Masih sering terjadi sampai sekarang, selalu saja ada pertanyaan, “Mana anaknya nih?” atau “Kapan punya anak?” atau “Lho, sudah menikah lama kok belum punya anak sih?” Ketiga pertanyaan yang usil banget ya?
Memang kepo saja sukanya yang bertanya begitu. Memangnya membuat anak itu seperti membuat kue? Tidak semua juga sih orang mampu membuat kue, apalagi anak yang tentu saja menjadi wilayah kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ironi juga sebenarnya. Dan, menjadi kenyataan yang tidak terbantahkan dan sering menghiasi media kita. Orang yang berpacaran, tidak dalam ikatan pernikahan, eh, malah gampang sekali punya anak. Yah, meskipun itu hasil zina. Dinamainya kecelakaan. Sementara yang sudah menikah secara legal dan halal, malah belum dikaruniai keturunan. Panik nggak, panik nggak? Nggak perlu panik, lah!
Terus, kalau ada orang tua yang sudah punya anak, apakah langsung merasa paling beruntung semuka bumi begitu? Apakah cuma dia yang berhak berbangga karena sudah punya anak? Padahal, kalau hanya sekadar punya anak, kambing juga punya anak! Sapi juga punya anak, begitu pula ayam! Itu kalau sekadar punya anak lho ya! Tapi, manusia itu mestinya berbeda. Berbekal akal dan pikirannya, persepsinya bukan hanya sekadar memiliki anak, melainkan bagaimana anak itu bisa dididik dengan baik? Bagaimana hayo?
Pendidikan anak justru menjadi pendidikan yang langka sebenarnya. Sampai sekarang, belum ada sekolah khusus menjadi orang tua sepengetahuan saya. Padahal, ketika seseorang menjadi orang tua, dia punya anak, itu tanggung jawab yang cukup besar. Bukan cukup sih, melainkan sangat besar! Anak adalah amanah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Nantinya akan diminta pertanggungjawaban. Nantinya akan ditanya bagaimana cara mendidiknya?
Anak yang nakal, bandel, bahkan menjadi penjahat kecil itu sejatinya memang punya masalah. Mungkin dia bermasalah dengan orang tua, saudara, keluarga besar, teman sebaya, tetangga, teman media sosial, atau yang lainnya. Kalau sudah bermasalah begitu, masih bisa diperbaiki? Insya Allah masih bisa. Namun, alangkah baiknya dicegah sebelum itu terjadi. Mencegah itu lebih baik daripada tidak mencegah. Ya apa ya?
Melalui Buku
Lho, kok lewat buku, Mas? Apa tidak sarana lain, semacam video begitu? Sekarang ‘kan orang lebih tertarik untuk menonton daripada membaca, apalagi membaca buku.
Eits, tunggu dulu! Menonton memang bisa sih. Tapi ‘kan butuh alat. Butuh listrik, butuh paket data, butuh WiFi, dan butuh-butuh lainnya. Kalau tidak ada sinyal atau HP sedang lowbat, maka akan susah menonton video tersebut. Ya ‘kan? Nah, makanya sarana terbaik untuk belajar memang dengan buku. Sebab, buku itu tidak butuh sinyal internet, tidak butuh dichas, hanya butuh kemauan saja untuk mau belajar.
Buku tentang pendidikan anak sangatlah banyak. Judulnya pun bermacam-macam, demikian pula pengarangnya. Ada yang memang mendasarkan kepada pengalamannya sendiri dalam mendidik anak, ada pula yang dari hasil menerima konsultasi dari para orang tua. Nah, yang terakhir ini pantas disebut sebagai konselor. Praktisi pendidikan anak. Termasuk yang dibahas dalam buku berikut:
Judul buku: Parenting Detox
Penulis: Angga Setyawan
Penerbit: Noura Books
Tebal: 308 Halaman
Cetakan: 1 (Februari 2022)
Melihat dari judulnya, Parenting Detox itu artinya racun yang sering ada dalam pola keseharian orang tua dalam menghadapi anak-anaknya. Ketika sekolah khusus orang tua tidak ada seperti yang saya tulis di atas, mendidik anak itu cenderung memang turun-temurun. Berarti, kalau turun-temurun, lebih banyak ke arah sama dong? Padahal zaman sudah berubah. Cara mendidik yang berhasil di masa lalu belum tentu bisa efektif di masa sekarang.
Makanya, buku ini hadir untuk membantu kamu sebagai orang tua dan orang lain. Menampilkan masalah-masalah yang sering dihadapi orang tua. Mungkin banyak yang belum tahu solusinya. Mungkin banyak yang belum paham cara menghadapinya. Melalui buah karya Angga Setyawan yang mempunyai akun Instagram @anakjugamanusia, beliau memaparkan cara pandang dan pemikirannya.
Angga Setyawan mempunyai pengalaman lebih dari 12 tahun aktif menulis, memberi konsultasi parenting, mengisi kelas, dan seminar parenting dengan berbagai tema. Kalau kita mau dapat pengalaman 12 tahun rasanya sulit sekali, kecuali belajar dari orang yang sudah menjalankannya.
Tidak Perlu Runtut
Biasanya, membaca buku itu dari awal sampai akhir. Kalau sudah sampai di akhir, masih belum paham, ya, tinggal diulangi dari awal. Namun, untuk buku dengan sampul warna dasar putih ini tidak seperti itu. Kamu bisa memulai dari bab mana saja sesuai kebutuhan. Misalnya, langsung meloncat ingin tahu pembahasan tentang “Berbohong Kepada Anak” di halaman 44 boleh banget. Atau, jika kamu termasuk orang tua yang suka marah, bisa masuk di halaman 137 dengan judul “Marah-marah Pada Anak.”
Pembagian bab tidak disebutkan dengan nomor maupun Bab 1, Bab 2, dan seterusnya, tetapi langsung judul babnya. Makanya, agar buku ini lebih terasa asyik, baca dulu daftar isi, lalu langsung pilih saja. Berarti, praktis sekali bukan buku ini?
Dalam setiap bab, penulis menyebutkan tentang sebuah masalah yang terjadi. Misalnya ketika kita bertengkar dengan pasangan di depan anak. Penulis menyebutkan tentang hal-hal yang memicu konflik dengan pasangan. Misalnya masalah ekonomi, pekerjaan, masalah dengan mertua, orang tua, dan lain sebagainya.
Rupanya, hal itu mengundang potensi risiko. Anak bisa saja mencontoh perilaku orang tua yang bertengkar seperti itu. Ingat, anak adalah peniru yang sangat ulung. Tentunya, ada potensi risiko semacam itu, apakah kita mau betul-betul terjadi? Sebagai orang tua yang baik, tentu kita tidak mau hal-hal itu terjadi. Makanya, ada solusi. Ketika saya baca, solusinya memang pas sekali. Jitu sekali. Luar biasa Angga Setyawan dalam meramu solusi dari setiap permasalahan di bab-bab bukunya.
Sebagai Bekal Sekarang dan Masa Depan
Perilaku toksik pada orang tua akan selalu ada. Apalagi di tengah tuntutan zaman yang dirasa makin menggila ini. Orang tua banyak yang stres dengan keadaan, ditambah dengan mengurus anak yang mampu menimbulkan stres berikutnya.
Keadaan seperti jarang memberi waktu berkualitas untuk anak, membentak-bentak, memberi label negatif, memaksa anak, berbohong kepada anak, bahkan memukul anak yang merupakan KDRT pun, bisa saja terjadi, meskipun orang tua tadinya baik-baik saja. Sebab, keadaan hati, siapa yang bisa menjamin akan positif seterusnya? Siapa yang sanggup dan mampu menjaga hatinya tetap bersih tanpa terkena toksik sama sekali? Hampir tidak ada pada jaman now bukan?
Makanya itu, sebelum toksik atau detox dalam dunia parenting itu semakin menjalar menjadi masalah besar, sudah saatnya orang tua untuk belajar lebih dalam. Salah satunya melalui buku setebal 308 halaman ini.
Apakah dengan membaca buku saja sudah cukup? Jelas tidak. Namun, teori-teori dalam buku ini dapat dipraktikkan. Semoga saja cocok dengan karakter, sifat, dan keunikan anak-anak kita sendiri.
Jika dulu kita sebagai anak menerima toksik dari orang tua, maka sudah saatnya direm dan dihentikan saat kita sendiri sudah jadi orang tua. Kalau tidak dihentikan sekarang, lalu kapan lagi? Ibaratnya mata rantai detox dalam parenting tidak akan terputus selama tidak ada tindakan yang lebih positif. Buku ini menjembatani hal itu. Coba saja baca dan rasakan hasilnya!