Sekitar tahun 2007, saya pernah menghadiri sebuah acara bedah buku dan jumpa penulis. Waktu itu, di kota Jogja, kota kelahiran saya. Penulis yang hadir adalah Jonru dan Mohammad Fauzil Adhim. Jonru dulu murni seorang penulis dan sekarang sudah menjadi praktisi media sosial yang kamu tahu sendiri, lah.
Ketika acara berlangsung, saya masih jomblo. Belum menikah. Untungnya, yang dibahas juga bukan buku tentang pernikahan. Lha, kalau bahas buku-buku tentang pernikahan terus, tapi buku nikahnya sendiri belum ada, kan repot? Ya ‘kan?
Lalu, apa yang bisa diambil dari acara itu? Rupanya, ada satu kalimat menarik dari Mohammad Fauzil Adhim, praktisi parenting dan keluarga tersebut. Katanya, skripsi itu bukan untuk manusia, tapi untuk dosen! Whats, apa maksudnya ini?
Skripsi Sering Jadi Momok
Karya tulis berupa skripsi ini memang hanya untuk mahasiswa, bukan untuk balita. Meskipun demikian, skripsi tetaplah bisa dianggap momok, sementara balita lebih sering pakai popok.
Dari kalimat di paragraf sebelumnya itu, saya mencoba menafsirkan. Mengejawantahkan. Menguraikan. Mengira-ira. Mendewi-dewi. Rupanya Ira dan Dewi adalah teman saya dulu.
Menyusun skripsi, sebagaimana kita tahu, lumayan tebal untuk kategori buku atau karya tulis. Pembuatannya pun luar biasa menantang (baca: susah).
Baca Juga: Renungan Penuh Hikmah Saat Mengambil Uang di ATM
Dari awalnya saja, seorang mahasiswa perlu memilih judul yang tepat. Kalau judulnya sudah salah dan tidak jelas, maka dosen langsung minta mahasiswa merevisinya.
Berikutnya, latar belakang. Ini jelas bukan latar belakang si mahasiswa lho. Misalnya dulu seorang playboy, perokok berat, pernah mabuk (di angkutan umum) dan lain sebagainya. Tidak perlu itu. Atau latar belakangnya penuh ilalang misalnya. Soalnya latar itu dalam bahasa Jawa memang artinya teras atau halaman.
Lanjut, ada rumusan masalah. Inilah yang nantinya mesti dijawab dalam menulis atau menyusun skripsi tersebut. Ditambah dengan tujuan penelitian. Nanti dijabarkan di kerangka teori, metode penelitian, apakah kuantitatif atau kualitatif, dan bab-bab berikutnya.
Biasanya, dari awal bikin sampai selesai, mahasiswa rata-rata bisa menghabiskan kertas lebih dari satu rim. Lumayan banyak juga ya? Soalnya, ketika sudah jadi satu bendel, maka dosen pembimbing akan rutin mencorat-coretnya. Diganti lagi. Ditulis lagi. Diprint lagi.
Belum kalau sudah masuk ujian proposal. Ditambah dengan dosen penguji, juga minta skripsi itu direvisi. Terakhir, ujian pendadaran atau ujian meja. Ada revisi lagi. Selesai, diperbanyak dan bersiaplah untuk menikmati wisuda.
Meskipun sekarang sudah mulai merambah era go green, tetapi kertas yang dicorat-coret dari rancangan skripsi itu masih banyak terjadi di kampus. Padahal, yang salah tidaklah banyak sebenarnya. Tapi toh tetap harus diprint yang baru. Semestinya kan cukup softfilenya saja ya? Kalau dosen mau corat-coret, ya, silakan di layar monitornya saja. Beres kan?
Bagi dosen, corat-mencoret skripsi mahasiswa itu memang menunjukkan kuasanya. Lha, wong dulu dia juga begitu kok. Makanya, mahasiswa mesti menerima seperti itu sebagai bagian dari perjuangan. Terus, kalau kertas-kertas bekas coretan itu mau dikemenakan, eh, mau dikemanakan? Bukankah itu nantinya akan jadi limbah dan menambah sampah?
Meskipun kenyataan memang seperti itu, bagi mahasiswa, bagian skripsi yang paling menarik itu pastilah ucapan terima kasihnya. Ya apa ya? Apalagi jika si mahasiswa itu punya pacar, disebutkan namanya di situ. Atau incaran alias gebetan. Entah itu disebutkan dengan nama lengkap, nama panggilan atau nama yang tahunya mereka berdua. Tentu, Allah juga tahu dong…!
Fokus Pada Skripsi
Semestinya, ketika mahasiswa mulai menyusun skripsi, dia mesti fokus. Kalau toh lagi pacaran, lebih baik putus saja deh! Tidak ada gunanya juga. Cemen banget sih bisanya cuma pacaran. Nikah dong… Hehe…
Sedang ada kerja, cuti dulu atau berhenti dulu. Atau yang suka nongkrong, mesti lebih banyak waktu di perpustakaan. Skripsi ini menjadi puncak dari studi seorang mahasiswa. Ilmu-ilmu yang dipelajari dari semester satu, maka di sini bisa berguna. Skripsi selesai, silakan lanjutkan yang pernah dimulai atau ganti fokus yang baru.
Kenapa harus fokus? Sebab, skripsi ini mudah sekali digoyang. Kayak jabatan saja ya? Tapi memang benar kok. Skripsi itu bisa angin-anginan untuk mengerjakannya. Ada kalanya semangat, kadang pula malas. Ada yang sampai mengerjakan skripsi setahun, seperti saya misalnya. Hehe… Kok lama Mas? Sebab saya dulu malah nulis yang lain.
Makanya itu, wajar dan bisa dimaklumi plus dipahami apabila si pelaku skripsi kadang punya perilaku yang lucu. Menampilkan bayi yang mumet mirip obat sakit kepala di status FB-nya. Mengunggah meme atau gambar motivasi supaya semangat skripsi. Video pendek mobil yang maju mundur. Foto-foto kampusnya, tapi yang diambil justru atapnya, plus langitnya.
Baca Juga: [Temukan di Sini] 5 Hal Positif Saat Kamu Diblokir Mantan di Whatsapp
Begitulah mereka. Sekadar mengendurkan urat syaraf saking tegangnya membuat skripsi. Maunya kan memang menyusun skripsi dengan cepat. Semestinya, bagi yang masih mahasiswa, mesti terpikir untuk menyusun skripsi sejak dini dan menyusun skripsi pada semester berapa?
Saat wisuda atau beberapa bulan setelah wisuda, apakah masih ada yang tertarik untuk membaca skripsinya kembali? Jika orientasi ingin lanjut S2, maka boleh jadi dibuka lagi. Namun, bagi yang tidak, paling cuma disimpan di rak buku. Di lemari. Atau malah dijual. Walah…
Oleh karena itu, dari kalimat “Skripsi bukan untuk manusia, tapi untuk dosen”, apakah berarti bahwa dosen itu bukan manusia? Oh, tidaklah seperti itu. Nanti dosen-dosen yang baca tulisan ini bisa marah. Mungkin bisa diartikan bahwa skripsi itu bukan untuk manusia biasa. Skripsi itu tidaklah seperti buku biasa yang beredar luas di toko buku. Skripsi memang hanya untuk dibaca dosen. Mereka memberikan penilaian. Kalau jelek, ya, tinggal corat-coret kok!
Di Balik Skripsi
Apa sih di balik skripsi? Oh, tentu saja sampulnya dong! Hehe… Namun, tentu jawabannya bukan itu. Skripsi itu punya makna yang lebih luas. Dan, makna tersebut mengalir padanya rasa cinta yang menyusup halus, laksana sebuah aroma syahdu yang membius.
Pada mahasiswa, memang semestinya menyusun skripsi sejak dini. Terus, kalau yang saya amati, pada beberapa kondisi, skripsi ini sebagai batu sandungan untuk melangkah lebih jauh. Contohnya, adalah mau cari kerja, mendaftar CPNS misalnya. Syaratnya ‘kan mesti sarjana. Nah, untuk mencapai gelar itu, kamu perlu melewati yang namanya wisuda. Kalau skripsi saja belum selesai, bagaimana mau wisuda, Rudolfo? Ini Rudolfo lho ya, bukan Pulgosho.
Selain itu, untuk syarat pernikahan. Ada yang mau melamar, ditolak sementara, alasannya masih menyusun skripsi. Dirampungkan dulu skripsinya, kuliahnya, sarjana, baru boleh menikah. Jika ada orang tua yang punya syarat semacam itu dan fine-fine saja bagi anaknya yang mahasiswa, maka tidak masalah juga. Meskipun yang sudah membuktikan, menikah ketika kuliah, justru prestasi makin naik, karena ada yang memotivasi! Begitulah.
Makanya itu, ketika seorang mahasiswi skripsi, lalu ada laki-laki yang tertarik kepadanya, biasanya dia akan menunggu saat yang tepat. Mungkin dengan menyiapkan uangnya. Mungkin pula mendekati keluarga. Dan lain sebagainya.
Wajar, jika sudah selesai, tinggal wisuda atau setelah wisuda sekalian, maka penantian itu akan berbuah manis. Apalagi kalau bukan pernikahan? Ya ‘kan? Oleh karena itu, dari sini, SKRIPSI itu punya kepanjangan per hurufnya: Setelah Kamu Rampung, Ingatlah Penantian Seorang Insan.
Apakah Insan itu nama orang? Oh, tidak selalu, meskipun teman satu fakultas saya ada yang nama seperti itu. Insan itu berarti orang, seorang pujaan hati. Bisa pula diganti dengan Ikhwan. Ini lebih khusus jika yang mengerjakan seorang muslimah atau akhwat. Bukankah akhwat itu selalu berharap ada ikhwan yang melamarnya?