Ibu, Jangan ki ke Kantor Terus!

Ibu, Jangan ki ke Kantor Terus!

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Cerita ini adalah kisah nyata. Berdasarkan penuturan seorang ibu yang baru saja melahirkan anak keempatnya dengan kondisi si bayi sedang menangis.

Ibu tersebut dikaruniai empat anak, yang pertama laki-laki, kedua perempuan, ketiga laki-laki, dan keempatnya perempuan lagi. Kok bisa begitu ya? Selang-seling. Memang sih, ada perasaan tersendiri waktu anak yang lahir bisa sepasang. Misalnya anak pertama perempuan, anak kedua laki-laki, seperti teman saya yang punya usaha kuliner itu. Makan di sana enak lho, cobain deh!

Gambar oleh SD5432SD dari Pixabay

Saya mengakui bahwa si ibu, sebut saja N, memang sosok yang kuat dan cukup luar biasa. Suaminya berada jauh di provinsi lain, harus menyeberang laut untuk menemuinya. Entah berapa galon air laut yang dilewati untuk menuju ke tempat suaminya. Pernah N mengambil cuti dan mengajak semua anaknya. Namun yah, namanya cuti, pasti selalu terbatas bukan?

Profesi N

Alhamdulillah, N dan suaminya memang semuanya bekerja. Ini yang harus disyukuri terlebih dahulu. Keduanya pun digaji dengan uang rakyat alias uang negara. Oleh karena itulah, maka sudah menjadi kewajiban keduanya untuk masuk kantor. Apapun yang terjadi, jam kerja tetap harus dipenuhi. Mulai dari jam 8 pagi sampai 4 sore. Dan, masuk kantor itu jangan selalu dikaitkan dengan atasan. Soalnya ada singkatan P4 yang artinya Pimpinan Pergi, Pegawai Pulang.

Namun, harapan indah memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi memang tangannya kapalan, mungkin susah dibalikkan saking tebalnya itu kapal.

Kesibukan N dalam mengurus anak seorang diri, bagaikan single parent, justru membuatnya tidak bisa masuk kantor secara rutin. Dalam sehari, pasti tidak bisa dipenuhi 8 jam. Selalu saja kurang. Meskipun pakai jam tangan merek Maspion sekalipun, tidak akan bisa 8 jam.

Waktu ada mesin absensi sidik jari di kantor, dia datang jam 7 atau sekitar itu untuk menempelkan jempolnya di alat hitam tersebut. Setelah itu pulang dan mungkin masuk lagi agak siang nanti. Begitu juga setelah istirahat siang, sore baru muncul kembali. Itupun cuma untuk absen. Lagi-lagi dengan menempelkan sidik jempol ke tempat yang tersedia.

Padahal kantor N tempat bekerja membutuhkan waktu yang lebih banyak daripada jam kerja. Sering ada lembur. Sering ada pekerjaan yang harus diselesaikan tepat waktu. Kalau tidak, hem, alamat dimarahi, bahkan sampai ancaman dimutasi.

Hadir atau Tidak Hadir Sama Saja

Gambar oleh Ylanite Koppens dari Pixabay

Kemampuan N di kantor tempatnya bekerja memang tidaklah sempurna. Untuk mengetik saja, masih terbata-bata. Masih mencari huruf yang mau diketik, padahal hurufnya ya di situ-situ saja. Masih harus tanya ini bagaimana, itu bagaimana. Melihat kemampuan yang seperti itu, ditambah dengan sangat jarang dia memenuhi jam kerja secara full, membuat kemampuannya memang tidak terlalu dibutuhkan atasannya. Dia hadir atau tidak, sama saja sih. Dia tidak hadir satu hari, sama saja dengan 24 jam!

Nah, kalau ada fenomena seperti itu, ini ‘kan sangat disesalkan. Dia dibayar oleh negara untuk melakukan suatu pekerjaan, tetapi kemampuannya memang tidak mumpuni. Betapa banyak pegawai yang seperti ini. Itu baru satu saja, bagaimana kalau ada 10, 100, 1.000, sampai ribuan orang seperti N itu? Tentunya negara akan rugi menggajinya bukan? Apalagi kalau negara Wakanda dan Konoha, ya ‘kan?

Selain itu, kehadirannya yang tidak maksimal di kantor tetap saja dikeluhkan oleh anaknya. Suatu kali, anaknya pernah berkata kepada ibunya, “Ibu, jangan ki masuk di kantor! Berhenti mi jadi pegawai.”

Kalimat itu adalah ungkapan polos dari salah satu anaknya bahwa memang kehadiran ibunya lebih diperlukan di rumah. Mengurus anak kecil, sambil hamil pula, dan masih menyusui, ini tentu saja sangat berat. Lebih berat lagi ketika suaminya berada sangat jauh di luar daerah.

Kehadiran suami untuk membantu pekerjaan rumah tangga yang terbengkalai akan sangat meringankan beban istri. Tentu saja hal itu bukanlah aib ketika suaminya mencuci, menjemur, menyetrika, mencuci piring, yang penting di rumahnya sendiri. Kalau di rumah tetangganya, itu lain cerita. Memang bagaimana ceritanya, Mas? Lha, embuh!

Kalau Begitu, Begini Saja

Gambar oleh Darno Bege dari Pixabay

Pada dasarnya, kewajiban suami itu memang mencari nafkah. Suami yang hebat adalah suami yang nafkahnya cukup untuk keluarganya hingga istrinya tidak perlu ikutan mencari uang juga. Kalau ada istri ikut mencari uang, ini bisa dilihat dari berbagai persepsi. Mungkin memang kekurangan. Atau bisa jadi, istrinya tidak betah di rumah, makanya harus bekerja. Atau sebelum menikah sudah bekerja dan tidak mau berhenti bekerja sesudah menikah.

Melihat kondisi N seperti itu, kalau saya boleh menyarankan sih, berhenti saja jadi pegawai. Toh, suaminya di seberang sana memberikan penghasilan yang lebih daripada cukup. Selain itu, keluhan anaknya bahwa ibunya kerap meninggalkannya, itu sudah menjadi tanda bahwa si anak memang tidak mau ibunya bekerja di luar rumah. Sebab, jika keluar rumah dan berada di kantor, juga tidak maksimal. Saat di kantor tidak maksimal, di rumah juga begitu, ‘kan lebih baik dipilih salah satu. Dan, rumah adalah tempat terbaiknya.

Jika seorang ayah yang seperti itu, bekerja sampai di luar daerah, hingga mungkin ke luar negeri, maka si anak tidak perlu mengeluh. Pada dasarnya, laki-laki itu memang diberikan kemampuan kerja hingga keluar rumah. Kekuatan dan fisiknya mampu mendukung aktivitas kerja. Laki-laki berkulit hitam, tangan kasar, badan jadi berotot karena bekerja, itu masih sangat wajar. Beda halnya dengan laki-laki presto alias yang bertulang lunak, mereka keluar rumah juga, tetapi untuk pekerjaan yang sangat tidak wajar.

Namun, saya berpikir lagi sampai di sini, untuk apa ya mencampuri kehidupan rumah tangga orang ya? Apalagi sampai menuliskannya di sini? Yah, paling tidak cerita nyata tersebut saya ketahui juga dari teman. Tidak perlu diketahui siapa nama aslinya, tinggal di mana, apa pekerjaan sebenarnya dari N dan suaminya. Soalnya, kalau saya sebutkan nama kecilnya, kamu mungkin tidak tahu. Apalagi pengertian dari nama kecil itu adalah nama yang disebutkan kecil saja, sambil bisik-bisik pelan sekali. Ya, jelas tambah tidak tahu toh!

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

4 Comments

  1. Dalam Islam tidak ada kewajiban seorang perempuan untuk mencari nafkah. Membaca cerita di atas kita ga tahu whole story mengapa mereka begini dan begitu.

    Segala pilihan yg diambil bakal membawa konsekuensi yang perlu dihadapi. Semoga Allah mudahkan supaya mendapat pilihan terbaik yg membahagiakan suami istri dan anak-anaknya.

    Btw, kalo di posisi Mas Rizky sebagai suaminya yg merantau, LDR dg istri dan 4 anak tersebut apa yang akan mas lakukan? Bekerja lebih dekat dg keluarga atau memboyong keluarga ke tempat yg dekat pekerjaan sekarang atau tetap dg kondisi LDR?

    1. Kalau saya yang mengalami sih, LDR itu memang berat, Mbak. Jadi, akan memilih memboyong saja keluarga ke sana. Selain akan membuat kerja lebih semangat, juga lebih nyaman karena dekat dengan keluarga. Daripada LDR, perasaan tidak menentu karena maksimal menatap wajah hanya lewat layar. Kan belum ada pintu Doraemon di sini toH?

  2. Mas rizky ini komedi terus ya tulisannya. Sebenarnya penasaran banget sama maksud “Jangan ki”, ini maksudnya apa ya..apa jangan2 salah tulis, pikirku. Setelah baca, apakah maksudnya “jangan pergi?”…

    1. Ki itu maksudnya logat Sulawesi, Mbak. Jadi, ada kata sandangnya yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat.

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.