dilakukannya adalah mendirikan sekolah dan menjadi kepalanya. Mengurusi majalah mingguan yang berhasil naik penjualannya. Menerbitkan cukup banyak buku. Ditugaskan pula sampai ke Makassar oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sampai akhirnya tiba di Bengkulu dan bertemu dengan Bung Karno yang belum menjadi presiden.

Jalan Cerita Novel

Membaca karya Haidar Musyafa ini sampai selesai memang kita merasakan alur hidup dari HAMKA dari kecil hingga dewasa. Apalagi dengan gaya bahasa orang pertama, maka kita dibawa seakan-akan kita adalah HAMKA itu sendiri.

Percakapan yang disusun juga sudah mewadahi karakter masing-masing. Hal itu menjadi bukti bahwa penulis telah mengumpulkan referensi-referensi penting dalam menulis novel.

Oleh karena alur yang dipakai adalah maju, mungkin terasa sedikit membosankan. Peristiwa yang diceritakan secara berurutan, bisa membuat pembaca merasa ceritanya landai begitu saja dan kurang ada greget. Namun, memang seperti itulah kisah nyata dari HAMKA.

Satu hal yang kita pelajari dari buku terbitan Imania ini adalah bahwa mendidik anak dengan kekerasan memang sudah semestinya dihentikan. Dalam buku ini, tidak ditemukan HAMKA kecil sampai dipukul ayahnya, tetapi lewat kata-kata kasar dan sangat menusuk hati. Namun, itu mempunyai efek yang hampir sama.

Toh, anak juga tidak bisa melawan apa-apa karena sudah pasti kalah dengan orang tua. Semestinya orang tua menyadari bahwa anak jadi belajar kekerasan juga, melalui verbal maupun fisik.

Anak akan tumbuh jadi lemah, rapuh dan kurang kuat menghadapi hidup serta selalu terfokus kepada kesalahannya sendiri. Merasa tidak pernah benar sepanjang hayatnya.

HAMKA tidak begitu. Makanya saya memberi judul nakal dalam tanda kutip. Beliau ketika kecil tidaklah nakal, hanya memang punya persepsi berbeda tentang belajar dan pahitnya, bertentangan dengan ayahnya.

Semestinya Haji Rasul berpikir lebih awal bahwa anak itu juga punya keinginan. Anak bukanlah orang dewasa mini seperti yang dikatakan oleh Kak Seto, yang mesti selalu harus mengerti dengan orang dewasa lainnya.

Sosok HAMKA yang bersemangat untuk menjadi orang baik justru terlecut dan terpacu dengan segala hal negatif yang pernah menimpanya. Buktinya, kita lihat sekarang, beliau menjadi tokoh nasional.

Beda dengan banyak anak lain yang mungkin tidak mempunyai psikologis bagus semacam itu. Jadi, mulailah stop kekerasan kepada anak, apapun bentuknya!

Selain itu pertanyaan besar dari awal novel ini adalah mengapa HAMKA sampai bimbang untuk mensholatkan jenazah Presiden Soekarno? Pertanyaan itu rupanya belum ditemukan jawabannya, bahkan sampai novel ini selesai dibaca.

Justru yang ada adalah hubungan kemesraan antara HAMKA, Haji Karim Oei, anggota Persyarikatan Muhammadiyah di Bengkulu dan Bung Karno sendiri. Lalu, masalahnya di mana antara HAMKA dan Bung Karno?

Mungkin memang sengaja tidak diceritakan agar kita bisa mencari referensi yang lain kaitannya dengan novel biografi ini. Selain itu, buku ini juga tidak menceritakan HAMKA sampai akhir hayatnya. Entah apakah mau dibuat novel jilid dua ataukah berhenti sampai di sini?

Beda cerita ketika ada penulis yang membuat biografi seorang tokoh yang masih hidup, maka jelas tidak mungkin menceritakan kematiannya. Namun, HAMKA sudah lama sekali wafat. Semestinya bisa lebih diperdalam lagi sampai akhir kehidupannya di novel ini.

Akan tetapi, terlepas dari kekurangan yang ada, menceritakan sebuah sejarah itu butuh tantangan besar, fakta-fakta yang ada, dengan data-data kronologis di masa lampau, agar bisa apik disajikan kepada generasi sekarang, terlebih generasi muda alias anak jaman now. Pilihan untuk membuat ke dalam sebuah novel adalah ide yang kreatif dan patut diacungi jempol.

Membaca novel memang bisa mengaduk-aduk perasaan, sebagaimana karya-karya HAMKA yang juga seperti itu, terutama karya fiksinya. Beliau adalah seorang ulama yang sudah berhasil berkat impian dan keinginan ayahnya.

Jadi, sampai di sini apa yang akan kita bayangkan untuk anak-anak kita kelak? Dan, apakah hal itu bisa benar-benar terwujud nantinya? Tentu, kita tidak boleh luput juga untuk terus berharap kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Resensi buku novel Hamka ini tentunya masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya, kamu bisa kok tulis komentar di bawah ya! Buat jadi pembelajaran saya juga dalam menulis ke depannya. Syukron.

Oh, ya, terlupa, siapa tahu ada lomba lagi semacam resensi buku novel Hamka itu? Ditunggu lho ya! Hehe..

Baca Juga: Apakah Hidup Anda Seperti Kecoa Terbalik?

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.