Setiap orang yang punya pasangan memang mengharapkan pasangannya adalah yang sempurna, terbaik, dan memuaskan. Namun, kenyataannya, apakah akan selalu begitu?
Saya teringat dengan ucapan Ustadz Dr. Syafiq Reza Basalamah. Istri bukanlah bidadari, suami bukanlah malaikat. Kalau saya mau tambahkan, “Istri bukan bidadari, suami bukan malaikat, dan anak bukanlah setan!” Soalnya, pernah saya dengar ada orang tua yang menyebut “anak setan” saking marahnya kepada anaknya sendiri. Lha terus, kalau anak setan, bukankah orang tuanya ikut jadi setan juga?
Lewat Menikah
Pasangan yang halal dan legal itu memang dicapai dengan pernikahan. Dan, pernikahan ini memang menjadi suatu tanda, suatu simbol bahwa antara laki-laki dan perempuan itu sudah terjalin ikatan. Diakui agama, diakui negara. Tidak hanya mereka berdua, keluarga besar masing-masing juga diikat. Hal ini beda sekali dengan pacaran, yang ikatannya cuma mereka berdua. Itupun ikatan yang rawan sekali untuk putus di tengah jalan.
Setelah menikah, apa sih yang mau diharapkan? Tentunya, kebahagiaan bersama. Nah, kebahagiaan itu dicapai dengan masing-masing orang berbahagia. Jika salah satunya tidak berbahagia, bagaimana mau bahagia bersama?
Untuk mencapai kebahagiaan itu, memang dibutuhkan usaha yang kadang tidak mudah. Tidak ujug-ujug pasangan suami istri itu menjadi manusia sempurna. Apalagi jika sebelumnya belum pernah menikah. Dunia pernikahan adalah dunia yang berbeda dari dunia para jomblo. Masalah yang ada di dalamnya sangatlah kompleks, jauh lebih kompleks daripada kompleks perumahanmu!
Makanya, ketika timbul masalah, timbul konflik, tidak pantas ujug-ujug minta pisah, minta cerai. Kalau begitu adanya, jangan-jangan nanti menikah tiap bulan. Setengah bulan untuk menikah, setengah bulan untuk bercerai. Pasti akan lebih boros anggaran, pasti akan lebih banyak biaya.
Menghendaki Kesempurnaan
Menikah yang merupakan jalan panjang dan terjal selalu dibayangi dengan harapan pada kesempurnaan pasangan. Ya, memang lebih banyak berkutat kepada diri pasangan, dibandingkan dirinya sendiri. Maunya punya istri yang cantik, penyayang, lembut, selalu tersenyum, tetapi suaminya sendiri sering marah-marah, kasar, memaki-maki, dan lain sebagainya. Bagaimana istri tidak menirunya? Bagaimana istri tidak membalasnya?
Kesempurnaan yang ada itu juga berkaitan dengan kesetiaan. Suami adalah milik istri, sedangkan istri adalah milik suami. Ini sudah jelas, karena prinsip di awal menikah, bahwa masing-masing memang saling memiliki. Secara legal dan halal. Kesetiaan diawali dengan kepercayaan kepada pasangan. Rasa itu melekat selama 24 jam, dimanapun berada. Jadi, ketika di rumah, tempat kerja, tempat ibadah, di mana saja, setia mesti melekat pada diri masing-masing.
Namun, kesetiaan itu tidak selalu berbentuk sempurna. Ada saja masalahnya jika kesetiaan mulai digerogoti. Kalau sudah begitu, masalah ditandai dengan kehadiran orang ketiga. Bahkan, orang keempat, kelima, dan seterusnya. Apakah akan terus setia? Ataukah mulai retak diterpa godaan?
Selama Itu
Kalau mau bicara yang betul-betul setia, tidak dirusak oleh apapun dan siapapun, maka silakan kurung pasangan di dalam kamar saja. Tidak boleh keluar, tidak boleh pegang HP. Pokoknya, sama sekali tidak boleh berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain, terutama lawan jenis. Sebab, dikhawatirkan jika sudah mulai berkomunikasi, maka bisa saja timbul perasaan tidak setia. Mulai muncul perasaan ingin berkhianat. Ah, benarkah begitu?
Bisa saja peluang itu ada, tetapi jangan lupa, berprasangka negatif kepada pasangan juga tidak dibenarkan. Hanya gara-gara komunikasi dan bicara dengan lawan jenis, langsung dianggap tidak setia. Eits, kesimpulannya ditunda dulu, Bos! Komunikasi yang bagaimana dulu? Komunikasi yang seperti apa dulu?
Salah satu definisi keretakan pada kesetiaan yang sangat besar adalah ketika pasangan sudah berzina dengan orang lain. Saya berbicara dengan salah satu anggota polisi bahwa kalau sudah seperti itu, maka sudah tidak ada yang bisa diharapkan. Sekamar bersama orang lain yang bukan pasangannya akan menjadi masalah yang tidak bisa dianggap remeh. Apalagi ditemukan mereka dalam keadaan yang tidak memakai baju yang lengkap. Wah, ngapain aja tuh?
Jika sudah seperti itu, maka dipersilakan kepada pasangannya untuk mengambil tindakan, apakah mau berpisah saja atau dimaafkan? Jika dimaafkan, khawatirnya akan mengulangi lagi? Jadi, lebih baik diceraikan saja? Wah, kalau ini memang dikembalikan kepada masing-masing pasangan sih. Sejauh mana mereka mengambil tindakan yang paling bijak.
Menjunjung tinggi kepercayaan adalah tonggak berdirinya sebuah pernikahan. Selain itu, tidak perlu berpikir negatif terhadap pasangan. Bahkan, berpikir yang di luar berpikir sendiri alias overthinking. Jika hal itu terus terjadi, bukan tidak mungkin, rumah tangga, jalinan pernikahan itu akan makin pudar dan akhirnya bubar!