Ini adalah kisah nyata yang terjadi beberapa waktu yang lalu di jagad media sosial alias medsos. Seorang pengusaha dengan inisial D, ternyata menikah lagi tanpa sepengetahuan istrinya.
Masalah itu terus mengalir hingga akhirnya istri pertamanya minta cerai. Ramai sekali berita itu di medsos. Warganet atau netizen yang maha benar itu menghujat D. Hujat memang tidak pandang musim, mau itu musim hujat atau kemarau, tetap komentar mereka bisa membanjiri.
Komentar-komentar yang ada sebagian besar memang tidak mendukung D menikah lagi. Bagaimana dengan saya sendiri? Kalau saya sih, mendukung langkah D untuk menikah lagi. Jangankan cuma satu orang, dia penuhi slotnya sampai punya empat istri pun saya dukung.
Alasan Saya Mendukung D
Saya berpendapat mendukung seperti itu ada beberapa alasan. Pertama, D adalah seorang pengusaha sukses. Tidak hanya sukses, tetapi juga sangat sukses. Omzetnya saya yakin sudah tembus triliunan rupiah. Sekali promosi atau launching produk, dia bisa mendapatkan miliaran rupiah.
Hal yang membuat dia bisa seperti itu karena dia punya database yang sangat banyak. Ribuan orang setia menjadi followersnya. Dia kumpulkan list email, nomor Whatsapp, hingga masuk di Telegram, semuanya terkelola dengan baik. Makanya, begitu mau promosi, dia cuma blast email atau lewat Whatsapp, puluhan juta bisa langsung didapatkan. Bahkan, D bisa mendapatkan 80 juta rupiah cuma dalam waktu tiga jam. Ini sangat-sangat luar biasa!
Brand-brand yang dikelola pun sangatlah banyak. Mencapai 60 brand. Ini jelas tidak mudah, tetapi D bisa dan mampu. Dia bisa mengelola semuanya itu tentu karena punya banyak ilmu. Ini yang menjadi alasan berikutnya.
Kedua, D adalah orang yang sholeh. Dia dikenal rajin berpuasa, rajin sholat, rajin mengisi pengajian di masjid, dan tentu saja, tidak ketinggalan adalah rajin bersedekah. Khusus yang ini, dia mengaku bisa sedekah jor-joran alias sedekah brutal. Pernah membagikan tiga tiket umroh gratis. Dia juga punya klub orang-orang yang bersedekah minimal 10 juta rupiah per bulan.
Dua alasan itu kiranya cukup untuk mendukung D berpoligami sebenarnya. Dia kaya raya, bisa mencukupi kebutuhan dua istri plus anak-anaknya. Dia juga sholeh, banyak ilmu agamanya, tentu dia akan berusaha untuk adil kepada para istrinya. Lha, dua syarat itu terpenuhi, kok masih ditolak juga? Kok istri pertama malah minta cerai sih?
Efek Selanjutnya
Semestinya, istri pertamanya D tidak perlu minta cerai. Berat lho cerai itu! Dikira gampang. Hati menjadi sangat sakit, begitu pula yang menjadi korban tidak bersalah adalah anak-anak. Mereka jadi kehilangan separuh sayap. Cuma sama ibu, tanpa figur ayah, pastilah sangat tidak lengkap.
Terus, kalau sudah minta cerai, istri pertama D harus banting tulang sendiri untuk mencukupi kebutuhannya sendiri dan anaknya. Saya pernah melihat dia live di Facebook jualan pakaian. Padahal, jika masih bersama D, tidak perlu seperti itu. Cukuplah menunggu uang tunai atau transferan dari D yang jumlahnya saya yakin lebih dari Rp10.000,00.
Akibat selanjutnya juga pada D. Sudah sepekan lebih, dia tidak muncul di jagat media sosial. Padahal, dulunya sering sekali berbagi atau sharing-sharing materi bisnis. Kalau tidak muncul begitu, ‘kan jadi tidak ada update alias sharing ilmu terbaru, ya ‘kan? Bisa jadi dia sudah punya referensi terbaru atau pembahasan terbaru atau apalah yang mestinya dishare melalui media sosial atau media lainnya.
Seandainya istri pertama D bisa bertahan, maka itu akan menjadi pembelajaran juga bagi semuanya. Bahwa untuk bisa berpoligami itu tidak mudah, sangat tidak mudah. Saya juga tahu itu. Namun, kunci dari langgengnya poligami adalah ekonomi. Malah ini tidak hanya bagi yang poligami, tetapi juga bagi yang monogami. Jika suami tidak kuat dalam mencukupi kebutuhan istri dan anak-anak, maka biasanya istri akan meminta cerai.
Oleh karena itu, yang sudah kaya dan sholeh begitu, tetap ditolak poligami, lalu yang seperti apa dicarinya? Bukankah kaum perempuan itu mesti menerima kodrat bahwa sejatinya mereka akan dipoligami juga. Syariat Islam membolehkan laki-laki beristri lebih dari satu, sedangkan perempuan tidak boleh punya suami lebih dari satu.
Jika laki-laki punya istri tiga misalnya, maka ketika punya anak, jelas itu adalah si suami. Anak si bapak itu. Namun, bayangkan bila satu perempuan suaminya tiga, saat punya anak, maka akan jadi pertanyaan, “Ini anaknya siapa?” Betul begitu bukan?
Aneh Memang
Saya juga pernah mendengar kisah nyata, keduanya adalah aktivis dakwah. Sudah sangat senior. Lama sekali aktif di sebuah lembaga dakwah. Namun, yang bikin saya heran adalah ketika sang suami mau poligami, istrinya justru menolak. Hey, bukankah mereka paham dengan agama Islam? Bukankah mereka hafal ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam? Lalu, mengapa sang istri masih menolak dengan mengedepankan perasaannya? Saya jadi geleng-geleng kepala plus tepuk jidat ini!
Kembali kepada si D tadi. Masih awal menikah sudah digugat cerai oleh istri pertamanya, padahal bisa jadi, nanti ketika menjalani poligami, justru hal-hal positif akan didapatkan. Yang penting, istri pertamanya bisa sabar dan menjalani dengan ikhlas.
Memang berat dan begitulah perempuan, selalu lebih mendahulukan perasaannya. Akan tetapi, poligami ini tidak semata-mata mengandalkan perasaan. Justru perasaan si perempuan harus disingkirkan dulu ketika cara berpoligaminya, laki-lakinya, kemampuannya, dan kualitasnya memang tepat untuk berpoligami.