Guru Kencing Berdiri, Dua Tiga Pulau Terlampaui

Guru Kencing Berdiri, Dua Tiga Pulau Terlampaui

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Tersebutlah sebuah kisah tentang kehidupan sepasang suami istri dan beberapa anaknya. Sebut saja nama laki-lakinya adalah Aa dan istrinya adalah Aisy. Beberapa anaknya nanti saja.

Aisy punya keinginan untuk mengajar lagi. Dulu, ketika dia masih jadi jomblo alias gadis ting-ting, dia pernah mengajar di sebuah organisasi Islam besar di negeri ini. Mengajar SMP.

Tempat mengajarnya pun termasuk mirip pesantren sih. Makanya, dia menginap di sana. Bersama dua atau tiga orang temannya satu kamar, menjadi guru yang dibutuhkan oleh para murid.

Gadis itu ingin mengulang kenangan lagi. Mengajar berbagai sifat dan karakter anak, dengan latar belakangnya pula. Eh, kalau latar belakang anak ‘kan rambut toh? Adakah yang latar belakangnya bisa jadi latar depan? Kalau ada, wah, cukup mengerikan!

Namun, keinginan Aisy ditentang suaminya. Jelas saja kalau Aisy mengajar lagi, apalagi sampai meninggalkan rumah, maka urusan anak-anak akan terbengkel alay, eh, terbengkalai.

“Aisy ingin ngajar lagi, Aa. Ingin seperti dulu waktu Aisy masih bisa bertemu anak-anak.”

“Iya, Aa tahu, Aisy. Tapi ‘kan sekarang Aisy sudah menikah sama Aa. Sudah ada beberapa anak, masa mau tinggalkan demi mengajar anaknya orang?”

“Aa yang jaga anak-anak toh! Aisy pokoknya mau mengajar. Ingin banget mengajar!” Frekuensi suara Aisy mulai ngegas, entah gas tabung hijau atau yang pink dia pakai?

“Ya, tidak bisa begitu toh, Aisy. Aa itu maunya Aisy di rumah saja. Urus saja anak-anak kita di rumah.”

“Nggak bisa, Aa. Aisy bosan di rumah. Aisy ingin keluar, kayak dulu lagi.”

“Pokoknya tidak bisa, Aisy. Maaf, Aa nggak izinkan.”

“Aa nggak boleh begitu. Istri mau keluar kok dihalangi? Suami macam apa itu?” Eh, makin ngegas juga dia.

Aa jadi tersulut emosinya, padahal mereka tidak tinggal di Sulut. Wibawanya sebagai seorang suami mulai digerogoti istrinya. Kepemimpinannya di rumah tangga itu seperti diinjak-injak, padahal Aisy sedang tidak pakai sepatu bot. Halah, apa hubungannya coba?

“Seorang istri itu harus manut sama suami. Masa Aisy mau keluar mengajar tanpa izin Aa?”

“Ini demi kebaikan Aa juga, Aisy mau mengajar. Mau mencari uang juga, Aa. Aisy lihat, uang dari Aa itu kecil. Tidak bisa buat beli berlian sama permata seperti artis-artis itu. Apalagi, Aa juga tidak tiap hari ngasih. Aa ini ‘kan memang orangnya pelit!”

Mendapatkan serangan semacam itu, batin Aa makin terkoyak. Ini sudah betul-betul tidak bisa dibiarkan. Makin muntab Aa. Ingat ya, hanya muntab, bukan muntaber, apalagi kata sebagian orang itu arti muntaber adalah mundur tanpa berita. Hem, atau mungkin mundur karena muntaber ya?

Aa makin emosi. Menghadapi istri yang mulutnya macam got itu, menurut Aa, sudah membuatnya makin emosi. Dia langsung memarahi istrinya dengan nada yang tinggi. Eh, Aisy tidak mau kalah, dia balas juga dengan nada tinggi. Tidak tahu, nada tingginya itu berapa meter, tetapi suasana rumah jadi tambah menegangkan. Mungkin tidak semenegangkan rumah yang dipakai syuting Pengabdi Setan. Namun, dari gelagatnya, Aa dan Aisy mulai tersambar setan semua.

Perkelahian terus mengalir. Adu cekcok mulut kembali terjadi. Anak-anak Aa dan Aisy melihat dengan mata kepala sendiri, ya iyalah. Dalam memori mereka, mulai masuk contoh yang buruk dari orang tuanya. Hingga Aa pun terpikir mau memukul Aisy. Mau melakukan KDRT saja. Sampai akhirnya, Aa sadar bahwa hal itu tidak boleh dilakukan. Jika sampai terjadi, maka itu berarti sudah dilakukan.

Momen Lainnya

guru-kencing-berdiri-2

Pertengkaran antara Aa dan Aisy semacam itu memang wajar terjadi. Tidak hanya pasangan itu, tetapi jutaan pasangan lain pastilah pernah bertengkar.

Dulu, momen indah terjadi ketika pesta pernikahan, terus memuncak di malam pertama. Setelah itu, berapa lama bisa bertahan? Satu bulan, tiga bulan, enam bulan, satu tahun, bertahun-tahun kemudian? Bagi yang bertahan sampai sekarang, selamat ya! Berarti sudah bisa sabar, tabah, dan betah menghadapi pasangan masing-masing.

Antara suami dan istri memang tidak akan pernah cocok 100 %, sebab yang ada itu dicocok-cocokkan. Keduanya selalu memiliki kombinasi yang pas. Misalnya: si istri cenderung cuek, tidak terlalu suka kebersihan, sementara suaminya peduli sekali dengan kebersihan, bahkan kerapian. Dan, sifat-sifat lainnya.

Masih berkaitan dengan kisah di atas, Aa menginginkan Aisy untuk di rumah saja. Menurut Aa, daripada mengajari anak orang lain, lebih baik anak sendiri. Daripada mendidik anak orang lain, lebih utama anak sendiri, anak Aa dan Aisy.

Dari situ, kemampuan Aisy dalam mengajar bisa kembali diungkit. Ketika masih cewek dulu, dia bisa mengajar banyak anak dalam satu kelas. Kini, meskipun hanya beberapa anak, tetapi nilainya pun bisa sama, sebab waktunya sampai 24 jam. Dulu ‘kan mengajar anak-anak tidak sampai 24 jam.

Pada akhirnya, Aisy mulai mengerti bahwa keadaannya memang berbeda. Sudah tidak bisa disamakan antara masa waktu dia masih gadis dengan sekarang sudah jadi ibu-ibu. Tetap sama sebutannya. Aisy tetaplah guru. Kalau dulu adalah guru bagi banyak anak orang lain, sekarang anak sendiri, walaupun kuantitasnya berbeda.

Pelajaran Penting Pertama

guru-kencing-berdiri-3

Ada suatu ilmu yang sering terlupa bagi orang tua, bahwa sejatinya suami dan istri itu mesti menjadi guru yang kompak. Pelajaran sederhana pertama adalah mengajari Surah Al-Fatihah. Surah ini merupakan bacaan wajib dalam setiap salat. Jika tidak baca, maka salatnya bisa batal dan mesti diulangi dong!

Nah, jika suami dan istri, ayah dan ibu bekerja sama untuk mengajari anaknya yang masih balita dengan Surah Al-Fatihah, bukankah itu jadi amal jariyah buat mereka berdua? Tiap salat nanti, anaknya membaca, maka pahala akan mengalir terus kepada mereka. Lha kok, semulianya amalan begitu, malah dikasihkan ke orang lain? Ke gurunya di sekolah?

Gurunya yang beruntung dong dapat amal jariyah dari sang anak. Walaupun mungkin honornya kecil, tetapi membawa amal jariyah yang sangat besar, tidak hanya dari satu anak, tetapi semua anak yang diajarinya, dari tahun ke tahun.

Pelajaran berikutnya adalah tentang tingkah laku. Meskipun anak-anak belum tentu menyukai Sponge Bob, tetapi karakter anak itu seperti spons. Mereka menyerap contoh perilaku atau tingkah tanduk dari orang tuanya.

Makanya, perkataan buruk yang mereka terima akan terus teringat sampai selamanya. Begitu pula kamu bukan? Masih ingat apa perkataan buruk yang mungkin kamu dengar dari orang tuamu sendiri?

Sesuai Peribahasa

Mengacu kepada peribahasa sesuai judul di atas, mungkin akan terdengar rancu. Lho, bukannya rancu ini seperti judul lagu: Madu dan Rancu?

Guru yang pertama dan utama bagi anak tentu saja orang tuanya. Mengajarkan tidak hanya nilai-nilai seperti yang ada di sekolah, tetapi justru lebih banyak, besar, dan kompleks daripada itu.

Dari sini, menjadi orang tua tidak cuma sekadar punya anak. Namun, juga bagaimana menjadi guru yang terbaik untuk anak-anaknya. Sungguh tidak enak? Ya, jelas, masa mau enaknya, tidak mau mendidik anaknya?

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

4 Comments

  1. Ini juga yang jadi alasanku resign dari rutinitas kantoran 10 tahun lalu. Ingin mendampingi tumbuh kembang anak, ingin jadi guru pertama untuk anak. Kalaupun tak sepintar guru akademis, minimal mengajarkan ibadah dan etika. Dua pelajaran penting yang memang seharusnya didapatkan di rumah, Dari orang tua, bukan dari pengasuh atau tempat penitipan anak

    Setuju banget sama artikelnya
    Terimakasih sharingnya ya

  2. Jujur, yg berat itu bukan rindu tapi didik anak2 :))
    aku nggak nyangka jadi ibu di rumah tuh luar biasa >.<
    menikah kudu kompak suami dan istri, klo nggak, bisa2 ke laut ajeee

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.