Abi, Tunggu….!!!

Abi, Tunggu….!!!

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Cerita ini sebenarnya sudah terjadi dua hari yang lalu. Subuh hari. Matahari belum terbit. Saya sudah mundurkan sepeda motor dari garasi, mau ke masjid.

Tiba-tiba, anak kedua saya, yang umurnya 4 tahun, teriak dari dalam rumah, “Abiii, tunggu!!!”

Saya kaget. Eh, anak saya yang bernama Hafidz itu berlari ke luar, ingin ikut saya ke masjid. Dia belum cuci muka, belum kencing, tapi semangatnya untuk ikut bisa dikatakan luar biasa.

“Masya Allah,” dua kata itu yang terucap lirih dari lisan saya. Menyaksikan anak balita tersebut begitu semangatnya mau sholat. Padahal dia masih jauh dari kata “baligh”. Dari umur 10 tahun, dia juga masih cukup jauh. Namun, karena sering dan terbiasa diajak ke masjid, maka dia pun susah untuk tidak ikut. Menangis kalau sampai tidak ikut ketika dia tidak tidur atau di dalam rumah.

Kakaknya, Raihan Malik Dhiyaulhaq, juga begitu. Umur kakaknya ini 8 tahun. Bulan Juli kemarin, dia mendapatkan angka usia itu. Semangat juga, sama dengan adiknya. Meskipun di masjid lebih banyak main-mainnya, bersama anak ustadz guru saya, tapi bolehlah untuk motivasi anak-anak.

Teringat Perkataan Orang

Lupa, siapa yang mengatakan ini ya? Ceritanya, ada orang tua yang tadinya tidak mau sholat. Mungkin sholat berjamaah di masjid, mungkin juga sholat lima waktu di rumah.

Dia punya anak yang sekolah di pesantren Al-Wahdah Bombana. Anak itu jelas dididik dengan agama Islam yang bagus. Sholat diperhatikan dan dibiasakan dengan ketat. Aneka taklim dengan aneka materi pula. Plus kegiatan yang membutuhkan fisik, seperti: kerja bakti atau bersih-bersih asrama.

Ketika pulang ke rumah, akhlak itu masih ada. Anak itu masih terbiasa sholat berjamaah di masjid. Sementara bapaknya belum. Eh, makin lama, bapaknya tertarik juga untuk sholat di masjid. Akhirnya terbiasa juga. Alhamdulillah, berkat anaknya sendiri yang menempuh pendidikan di pesantren.

Rindu yang Begitu

Memang sih, ada yang disayangkan. Orang tua yang lebih asyik menonton TV ketika adzan berkumandang. Anaknya bolak-balik ke masjid, bolak-balik jalan di depan bapaknya, tetapi bapaknya tetap duduk saja di situ. Kira-kira, tidak adakah perasaan malu begitu?

“Anak saya rajin sholat berjamaah di masjid, kok aku nggak ya?”

Atau kalimat lain, “Aku ini sudah tua, anakku masih muda, tapi rajinnya luar biasa. Kalau aku meninggal duluan, apa nggak berabe tuh?”

Kalimat-kalimat yang seperti itu semestinya memang menjadi pemikiran bagi para orang tua. Terlebih bagi orang tua yang memang memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah Islam. Seperti orang tua yang saya temui kemarin. Dia adalah bapak dari santriwati yang pernah saya ajar waktu kelas 1 SMA. Santri itu mau pindah ke Kolaka. Cantik juga wajahnya lho. Halah…

Orang tua itu mengatakan bahwa dia memang cukup memaksa anaknya masuk pesantren. Tadinya, si anak tidak mau. Kata si bapak, anak perempuan itu cukup sulit berpisah dengan orang tuanya karena terbiasa hidup bersama-sama. Mau dipisah untuk hidup di pesantren, itu bukan perkara mudah.

Santri itu awalnya juga ingin masuk di sekolah umum saja. Namun, kata si bapak, kalau di sekolah umum, pelajaran agamanya kurang. Terjadi dialog di antara mereka, si anak akhirnya mau masuk di pondok pesantren. Lebih tepatnya di tahfidz, khusus penghafal Al-Qur’an.

Biasakan dari Kecil

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan kepada setiap orang tua untuk mengajak anak mulai sholat umur 7 tahun. Jika sudah 10 tahun belum sholat, maka dipukul saja. Tentu bukan pukulan yang menyakiti.

Kalau dilihat dari baligh anak-anak, lebih banyak sih di atas 10 tahun. Jika sudah baligh, tentu saja sholat jadi kewajiban. Wajib yang sangat wajib. Namanya wajib ‘ain. Tidak bisa digantikan oleh orang lain, walaupun itu keluarga sendiri.

Sejak umur 7 tahun, dibiasakan sholat untuk apa? Namanya dibiasakan – ya – agar terbiasa toh. Masjid yang sudah diakrabi anak-anak, Insya Allah akan terus melekat di hati anak-anak sampai dewasa nanti. Hatinya terpaut dengan masjid. Untuk jenis ini, nantinya akan dinaungi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di padang Mahsyar. Saat itu, matahari didekatkan satu mil, cuaca sangat panas luar biasa.

Anak-anak yang sudah terbiasa dengan masjid sedari kecil juga akan menjadi pendorong kita. Mungkin ketika datang malas kita, bisa karena capek, lelah, atau mengantuk, anak-anak datang lalu berseru, “Abi, ayo kita ke masjid!”

Kita bisa bilang, “Sebentar, Nak. Masih capek Abi..”

Anak-anak mengerti sedikit. Tapi, tidak lama kemudian, dia minta lagi, “Abii, ayo kita ke masjid. Sudah adzan!”

Mau bilang “sebentar” lagi? Hem, coba saja, akan terus dipaksa oleh anak. Jika sudah begitu, bersyukurlah, karena tidak semua anak begitu. Masih banyak anak yang matanya terkunci pada layar HP terus. Adzan berbunyi, tetap juga matanya terpaku di gawai. Lupa sholat, tidak dengar adzan.

Semoga anak-anak kita tidak seperti itu. Aamiin…

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.