Jangan Pernah Merasa Gagal Menjadi Seorang Ayah

Jangan Pernah Merasa Gagal Menjadi Seorang Ayah

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Malam itu, seorang laki-laki yang bisa kamu sebut saja dengan panggilan Aa, baru saja pulang dari masjid. Dia bersama anak-anaknya pulang dari rumah Allah tersebut.

Baru saja pulang, dia mendapatkan perlakuan yang dirasa kurang menyenangkan dari istrinya. Sebut saja istrinya dengan panggilan Aisy. Eh, dalam kondisi perut lapar dan butuh makan malam, Aisy malah ngomel-ngomel tidak karuan.

Tentu saja, hal itu memancing emosi Aa. Dia pun membalas omelan itu dengan kata-kata yang kasar dan menyakitkan. Dia menghina Aisy dengan sebutan “goblok”, “tolol”, bahkan “gila”. Aa menyemburkan kata-kata itu dengan bebasnya, padahal nyata-nyata semua anaknya mendengar. Dia tidak terpikir bahwa anaknya suatu saat bisa meniru perilakunya. Bisa meniru kata-kata sembrononya. Bisa menerapkannya ketika nanti mereka sudah berumah tangga. Kalau sudah begitu, siapa yang mau bertanggung jawab? Apakah Aa sendiri?

Sudah sejak lama, Aa memang mudah sekali terpancing. Padahal Aa ini bukan sejenis ikan, tapi kok mudah terpancing ya? Hanya dengan emosi Aisy yang meluap, Aa pun ikut kalap. Padahal, seandainya Aa menyadari bahwa Aisy itu cuma capek. Dia lelah menjaga anak-anak sendirian. Sedangkan Aa berada di tempat kerja tanpa mengurus anak, sedangkan Aisy kelimpungan di rumah dengan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga.

Kelelahan istrinya itu justru dibalas Aa dengan semburan kata-kata kasar bin kejam. Bukannya dia diam saja, sabar saja, membiarkan emosi istrinya meluap sejenak, tetapi malah membalas dengan perlakuan yang lebih mengerikan. Pernah juga Aa sampai tega memukul bahkan menendang Aisy. Entah setan mana yang merasuki pikiran Aa waktu itu? Apakah kamu kenal nama setan itu? Siapa tahu ada temanmu yang pernah dirasukinya?

Ketika Pagi

Membiarkan Aa larut dalam emosi ketika tidur memang sangat tidak menyenangkan. Dia belum bisa memaafkan istrinya. Sebenarnya, Aisy sudah menyiapkan makan malam untuk Aa. Telur goreng, nasi, dan sayur dihidangkan untuk suaminya tercinta. Namun, Aa tetap emosi. Dia tetap kalap. Dia merasa harga dirinya diinjak-injak sebagai seorang suami dan kepala keluarga gara-gara dimarahi istrinya. Seharusnya suami itu dihormati. Hem, ini suami atau tiang bendera ya?

Saat pagi menyingsing, matahari terbit dari ufuk timur, itu berarti belum kiamat karena kalau kiamat berarti matahari terbit dari barat, Aa bangun dengan perasaan yang tidak terlalu nyaman. Ya, iyalah, rasa emosinya masih tersimpan dalam dada waktu berangkat tidur. Lho, berangkat tidur? Naik apakah?

Melihat pagi, dengan matahari yang masih cerah, suara rekaman sarang burung walet dari tetangga, membuat hatinya jadi lebih lunak. Emosinya pun perlahan hilang. Apalagi waktu dia mengantar anak-anaknya sekolah. Dia menjadi pribadi yang berbeda, lain dengan pribadinya tadi malam.

Selalu begitu dan selalu begitu. Emosi lewat kata-kata akhirnya lenyap ditelan waktu. Akan tetapi, tidak untuk Aisy. Dia menerima berbagai kata kasar, keras, dan sangat menyakiti hati itu sudah sejak lama. Lama kelamaan memang tertimbun. Ibaratnya sampah yang kamu tumpuk setiap hari di kamar kostnya. Eh, jorok banget ya?! Hufh, bau!

Aisy tidak punya penyaluran yang lebih tepat. Satu-satunya penyaluran adalah melalui suaminya. Namun, bukan penyaluran yang menyenangkan bagi suami, lebih tepatnya itu tadi, berupa rasa amarah yang menggebu-gebu, meluap-luap.

Aa sebagai suami justru tidak menerima penyaluran itu dengan baik. Dia membentengi dirinya dengan tembok tebal. Rasa emosi dari istrinya akhirnya hanya menghantam tembok tebal tersebut. Kembali lagi kepada Aisy. Aa tidak terima dimarahi. Dia tidak rela diomeli. Ketika istrinya melakukan dua hal itu, maka Aa bisa membalas dengan lebih kejam lagi. Makanya, Aisy lebih memilih untuk diam saja. Namun, dia tidak tahan juga. Dia semprotkan kepada suaminya, lalu suaminya menangkis dan menyerang balik.

Dan, Kini

Sambil duduk-duduk di ruang tamu, Aa merenung tentang kejadian tadi malam. Apakah dia sudah merasa yang paling benar? Apakah dia sudah melakukan tindakan yang terbaik? Apakah harga dirinya sebagai seorang suami dan kepala keluarga berhasil dipertahankannya? Dia merenung dan makin merenung. Ternyata jawabannya memang tidak! Dia justru menciptakan masalah baru. Masalah yang akan memunculkan masalah berikutnya di kemudian hari.

Saat bangun tidur, dia bersyukur dalam hati, rupanya dia masih hidup. Berarti hari itu masih ada kesempatannya bagi Aa untuk memperbaiki hubungan dengan istri dan anak-anaknya. Tadi malam tidak cuma istri yang dimarahi, tetapi anak keduanya. Si anak menangis keras mencari sesuatu, tetapi meminta ibunya. Aa menarik tangan anak itu, sedikit menyeretnya di atas kasur. Tentu saja, setelah itu, si anak menangis.

Ah, Aa sudah mendapatkan jawabannya. Ternyata dia melakukan kesalahan yang sama, lagi dan lagi. Kesalahan yang dulu pernah dilakukan, kini terulang kembali. Muncul lagi. Sasarannya pun sama, itu lagi, itu lagi.

Apakah Aa tidak pernah belajar dari kesalahan? Sepertinya begitu. Buktinya, kalau dia belajar, seharusnya kesalahan yang sama tidak diulangi. Namun, begitulah Aa, emosional menjadi sifat dasarnya. Apakah bisa berubah? Oh, bisa sama sekali. Sangatlah bisa. Hanya apakah Aa mau atau tidak? Apakah Aa mau menjalani prosesnya?

Jika Aa mau berubah, maka dia bisa menjadi suami terbaik, kepala keluarga yang ciamik di rumah itu. Dan, kesalahan-kesalahan yang dulu akan menjadi bekal agar mendapatkan predikat terbaik tersebut. Aa tidak boleh pula merasa gagal sebagai seorang ayah atau kepala keluarga. Sebab, nyatanya waktu masih ada. Dia masih hidup. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Tentunya, bukan dengan usaha yang leha-leha, melainkan dengan usaha yang maksimal, ditambah dengan berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.