Tantangan Menjadi Guru Profesional, Malah Dibilang “Kemaruk”

Tantangan Menjadi Guru Profesional, Malah Dibilang “Kemaruk”

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Ketika wabah Covid-19 masih terus mencekam, harapan untuk menjadi guru profesional masihlah terus ada. Tapi, bagaimana kalau ada yang bilang era sekarang malah gurunya “kemaruk”?

Hal ini saya dapatkan dari sebuah grup menulis dengan nama “Komunitas Bisa Menulis” tadi pagi, Selasa (31/03).

Grup tersebut digawangi oleh pasangan penulis Asma Nadia dan Isa Alamsyah. Suami istri yang cocok satu sama lain.

Dua-duanya sudah banyak menelurkan karya. Sementara ayammu di rumah sudah menelurkan berapa butir?

Kok Dibilang “Kemaruk”?

Kamu tahu apa itu kemaruk? Itu jelas bukan nama makanan yang renyah lho, yang suka menjadi pendamping makan bakso atau nasi goreng.

Bukan, bukan itu. Kemaruk juga bukan lawan dari besok. Eh, hari kemaruk ‘kan sudah kukasih bukunya. Itu juga bukan.

Baca Juga: Artikel Blog yang Paling Banyak Dicari

Kemaruk juga bukan nama musim. Eh, sekarang musim kemaruk, ya, bukan musim hujan. Kalau semua itu bukan kemaruk, lalu apa dong artinya kemaruk?

Begini, kalau dari segi bahasa, itu berasal dari Bahasa Jawa. Ya, Bahasa Jawa biasanya memang dipakai oleh orang-orang Jawa. Benar ‘kan?

Arti dari kemaruk adalah serakah. Rakus. Dalam kata yang lain, orang kemaruk itu maunya segala-segalanya jadi miliknya.

Orang lain pokoknya jangan dikasih. Ada orang yang begitu? Oh, banyak sekali! Semoga bukan kamu termasuk di dalamnya. Hehe..

Dalam status itu, yang menulis adalah Perempuan Hujan. Lho, kok bukan nama asli? Entahlah, saya sendiri juga tidak tahu.

Perempuan Hujan itu artinya perempuan yang suka kehujanan atau ketika bicara, mulutnya kayak menghujani orang lain?

Bagi saya sih, status dengan tanpa nama asli ya, seperti pengecut begitu, lah. Masa dia tidak bangga dengan nama aslinya sendiri?

Lha, orang tuanya sudah capek-capek berkeringat untuk bikin dia, kok nama aslinya jadi disepelekan?

Terus, dia tulis bagaimana di grup itu? Begini, kalau yang saya lihat, dia memang mengeluhkan tentang kondisi sekarang, akibat Corona ini.

Dia mengeluh karena guru-guru sering memberi tugas ke murid-muridnya di rumah dengan bejibun. Banyak sekali.

Dia meminta umpan balik, apa makna dari latihan soal yang banyak banget itu?

Tambahnya, kecakapan hidup apa yang bisa diambil ketika cuma fokusnya pada soal-soal dengan dimensi kognitif low level? Walah, apa lagi itu?!

Fasilitas Belajar Daring

Guru kemaruk diibaratkan guru yang cuma berlomba-lomba memberi tumpukan soal-soal tanpa mempertimbangkan aspek psikologis, kesenjangan akses dan fasilitas yang dimiliki murid-muridnya.

Si Perempuan Kehujanan, aduh, maksudnya Perempuan Hujan, mencermati bahwa tidak semua murid memiliki akses yang sama dengan media daring.

Kamu tahu media daring itu apa? Beda lho sama darling. Apalagi ditambah dengan Darling, I Love You.

Walah, lebay banget sih! Eh, kalau untuk suami istri, tidak ada yang lebay lho!

Makanya menikah cepat! Bagi yang mau dan mampu saja.

Baca Juga: Menyusun Skripsi? Apa Sih Arti Sesungguhnya dari SKRIPSI?

Perempuan Hujan terus mengkritik kebijakan belajar di rumah sekarang yang dianggapnya belum memperoleh pengalaman belajar yang bermakna lewat tugas-tugas tersebut.

Terus, kalau cuma tugas-tugas semacam itu, yang tidak mendorong tumbuhnya kecakapan hidup, katanya Mbah Google masih jauh lebih baik daripada guru-guru yang kemaruk tersebut.

Selanjutnya, katanya pula, tidak semua juga selalu tersedia kuota internet. Ya, kalau ada yang penjual pulsa dan paket internet seperti saya, Alhamdulillah selalu ada.

Namun, hal itu bisa jadi berat bagi sebagian keluarga, yang ketika habis paketnya, maka belum bisa untuk beli lagi.

Terakhir pada statusnya, dia mengutip pernyataan dari Anies Baswedan. Katanya lho ini. Guru yang repetitif dan begitu-begitu saja akan bisa digantikan oleh teknologi.

Namun, guru yang mengajar dengan inspirasi, refleksi dan menggugah, maka tidak akan dapat diganti oleh teknologi. Hem…

Aneka Komentar

Mahabenar netizen dengan segala komentarnya. Itulah yang saya suka, meski kadang kurang suka di sisi lain dari grup ini.

Selalu saja ada komentar dari para netizen. Ada yang komentarnya tampak karena dia pendidikan, ada pula yang kelihatannya berpendidikan, tetapi komentarnya Naudzubillah.

Kalau ada sebuah status, selalu dong ada yang pro maupun amatir, eh, maksudnya yang pro dan kontra.

Pro mendukung habis pernyataan tersebut, kontra mengkritik, menghina, melecehkan, bahkan sampai mengkafirkan kalau perlu.

Netizen atau warganet yang mendukung, saya ambil contoh.

Dari teman sekolah bocah atau anaknya si pemberi komentar tersebut.

Tidak usah disebutkan nama akunnya ya? Karena saya sendiri tidak kenal juga, apalagi kamu.

Baca Juga: Membeli Buku Bajakan, Termasuk Terbitan Mizan, Entah Apa yang Merasukimu, Kawan?

Orang tua si teman sekolah anaknya itu adalah seorang driver ojol. Ingat, ojol bukan pasta gigi.

HP si ortu cuma satu, sementara anaknya dua. Padahal ada juga lho yang anaknya satu, tapi hapenya dua.

Oleh karena situasi seperti itulah, banyak tugas anaknya yang tidak selesai. Kan hapenya dipakai orang tuanya buat mencari nafkah.

Ditambahkan kasihan juga bagi yang kurang hapenya.

Terus, pakai hape jadul. Itu lho, hape yang bisanya cuma telepon sama SMS, bukan Android, bukan i-Phone.

Bagaimana tanggapan dengan komentar ini? Oh, ternyata ada.

Orang yang menanggapi itu mengatakan bahwa tidak ada masalah yang tanpa solusi. Yang penting ada kemauan.

Menurutnya, ada teman anaknya yang sering datang ke rumah menanyakan tugas. Rupanya, anak itu memang tidak punya HP dengan fasilitas internet.

Jadi, ‘kan bisa disiasati oleh si anak dengan nebeng belajar lewat temannya yang lain, yang punya HP internet.

Eh, dibantah lagi. Si pembuat komentar pertama tadi mengatakan bahwa belum tentu rumahnya berdekatan.

Ada kok yang berjauhan. Tidak semua anak mau untuk tanya-tanya begitu. Ada juga yang malu, lho!

Dibandingkanlah antara anak yang punya semangat belajar tinggi, tetapi dengan fasilitas HP yang terbatas.

Sementara ada pula yang HP-nya canggih, tetapi malas-malasan buat bikin tugas. Wah, pilih yang mana ya?

Komentar yang Kontra

Sebenarnya, kalau komentar pro itu biasa-biasa saja sih.

Tidak terlalu menarik. Kalimatnya kurang garang.

Saya lebih mencermati komentar yang kontra. Apalagi menyangkut hasrat menjadi guru yang profesional.

Pertanyaan selanjutnya, guru yang profesional itu seperti apa sih?

Kok lawannya dari guru yang profesional dibilang kemaruk menurut si pembuat status alias Perempuan Hujan?

Banyak memang komentar kontra. Sebagian besar merasa sakit hati dengan si thor ini, maksudnya author atau si penulis.

Yang guru jelas tersinggung dikatakan kemaruk, begitu pula yang bukan guru.

Mereka komentar kontra karena menganggap Perempuan Hujan ini tidak bisa mendidik anaknya dengan baik. Eh, dia sudah punya anak belum sih?

Perempuan Hujan kalau toh sudah punya anak, maka HP-nya terganggu dipakai belajar anak.

Padahal HP-nya mau dipakai buat tiktokan, selfie-selfiean, sampai belanja online kata si komentator. Wah, betulkah begitu?

Baca Juga: 9 Alasan Tanpa Pakai Adat Pernikahan

Selain itu, guru memang dihadapkan dengan situasi yang darurat. Tidak ada yang menduga dengan situasi seperti sekarang ini.

Rencana yang lalu untuk belajar bersama di kelas begini dan begitu, rupanya harus ambyar diterkam serangan virus.

Ada lagi yang komentar kalau goblok jangan diborong semua! Lebih baik borong sembako.

Nah, ini dia yang saya cermati, kalau sudah muncul komentar semacam ini, maka status tersebut akan makin seru.

Terus, komentator yang lebih emosi lagi bakal melaporkan status tersebut. Saya kira mau dilaporkan ke Kemenkominfo, ternyata malah ke admin.

Padahal, seharusnya kalau kontra, ya, balas dong dengan komentar yang membantah.

Untuk yang kontra, bolehlah kamu menghujat. Tapi kamu sendiri bisa tidak bikin tulisan semacam itu? Yang panjangnya segitu?

Kalau kamu sendiri tidak bisa, cuma komentar menghina saja, lebih baik mingkem saja, deh!

Lha masih lebih baik yang bikin status itu, meskipun kamu rasa salah, tapi tulisannya lumayan panjang.

Eits, jangan-jangan yang bikin status copas ya? Jika ternyata tidak, maka cobalah kamu juga berlatih menulis panjang begitu.

Kesimpulan

Status guru kemaruk tersebut menghasilkan lebih banyak komentator yang kontra, daripada yang pro.

Meski yang komentar juga tidak bisa langsung dilihat kata-katanya pro juga, apalagi susunan kalimatnya.

Masih adanya caci maki, menghujat, menghina, menggoblok-goblokkan, maka itu tanda si komentator, mulutnya perlu disekolahkan lagi.

Eh, kok mulut, jempol tangan maksudnya. Kan hasilnya berupa ketikan di kolom komentar Facebook itu.

Mau mendukung, mau tidak, bahwa guru kemaruk itu bisa ada, bisa pula tidak.

Mungkin yang dikatakan kemaruk itu adalah yang suka kasih tugas-tugas berat dan banyak, tetapi tidak membahasnya dengan lebih dalam.

Jadi, pengenalan makna hidup ke peserta didik juga dianggap tidak ada.

Terus, semestinya bagaimana? Sebenarnya, intinya adalah komunikasi saja.

Jika dirasa berat dengan tugas-tugas tersebut, ‘kan bisa dibicarakan dengan gurunya.

Tidak semua guru memang memberi tugas berat, ada juga yang berleha-leha, tidak memberi tugas apa-apa, karena punya konflik batin dengan guru lain, termasuk dengan kepala sekolahnya.

Ketika ada pembelajaran daring semacam itu, orang tua akan jadi mengerti bahwa mendidik itu memang tidak mudah.

Jangankan anak banyak dalam satu kelas, dalam satu rumah, dengan satu atau dua anak saja, tidak gampang kok. Ya ‘kan?

Dan, pembelajaran daring semacam itu ada menariknya juga lho!

Orang tua jadi tahu, bahwa selama ini kemampuan anak ternyata masih kalah dibandingkan teman-temannya.

Hal itu dilihat dan diamati langsung oleh orang tua. Jadi, orang tua perlu evaluasi, selama ini mendukung pendidikan anaknya seperti apa dan sudah sejauh mana?

Baik guru, orang tua, murid atau siapa saja pastilah berharap keadaan ini akan kembali normal lagi seperti sedia kala.

Entah kapan hal itu akan terjadi? Yang jelas, dinikmati saja keadaan sekarang.

Tetap di rumah, kumpul dengan keluarga, tidak perlu ke luar rumah kalau memang tidak perlu-perlu amat dan berdoa semoga virus Corona segera pergi dari muka bumi ini.

Terakhir, apa ya? Kalau ada guru kemaruk, seharusnya ada juga orang tua yang kemaruk.

Apa itu orang tua kemaruk? Contohnya, yang menimbun masker, hand sanitizer, sembako, sampai dengan APD,itu lho! Setuju ‘kan untuk ini?

Baca Juga: Sepertinya Masuk Surga Lebih Mudah Daripada Masuk PNS

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.