Saya pernah membaca sebuah postingan di Instagram tentang seorang ayah yang hanya menyisakan uang satu juta rupiah di rekeningnya. Tentu yang dimaksud di sini adalah rekening bank, bukan PDAM apalagi listrik.
Mungkin kamu nanya dan bertanya-tanya, lho kok cuma satu juta, Mas? Kenapa bukan satu miliar? Iya juga, ya, kalau satu juta mah itu dikit banget.
Ternyata, alasannya adalah dia sengaja seperti itu, menghabiskan sebagian besar uangnya untuk piknik atau rekreasi bersama istri dan anak-anaknya. Mereka pergi ke tempat wisata dan menikmati kebersamaan yang indah di sana.
Apa Tidak Boros?
Mungkin kamu nanya dan bertanya-tanya lagi, raowrrrr, uang yang ada kenapa tidak ditabung saja? Untuk nanti biaya di masa depan? Nah, si bapak itu beralasan lagi bahwa justru itulah menabung yang sebenarnya. Ini persepsi saya lho, karena dia memang sering rekreasi bersama keluarganya. Jadi, perkara uang habis atau menyisakan cuma satu juta rupiah di rekening, tidak masalah untuknya.
Dia menikmati liburan bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Baginya, jika tidak dilakukan sekarang, kapan lagi? Keburu anak-anak sudah besar? Jika mereka sudah besar, maka untuk ikut piknik bersama orang tuanya mungkin tidak semangat lagi. Mungkin mereka akan memilih rekreasi bersama teman-temannya.
Selain itu, si bapak juga merasa kalau bukan sekarang, maka kesempatan itu akan hilang. Apa itu? Apalagi kalau bukan menikmati kuliner atau makanan-makanan di tempat wisata tersebut. Ketika pikniknya nanti-nanti atau menunggu uang terkumpul banyak dulu, maka kekuatan tubuhnya jelas akan berkurang. Mungkin badannya sudah tidak kuat berjalan ke sana kemari, mungkin giginya pun sudah tidak kuat mengunyah.
Ternyata, Benar Juga ya!
Belajar dari postingan itu, rupanya benar juga. Setelah saya pikir, terawang, sampai ke awang, wah itu mah awan, liburan bersama keluarga itu memang cara memanfaatkan waktu yang sangat luar biasa. Adakah orang yang tidak begitu? Oh, ternyata banyak. Ini terutama terjadi karena si bapak masih membawa kenangan waktu jomblonya ke dalam kehidupan rumah tangganya.
Si bapak itu lebih senang menikmati kebersamaan dengan teman-temannya. Mungkin ngopi bareng, nongkrong bareng, atau malah touring ke luar kota. Padahal, anak dan istri-istrinya, eh terbalik, anak-anak dan istrinya, setia menunggu pulangnya. Setia menanti, kapan bisa rekreasi lagi? Sementara si bapak malah asyik dengan kehidupan luarnya.
Seorang pembicara, saya lupa namanya, pernah mengatakan bahwa kalau ingin nongkrong sampai tengah malam di kafe boleh saja, silakan saja, tetapi jangan lupa ajak istri! Jadi, nongkrongnya tetap, kafenya tetap, tetapi yang dibawa tidak sama dengan dahulu. Istri diajak nongkrong saja. Itulah yang membedakan ketika masih jomblo dan setelah menikah. Kalau masih jomblo dahulu, yang diajak istri juga? Wah, kalau itu sih istrinya orang, waduh! Atau yang lebih pas istrinya bapak alias ibu kita, nah ini.
Memang Hanya Sebentar
Kembali membahas postingan Instagram bapak tadi yang rela uangnya tinggal sedikit untuk piknik bareng keluarga. Dia merasa waktunya hanya sebentar dengan anak-anak. Mengenai waktu sebentar ini, memang sudah banyak yang membuktikan. Saya sendiri merasa anak-anak memang cepat tumbuh besarnya. Anak saya yang ketiga sudah satu tahun, padahal saya merasanya 365 hari dia lahir ke dunia ini. Yah, iyalah!
Bagaimana dengan kamu sendiri? Merasa seperti itu juga? Dari yang tadinya masih balita, eh, kok sudah SD, eh kok sudah SMP, eh, kok sudah kuliah? Dari yang tadinya anak-anak, sekarang sudah punya anak. Dulu kita yang menjadi tokoh utama di acara pernikahan, sekarang anak kita yang mengambil giliran itu.
Waktu memang berjalan semakin cepat dan itu memang tanda-tanda kiamat sudah dekat. Jika waktu yang terasa sebentar ini berlalu begitu saja, jelas tidak akan kembali. Seperti es batu, dipakai atau tidak akan mencair kalau disimpan di luar kulkas lho ya. Kecuali es batunya dari batu beneran, maka akan sulit mencair.
Nah, dari kata “sebentar” itu, saya menariknya lebih jauh. Memang sih kebersamaan kita dengan anak-anak hanyalah sebentar, tetapi ternyata ada makna lain. Ada pengertian lain. Kata “sebentar” itu sering dipakai saat menghadapi anak-anak saya sendiri.
Sangat sering, anak meminta sesuatu. Entah itu minta mandi, dicarikan bajunya, beli kue, beli nasi, atau minta pertolongan lainnya dan mereka meminta untuk segera dipenuhi. Mereka ingin langsung dalam sekejap mata barangnya ada, layanannya ada. Padahal untuk itu tidak mudah. Misalnya, sementara saya sedang mandi, ada anak minta BAB. Kan ritual mandi saya belum selesai, tetapi anak buru-buru ingin beol. Akhirnya, saya mengatakan, “Tunggu dulu, sebentar, sabar!”
Dari kata “sebentar” muncullah teman-temannya seperti “tunggu dulu” dan “sabar”. Soalnya saya merasa anak-anak begitu menginginkan yang cepat, instan, dan harus segera. Sedangkan saya butuh waktu untuk melayani mereka. Misalnya sedang mengetik artikel, seperti dalam tantangan 1W1P ini, hehe, tiba-tiba anak ingin dibelikan sesuatu. Dia lapar atau memang ada barang ingin dibeli. Saya pun langsung mengatakan, “Iya, Nak, tunggu dulu, sebentar, sabar!”
Berkali-kali saya mengatakan itu dan entah sudah berapa kali total sejak mereka mulai bicara. Sebentar, sabar, tunggu dulu, selalu menjadi teman atau sahabat saya setiap hari. Malah ditambahi istri juga, dia juga punya keperluan. Tiga kata itupun saya tujukan untuknya, perempuan yang telah menemani saya selama 11 tahun lebih.
Memang Tidak Instan
Kadang, saya tidak selalu menuruti keinginan anak-anak. Jika belanja di Indomaret, anak yang kedua selalu ingin beli jajanan. Saya paling menolak kalau dia ingin beli Yupi. Saya tidak suka makanan itu dan menyarankan ke dia untuk beli roti saja. Kalau es krim, ya, masih bolehlah, asal tidak terlalu sering. Dan, kalau saya sudah menolak, biasanya dia nurut. Beda dengan istri saya, dia tahu bahwa istri saya tidak kuat dimintai terus.
Saya selalu mengucapkan tiga kata tersebut di atas sebagai pembelajaran bagi anak-anak bahwa di dunia ini tidak semua hal bisa diraih dengan cepat dan mudah. Semuanya memang butuh proses, butuh kesabaran. Adakah tempat yang tidak membutuhkan kesabaran? Ada, nanti di surga. Segala keinginan kita akan dipenuhi oleh Allah. Minta, langsung cling, ada! Bahkan hanya terbersit dalam hati saja, sudah ada di depan mata. Enak bukan?
Ada momennya juga saya marah dimintai terus. Sudah saya katakan tiga kata itu, tetapi anak tetap merajuk-rajuk. Pernah sih saya bentak juga, tetapi ‘kan akhirnya menyesal juga. Sebagai orang tua, tentu ada rasa sedih, duh, kok anakku sendiri dimarahi ya? Apalagi melihat anak kita sedang tidur nyenyak, rasa nyesek itu muncul kembali. Anak kita sudah dimarahi habis-habisan misalnya, eh, besoknya dia kembali kepada kita dan memperlihatkan senyum termanisnya.
Jadi, sampai di sini, mau kemana? Kalau saya sih mau mencuci baju, karena lumayan menumpuk. Mumpung tanggal merah, libur, cuaca cerah, pekerjaan apalagi yang cocok selain mencuci baju dan menjemurnya?
Bagi kamu yang sekarang menjadi orang tua, memang dituntut harus sabar. Masa kebersamaan kita dengan anak-anak memang hanya sebentar. Mungkin dia yang lebih dahulu meninggalkan kita atau malah kita sendiri, waallahu alam.
Selain masa yang sebentar itu, silakan gunakan kata “sebentar” dalam menghadapi anak-anak, dalam menanggapi permintaan anak-anak yang seakan-akan memang tidak ada habisnya. Saya mengikuti sebuah webinar kemarin, bahwa tanda anak-anak terpengaruh HP adalah semuanya mau serba instan. Sebab, di HP memang yang diinginkan langsung ada dan muncul sekejap mata.
Nah, jadi, berapa jumlah kata “sebentar” yang kamu pakai hari ini? Pekan ini, bulan ini? Tidak usah dihitung dan dilaporkan ke saya ya! Cukup tulis saja di kolom komentar di bawah, pendapatmu tentang tulisanku ini yang ditulis sebentar juga. Oke? Semoga kamu semua sukses jadi orang tua yang baik ya! Jika kamu belum menikah, maka semoga kamu juga jadi jomblo yang sukses! Sip!
Aku seringnya jawab “sebentar” kalau pas anakku minta izin pinjam handphone. Hehe… Trus mereka tanya, “Sebentar itu berapa lama lagi, Ma?”
Nah, aku jawab, sebenar itu relatif. Trus dia tanya lagi, “relatif itu apa?” haha… Jadi panjang malah.
Tapi memang ‘sebentar’ itu relatif kan ya? Mungkin tergantung dari seberapa lama pembandingnya. Kayak kita waktu sekolah dulu, 1 tahun rasanya lamaaa… Tapi setelah tua seperti sekarang, rasanya waktu berjalan sangat cepat. Tau-tau anaknya udah segede ini. 🙁
Bener juga, dulu pas sekolah pengen cepat dewasa, sekarang sudah dewasa, eh, pengen kembali ke masa anak-anak.