Cerpen Fiktif: Kaki-kaki Hasan

Cerpen Fiktif: Kaki-kaki Hasan

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Suasana Kabupaten Bombana di Sulawesi Tenggara sedang mencekam! Tiap hari selalu terdengar adanya peristiwa pemukulan, penusukan, pembacokan, sampai pembunuhan yang cukup sadis.

Pak Husin, seorang pegawai honorer di kantor bupati kemarin ditemukan tewas tergantung di pohon kelapa dengan leher tergorok. Kemarinnya lagi, Pak Susanto, seorang satpol PP juga tewas dengan kedua tangannya hilang. Itu baru sebagian kecil, masih banyak kisah menegangkan lainnya yang menimpa pegawai pemerintah. Ada apa ini sebenarnya?

Bahasa yang terdengar adalah bahasa pilu dan menyayat hati. Jarang sekali ada percakapan seru, hangat dan menyenangkan seperti dulu, sebelum peristiwa itu muncul.

Baca Juga: Tong Kosong Nyaring Bunyinya [Ternyata Ada Hubungannya dengan Ayam dan Kura-kura]

Daerah itu awalnya adalah daerah yang aman dan tenteram. Bila kau datang ke sana dan kau simpan sepeda motormu di luar rumah, niscaya tidak akan berkurang satu onderdil pun! Tapi itu dulu! Sejak muncul sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya Aliansi Bombana Emas (ABE), konflik mulai terjadi.

Mereka tidak puas dengan pengelolaan tambang emas di daerah pemekaran baru itu. Alhasil, saking bosannya menuntut pemerintah dengan dema-demo tiap hari, mereka menyobek situasi damai di Bombana. Keamanan lalu menjadi mahal harganya.

***

Meskipun situasi masih panas, namun tidak membuat hati Hasan Setiawan menjadi panas juga. Seruan mama tercintanya untuk dibuatkan teh telah diolah dalam pikirannya. Kemudian, hasil olahan itu disampaikan ke tangannya yang membawakan segelas teh hangat untuk disuguhkan kepada sang mama.

“Alhamdulilah, ya Allah…” Desah Mama setelah lidah tuanya dielus oleh aliran teh itu. Hasan senang sekali melihatnya.

“Bagaimana mi rasanya, Ma?” Khas logat Sulawesi dengan kata sandang “mi”. Dalam kebiasaan di Sulawesi, jarang sekali anak memanggil dengan “Ibu”, tetapi dengan “Mama”. Tidak peduli itu dari keluarga kaya maupun miskin.

“Alhamdulilah, enak sekali, Nak,” mama tersenyum. Mata tuanya berusaha untuk melihat anak bungsunya itu dengan lebih jelas. Sayang, usia telah banyak menggerogoti daya lihatnya.

Hasan ikut tersenyum. Mamanya – orang tua satu-satunya – yang ada di hadapannya adalah pusaka hidupnya. Dia sudah berjanji dalam hati untuk mengurus wanita itu. Sebagai jalan untuk menuju ke surga katanya.

“Oh, ya, jam berapa ini, Nak?”

“Jam setengah sebelas mi, Ma. Kalau Mama mau istirahat, mari ki saya antar ke kamar,” termasuk “ki” adalah kata sandang juga.

“Ya, bolehlah, Nak,” mama menguap, lalu matanya berair.

Hasan membalik punggungnya. Kedua tangannya yang cukup kekar memasuki bagian belakang tubuh Mama. Kedua kakinya yang berjongkok mulai dipersiapkan otot-ototnya. Setelah siap, dia angkat tubuh Mama. “Bismillahirohmanirohim…”

Kakinya melangkah pelan menuju ke kamar. Celananya yang sudah terbiasa di atas mata kaki tidak menghalangi langkahnya karena memang tidak menyentuh tanah. Setelah Mama terlihat tidur, Hasan meneruskan belajar sejarah. Besok adalah ulangan sejarah. Apakah daerah itu juga akan mencetak sejarah kelam nantinya? Entahlah.

***

Baru saja Hasan tiba di kelas II. 2 di SMA 1 Rumbia, Bombana, dia dikejutkan oleh sebuah berita buruk.

“Eh, San, tadi malam itu polsek diserang sama orang-orang ABE, lho!”

“Ah, betulkah itu, Sus? Terus bagaimana mi itu?”

“Ya, gitulah, kantor polisinya dibakar, San,” kata Susi lagi.

“Masya Alloh! Sampai segitunya di?” kata sandang “di” lebih digunakan untuk kalimat tanya.

“Iya, lah, namanya juga perusuh, San!”

Hampir tiap pagi, anak-anak membicarakan kejadian berbau kekerasan. Situasi memang makin mencekam. Beberapa dari siswa sudah jarang masuk sekolah. Mereka ketakutan. Khawatir ada kerusuhan juga di sekolah.

Padahal, aparat kepolisian sudah sejak lama selalu berjaga-jaga di sekolah itu. Namun, setelah peristiwa pembakaran kantor polisi itu, ketidakamanan jadi makin menggila. Masih adakah tempat aman?

Baca Juga: 5 Cara Mengatasi Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

“Bagaimana ini mi? Kalau situasi seperti ini terus, apa kita nggak usah sekolah saja di?” Sekarang Lusi yang angkat bicara.

“Iya, bisa juga itu ces!” Lukman menimpali dengan sedikit bercanda. Dia sangat mendukung ide itu, karena kau tahu sendiri ‘kan Lukman itu anaknya bagaimana? Tidak pernah serius.

“Masalahnya, bupati juga pusing mi! Dia ‘kan sudah tanda tangan kontrak sama itu perusahaan tambang. Masa mau mi dibatalkan?” Ucap Joko, anak keturunan Jawa yang pindah dari Palu. Logatnya juga meniru Sulawesi. Tapi medoknya masih terdengar jelas. Susah memang kalau yang satu ini dipisahkan dari logat Jawa.

“Kalau dibatalkan, ya, wudhu lagi toh?” lagi-lagi Lukman merusak suasana.

“Huss! Kau itu Lukman, jangan bercanda di sini, ah!” protes Lusi.

“Sebagai ketua kelas, apa mi yang kau mau bikin, San?” Rudi bertanya sambil membenahi kaca mata minusnya. Barang itu mudah sekali berembun.

Hasan diam sebentar. Berpikir sebentar. Lalu mendesah.

“Yah, kita cuma bisa pasrah mi. Semoga keadaannya jadi baik lagi nanti.” Hasan bangkit, lalu ke luar kelas. Kain bawah celananya dilirik sebentar sama Susi dan Lukman. Celana seragam SMA yang tergantung. Toh, Hasan tidak ambil pusing.

“Yah, San, kok malah pergi, sih?” Keluh Lukman sambil mengangkat kedua tangannya.

***

Sejak peristiwa pembakaran kantor polisi itu, jumlah personil polisi terus ditingkatkan. Polres Bombana meminta bantuan dari Polda Sultra. Tambahan personil itu disebar ke berbagai wilayah, terutama di Kecamatan Rumbia, ibukota Bombana, untuk menyisir anggota-anggota kelompok ABE. Apakah itu akan berhasil?

Kelompok itu tidaklah bodoh. Mereka pandai sekali bersembunyi dari kejaran aparat. Bahkan, kabarnya banyak dari mereka yang menguasai ilmu gaib. Jadi, mereka mampu menghilang dari pandangan orang banyak. Mereka juga bisa menyantet orang. Nah, luar biasa betul kesyirikan mereka, bukan?

Kelompok itu adalah orang-orang yang tidak puas pekerjaan mereka sebagai penambang emas di Daerah Rau-Rau diserobot oleh pemerintah daerah. Hasil yang mereka dapatkan memang cukup menggiurkan. Apalagi, ini emas! Logam mulia yang sangat laku dijual.

Sebenarnya, pemerintah daerah ingin mengatur hal itu. Bupati dan jajarannya ingin agar daerah yang ada emasnya itu dikelola oleh perusahaan tambang yang profesional, bukan lagi oleh rakyat dengan pengetahuan mereka yang ala kadarnya. Makanya, aparat pemerintah dan kepolisian melakukan pengusiran terhadap orang-orang yang masih menambang.

Namun, ya, begitulah manusia, selalu tidak mau mengalah untuk urusan perut. Entah, perut siapa yang dimaksud dalam kalimat itu.

Dampak dari adanya tambang emas, harga-harga barang di Bombana menjadi melejit luar biasa. Harga satu piring nasi yang tadinya lima ribu menjadi sepuluh ribu, bahkan lebih.

Minyak tanah mahal dan langka, malah yang tinggal hanya tanahnya, bukan lagi minyak. Beras mencekik leher tambah kencang. Bensin eceran jadi pahit rasanya. Masyarakat pun kelimpungan. Hidup jadi makin tidak hidup.

Baca Juga: Bagaikan Naik Pesawat Sampai Ke Akhirat

Hasan selalu berusaha untuk berhemat. Pekerjaan sampingan sebagai penjaga counter handphone milik pamannya memang minim sekali untuk biaya kebutuhan hidup bersama mama. Apalagi mama sudah lumpuh kakinya karena stroke.

Seperti keadaan orang pada umumnya, mau berobat tidak ada biaya. Untunglah, Hasan dapat beasiswa di sekolahnya. Itu sudah sangat membantu.

“Pulsa sepuluh ribu berapa?” tanya seorang cewek berpakaian ketat dan seksi.

“Dua belas ribu, Mbak!” Hasan berusaha memicing-micing matanya, mengalihkan pandangan dari tubuh si cewek sambil mengucap istighfar dalam hati. Dosa.. dosa.. dosa… hanya itu yang diingatnya.

Cewek itu mengamati gelagat Hasan dengan penasaran. “Kenapa sih, Mas?”

“Ah, tidak kok, Mbak!” sekarang Hasan malah membuka matanya lebar-lebar. Biar dikira menghormati lawan bicara. Akibatnya dia malah jadi melihat dengan jelas bentuk tubuh si cewek yang ngepres abis itu. Di pojok ruangan, ada setan sedang tertawa terbahak-bahak. Dia pikir akan naik pangkat karena godaannya berhasil.

Setelah si cewek berlalu, Hasan menepuk keningnya. “Astaqfirullohaladzim, dosa lagi, dosa lagi, ya Alloh!” timbul penyesalan dalam hati. Setan di pojok ruangan itu malah mau menangis. Dia ingin mengadu kepada bosnya. Minta pindah orang. Ada-ada saja.

***

Bila sudah pulang dari tempatnya bekerja, Hasan mengantar mama ikut taklim. Yah, biarpun kondisinya tidak normal, Hasan tetap berusaha agar mama terus mendapatkan siraman rohani. Mama juga tidak mau melewatkan taklim itu untuk siraman rohani dan mendapatkan ilmu agama.

“Nak, sakit Mama ini mi akan menggugurkan dosa-dosa Mama. Di akhirat itu mi, lebih berat daripada di dunia, Nak. Jadi, daripada berat di akhirat nanti itu mi, lebih baik Mama berat di dunia saja pi Nak.”

Hasan hanya diam mendengar kalimat bijak itu. Ya, hanya diam. Namun, ketika sedang sendiri dan teringat nasihat itu, Hasan meneteskan air mata.

Taklim diisi oleh Ustadz Jalal. Beliau juga guru mengaji Hasan. Ustadz itulah yang menyarankan Hasan untuk berpenampilan sesuai sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.

Hasan diberikan motivasi untuk tidak usah memedulikan omongan, tanggapan maupun cemoohan orang. Soalnya, surga nanti ditentukan oleh manusia itu sendiri, bukan karena orang lain, apalagi orang banyak.

“Ibu-ibu, perempuan yang berpakaian tetapi telanjang itu tidak akan mencium wanginya surga,” Ustadz Jalal menggunakan kalimat dengan nada yang agak tinggi. Tanda penekanan. Soalnya, memang banyak perempuan yang tidak peduli dengan urusan auratnya sendiri. Terlebih di lingkungan daerah itu.

Ibu-ibu yang mendengarkan kaget dan terkejut. Dan memang begitulah sang ustadz dalam memberikan tausyiahnya. Beliau menggunakan nada-nada suara yang bervariasi. Kadang lembut, kadang meninggi.

Humor diberikan sesekali agar ceramah tidak membosankan, tetapi tentu saja tetap bernilai ibadah, bukan jadi pentas lawak.

Mama mengikuti taklim dari kursi rodanya. Hari itu, taklim berlangsung di rumah Bu Macika. Biasanya, setelah mengantar mama, Hasan pulang dulu untuk belanja, memasak dan bersih-bersih rumah. Jam setengah enam sore, mama dijemput lagi.

***

Kelompok ABE memang semakin berani membikin resah masyarakat. Kini mereka berpandangan bahwa masyarakat yang tidak mendukung mereka, dianggap sebagai musuh, selain pemerintah.

Padahal, bukannya masyarakat tidak mau mendukung, tetapi memang cara yang ditempuh ABE itu tidak lagi sesuai dengan hati nurani. Mereka terus mengacau, bahkan melakukan aksi teror kepada warga.

Beberapa rumah telah menjadi korban tindak kriminal mereka. Ada yang rumahnya dirampok, dicuri barang-barang berharganya, bahkan ada warga yang diperlakukan asusila.

Baca Juga: Betulkah Blokir Kontak Membuat Nyaman di Otak?

Termasuk yang menjadi korban adalah Hasan dan mamanya. Mereka sudah miskin, tinggal di pinggir perumahan BTN Marga Jaya, kursi roda yang menjadi “kendaraan” mamanya Hasan ikut lenyap di tangan mereka. Betul-betul  keterlaluan.

Setelah kursi rodanya raib, maka Hasan menggendong mama ke mana-mana. Selama seminggu lebih, Hasan melakukan hal itu. Yah, sambil menunggu bantuan, jikalau memang ada.

Meskipun demikian berat, justru kaki-kakinya Hasan malah bertambah kuat. Apalagi kaki-kaki itu juga selalu digunakannya untuk berjalan ke masjid untuk sholat berjamaah. Bagaimana tidak tambah kuat, ces?

“Ma, lihatlah, orang-orang pada melihat kita mi!

Iyo ji, Nak, dikira kita ini main gendong-gendongan apa?” Ternyata mama bisa juga bercanda.

“Ma, Hasan malah sambil olahraga mi ini. Tambah berotot kakiku, Ma.”

“Kaki-kakimu ini mi nanti akan menjadi penolong kita, Nak.”

“Maksudnya, Ma?” Hasan bingung. Dia melirik Mama sedikit.

“Ya, lihat pi saja nanti sendiri, Nak. Sebentar lagi mi akan terjadi sesuatu yang mengagetkan. Kaki-kakimu nanti tetap akan menolong kita mi.”

Hasan semakin bingung, mama ini bicara apa, sih? Namun, tidak dilanjutkan pertanyaan Hasan. Mamanya tampak sangat menikmati gendongan Hasan. Sore itu, seperti biasa, mama akan mengikuti taklim. Sebuah perjalanan agung yang tercatat oleh malaikat kebaikan.

***

Rumah Hasan dan mamanya sebenarnya terletak di kompleks perumahan BTN yang cukup mewah. Tapi, jika dilihat dari bentuknya, rumah itu kurang pantas berada di kawasan perumahan yang semuanya rumah batu dan bagus-bagus pula.

Rumah mereka berdua hanyalah terbuat dari papan dan atap seng. Itupun sudah banyak yang lapuk. Ke mana sih keluarga mereka? Mengapa tidak ada yang membantu mereka? Ah, pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu untuk ditanyakan. Pertanyaan retoris.

Kompleks perumahan itu terletak di kaki bukit. Sementara, di atas sana, terdapat sebuah danau yang airnya berasal dari hujan. Bila hujan semakin deras dan lebat, maka danau itupun juga makin bertambah airnya.

Untungnya, danau tersebut ditahan oleh tanah yang menjadi bagian dari bukit itu. Namun, apakah selamanya tanah itu akan mampu menahan volume air yang semakin besar?

Rencananya, lusa, bupati dan jajarannya akan menghadiri sebuah acara mewah di BTN Marga Jaya. Sebuah acara ulang tahun anak pejabat tinggi daerah. Staf khusus bupati. Banyak orang telah diundang. Banyak orang pula yang akan menghadiri. Dan, tidak sedikit juga orang yang akan ikut “berpartisipasi”.

“Bagaimana, semua sudah beres mi?” tanya seorang laki-laki dengan cambang tebal dan mata sipit. “Sudah mi kau pasang alat-alatnya?”

“Sudah mi, Bos, sudah saya siapkan semua peralatan ji. Tinggal tunggu perintah kita, Bos!” ini yang berkata adalah seorang laki-laki muda, ceking, bertato hampir seluruh tubuh. Ketika SD, tidak pernah naik kelas, karena sekolahnya memang cuma berlantai satu.

“Pokoknya, nanti toh, kalau sudah tiba itu saatnya, bupati dan aparat yang bejat-bejat itu akan merasakan akibatnya ces.”

“Tapi, Bos, apa cara ini memang yang akan kita bikin?”

“Ya, ini satu-satunya cara, Man. Kita sudah protes-protes terus, eh, bupati tetap mi nggak mau dengar. Kita demo-demo terus, bupati tetap cuek mi. Malah kita dimusuhi apa, teman-teman kita ditangkap, ini sudah kurang ajar namanya toh? Kita harus tetap melawan, Man!”

“Tapi, Bos, cara ini akan bikin korban jadi banyak mi Bos.”

“Biar mi saja. Bupati ji nanti yang akan tanggung akibatnya!”

Lukman akhirnya hanya diam. Dia menatap ke kompleks perumahan BTN Marga Jaya di bawah. Tampak beberapa anak kecil bermain-main riang. Ibu-ibu sedang berbicara, mungkin menggosip. Artis siapakah yang menjadi gosip hangat sekarang?

Kamis malam, tepat jam delapan, bupati sudah datang di tempat acara. Hadirin telah banyak yang datang. Pada jam itu juga, sekelompok orang mengamati dari jauh. Mereka menunggu koordinasi. Ada sesuatu yang akan mereka lakukan. Sesuatu yang akan sangat jauh menyobek hati nurani.

Acara ulang tahun itu telah berjalan selama satu setengah jam. Suasana keceriaan dan kegembiraan makin menghangatkan malam. Musik, canda-canda, terompet dan bunyi-bunyi peralatan makan ada di sana sini. Hasan mendengarnya.

“Ma, ramai sekali mi itu di sana. Mama terganggu tidurnya nggak?”

Mama menggeleng sedikit. Lemah sekali.

“Mama mau ki tidur sekarang?”

“Belum pi, Nak. Mama makin merasa ada sesuatu mi yang akan terjadi malam ini. Sesuatu yang besar mi.”

“Ma, dari kemarin, Mama bilang ada kejadian, ada kejadian terus, itu apa sih?”

Mama hanya diam.

“SEKARANG!”

Tiba-tiba, terdengarlah ledakan yang sangat keras dari atas bukit. Orang-orang yang di bawah terkejut dengan bunyi ledakan itu. Namun, bukan hanya bunyi ledakan itu yang mengagetkan, tetapi efek dari ledakan. Ada suara gemuruh yang sangat besar.

Dalam waktu yang sangat singkat, ada runtuhan tanah, disambut dengan aliran air yang sangat banyak. Banjir muncul tiba-tiba. Kekuatannya sangat dahsyat. Air bah itu turun dengan sangat cepat, menghantam semua benda yang ditemuinya.

“Wah, tanggulnya jebol!”

“Lariii…! Cepat lariii…!”

“Awas, ada tsunami! Eh, bukan, tanah longsor…!”

Para penduduk segera berlarian menyelamatkan diri. Mereka sudah lupa dengan kegiatan yang baru saja mereka lakukan. Namun, secepat mereka berlari menghindar, air yang jebol itu langsung menelan mereka.

Rumah-rumah langsung hanyut dan mobil aneka merek sudah menjadi kendaraan “amphibi”. Banyak dari mereka yang tidak sempat menyelamatkan harta benda dan keluarganya. Bahkan diri mereka sendiri saja belum tentu selamat.

Hasan dan mamanya mendengar guncangan keras dari atas itu. Guncangan dari air danau di atas bukit bercampur dengan teriakan para warga yang hanyut. Segera dia angkat Mama, digendong, lalu ke luar dari rumah, sebelum mereka hancur beserta rumah sederhana itu. Biarlah rumah hancur, yang penting tubuh tidak ikut lebur.

Suasana semakin mencekam karena lampu-lampu jalan ikut dihanyutkan. Makanya, banyak korban yang susah menyelamatkan diri karena saking gelapnya. Namun, Hasan dan Mama tetap bertawakal kepada Tuhan. Air meluap sangat deras. Alirannya membawa bongkahan-bongkahan kayu, besi, pohon, lumpur, bahkan manusia.

Mereka berdua melihat longsoran yang tenaganya sangat cepat dan hebat. Rumah mereka langsung hanyut setelah ditinggalkan. Mereka hanya bisa menangis, di mana lagi akan tinggal? Namun, yang dipikirkan selanjutnya adalah bagaimana mereka berdua bisa selamat?

Ada tanah yang agak tinggi di tepi aliran itu. Pada tempat itulah, mereka akan mencari tempat yang lebih aman dan stabil. Tampak beberapa orang sudah di sana. Wajah mereka ketakutan dan kebingungan. Kasihan sekali.

Mereka berjalan pelan-pelan menembus aliran air maut itu. Sesekali mereka bergoyang sedikit saat air nakal itu lewat. Mereka terus berjalan, tanpa banyak kesulitan. Saat ada benda-benda besar dan keras yang akan menghantam, secara mengejutkan, malah beralih arah, ke kiri atau ke kanan mereka.

Hasan tidak terlalu mempedulikan itu. Baginya, yang penting adalah selamat sampai ke pinggir dan tidak tergerus oleh air terus-menerus. Dia berjalan cukup cepat dan akhirnya, berhasil sampai ke tepi! Lalu, orang-orang menolong mereka berdua naik.

Orang-orang yang berada di pinggir itu melihat Hasan dan mamanya dengan heran. Bagaimana mungkin mereka bisa tetap berjalan, meskipun dihajar oleh goncangan air yang sangat luar biasa? Hasan sendiri bingung. Baginya, yang penting bisa selamat, tidak lagi terkena serangan air. Dia dan mama langsung bersyukur kepada Allah.

Kedua orang itu terkena lumpur berwarna hijau dan hitam. Bau mereka berdua sudah anyir luar biasa. Namun, orang-orang masih tetap heran, bagaimana mereka bisa selamat dari terjangan air? Kok mereka tidak hanyut? Ada apakah dengan kaki-kaki anak muda itu, apalagi dengan ditambah menggendong ibunya? Apakah anak itu sakti?

Hasan berbisik kepada mamanya, “Apa mi, Ma, jawabannya untuk mereka?”

“Suruh mereka tanya sendiri sama kakimu, kenapa bisa begitu?” jawab mama.

Hasan hanya tersenyum, lalu tertawa.

Baca Juga: Aku Bukanlah Pelakor [Diangkat Dari Kisah Nyata]

NB: Cerpen ini ada dalam buku antologi dengan judul dan gambar berikut ini:

hitam-putih-abu-abu_cetak
Cerpen Kaki-kaki Hasan adalah Satu di Antara Antologi Ini

Bombana, 27 Maret 2012

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

2 Comments

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.