Sempat viral video dari seorang ustaz tentang lagu anak-anak yang merusak akidah Islamiyah. Wah, dalam batin saya, lagu yang mana ini?
Zaman saya masih anak-anak sekitar tahun 90-an, memang tivi-tivi belumlah segila sekarang. Masih ada acara yang khusus untuk anak-anak dengan ditampilkan lagu-lagu juga dari penyanyi anak-anak.
Generasi 90-an pastilah mengenal Joshua dengan lagunya “Diobok-obok”, Maisy, Trio Kwek-kwek, Chikita Meidi dan lain sebagainya. Mereka menyanyikan lagu-lagu itu dalam suasana yang ceria dan gembira. Namanya anak-anaknya, seringnya berada dalam dua kondisi itu.
Jarang sekali bukan ada anak-anak yang stres mikirin skripsinya? Atau ada anak-anak yang pusing karena belum dapat jodoh? Atau memikirkan kondisi geopolitik negara kita ini? Ya ‘kan? Ya ‘kan?
Kenapa Harus dengan Lagu?
Sebenarnya, bisa juga dengan media lain sih untuk membuat anak-anak belajar. Paling bagus sih dengan buku. Namun, bukunya pun khusus. Anak-anak akan susah belajar kalau diminta membaca buku Filsafat Pancasila, Teori Relativitas Ekonomi sampai Integral Matematika.
Anak-anak pasti lebih suka dengan buku yang berwarna cerah, warna-warni, tulisannya besar, tebal, cukup banyak gambarnya dan kertasnya pun menarik. Bukan kertas sembarangan ternyata untuk buku anak. Mesti yang mengkilap, tidak mudah robek, bahkan ada pula buku anak yang bisa dilukis dengan spidol dan dihapus pula.
Namun, jika dengan buku, biasanya tergantung dari si orang tuanya sendiri. Apakah orang tuanya juga suka membaca? Soalnya, buah memang tidak jatuh jauhnya, aduh terbalik, tidak jauh jatuhnya dari pohonnya.
Baca Juga: Fenomena Anak Kecanduan Game Online
Ketika di toko buku, ayah memilih buku tentang manajemen atau bisnis misalnya, ibu tertarik dengan buku resep masakan dan si anak dengan buku anak-anak. Masing-masing sudah ada raknya sendiri. Dan semua rak itu berada di dalam toko buku. Hampir tidak pernah, kita mau beli buku di toko buku, tetapi raknya malah di parkiran.
Jadi, semuanya satu paket jika satu keluarga itu pecinta buku semua. Ayah atau ibu mengeluarkan uang juga satu paket. Misalnya lima ratus ribu untuk semua buku itu. Mahal? Oh, tunggu dulu! Orang kalau sudah hobi, biaya segitu tidak akan jadi masalah. Asal ada betul uangnya lho ya!
Menarik jika keluarga tersebut cinta buku. Suami bisa memberikan hadiah kepada istrinya berupa buku. Hem, judulnya apa ya? Misalnya: “Kiat Agar Suami Berpoligami, Istri Ikhlas di Hati”. Waduh, kalau ini mungkin bukunya akan dipukulkan istri ke kepala suami. Hehe… Segitunya, ah!
Anak-anak selain bisa membaca langsung buku-buku yang dipilihnya, juga bisa dibacakan oleh orang tuanya. Sebelum tidur di malam hari. Kebiasaan ini yang memang hilang sekarang. Masing-masing sibuk dengan hapenya, jadi buku sudah dilupakan. Bener apa bener?
Nah, pada tahun 90-an, lagu memegang peranan cukup penting bagi perkembangan anak. Sebab, bisa jadi ada orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya. Alhasil, menyerahkan televisi untuk mewakili dirinya mendampingi anak-anak. Sekali lagi, pada saat itu, acara-acara yang ada masih cukup positif bagi anak-anak dibandingkan sekarang.
Oh, ya, mungkin juga, kita yang sudah dewasa ini ingat lagu anak-anak yang populer, bahkan saya yakin akan sepanjang masa. Ada dua lagu yang akan diulas sedikit di sini, yaitu: “Naik-naik ke Puncak Gunung” dan “Balonku”. Seperti apa ulasannya?
Balonku
Kabarnya, pada judul lagu anak-anak yang merusak akidah Islamiyah, kita awali dengan “Balonku”. Terus, siapa sih yang mengatakan bahwa lagu tersebut merusak akidah? Ya, tidak perlu disebutkan, lah, khawatirnya jadi ghibah. Yang jelas ada kok orangnya.
Ustaz tersebut berpendapat bahwa lagu tersebut dianggap merusak Islam dari lirik “meletus balon hijau”. Hijau dianggap identik dengan Islam. Coba kita lihat liriknya ya!
Balonku ada lima,
rupa-rupa warnanya.
Merah, kuning, kelabu, merah muda dan biru.
Meletus balon hijau. Duer!
Hatiku sangat kacau.
Balonku tinggal empat.
Kupegang erat-erat.
Kalau dari lirik di atas, yang mana sih balon hijau? Dari lima warna balon, tidak ada kok yang warna hijau. Lha kok, meletusnya balon hijau?
Ternyata, setelah saya lihat dan baca di Kompasiana, rupanya lirik yang benar bukan seperti itu. Warna yang sebenarnya adalah hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Nah, kalau begini, benar adanya, karena warna hijau memang termasuk dalam lima warna balon.
Terus, siapa yang mengubah lirik tersebut? Inilah yang perlu dipertanyakan. Kenapa ada kecelakaan sejarah macam begini? Padahal lagu karya AT Mahmud ini mengajarkan prinsip kehati-hatian, kewaspadaan dan kerugian apalagi tidak bisa menjalankan keduanya.
Nah, yang jadi pertanyaan selanjutnya? Ustaz tersebut mengatakan bahwa balon hijau yang meletus itu senada dengan Islam. Hatiku sangat kacau. Disambungkan lagi dengan hati yang kacau karena mengenal Islam.
Baca Juga: Menciptakan Masjid Ramah Anak: Dua Kisah Nyata
Sang ustaz memberikan legitimasi bahwa warna hijau itu selalu identik dengan Islam? Ini yang dirasa sebagian orang kurang tepat. Sebab kalau kita melihat sejarah Islam, tidak selalu umat Islam memakai warna hijau.
Sebagai contoh, dalam hadits Rasulullah Shallalallau ‘Alaihi Wasallam berikut ini:
“Pakailah oleh kalian pakaian yang putih karena itu termasuk pakaian yang paling baik. Dan berilah kafan pada orang mati di antara kalian dengan kain warna putih.” (HR. Abu Daud no. 4061, Tirmidzi no. 994 dan Ibnu Majah no. 3566. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Begitu pula dengan hadits yang mulia berikut:
“Kenakanlah pakaian warna putih karena pakaian tersebut lebih bersih dan paling baik. Kafanilah pula orang yang mati di antara kalian dengan kain putih.” (HR. Tirmidzi no. 2810 dan Ibnu Majah no. 3567. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari dua hadist tersebut, tidak disebutkan tentang warna hijau bukan? Dan, hal tersebut wajar kita memakai baju putih untuk laki-laki karena melambangkan hasrat untuk diri yang lebih bersih dan suci.
Apakah orang yang memakai pakaian putih terus otomatis menjadi suci? Oh, ini yang salah, Ferguso! Cak Nun pernah mengatakan bahwa beliau dan para anggota Kiai Kanjengnya pakai pakaian putih demi menutupi aib-aib dan kesalahan diri. Cukup banyak kesalahan kita, wajar kita pakai pakaian putih sekadar untuk menutupinya. Semoga tidak dibongkar oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, di dunia maupun akhirat.
Begitu pula pada bendera yang dipakai oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam perang. Benderanya berwarna hitam dan putih yang dikenal dengan rayah dan liwa. Tidak ada warna hijau di situ.
Satu lagi, dari segi pakaian muslimah atau akhwat kita. Rata-rata yang mereka pakai adalah hitam, biru tua, coklat tua atau abu-abu. Jika toh ada akhwat yang pakai hijau, bisa jadi itu adalah seragam khusus mereka. Mungkin kelompok guru, majelis taklim, pengajian atau kumpulan arisan di masjid.
Memang sih warna hijau itu identik dengan warna pakaian penduduk surga. Disebutkan dalam Al-Qur’an:
عَالِيَهُمْ ثِيَابُ سُنْدُسٍ خُضْرٌ وَإِسْتَبْرَقٌ وَحُلُّوا أَسَاوِرَ مِنْ فِضَّةٍ وَسَقَاهُمْ رَبُّهُمْ شَرَابًا طَهُورً
“Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Rabb mereka memberikan kepada mereka minuman yang bersih.” (QS. Al Insan: 21).
Bagaimana dengan tafsirnya? Syaikh As Sa’di rahimahullah menyatakan bahwa Allah menjadikan untuk penduduk surga dua jenis pakaian sutera yang berwarna hijau. (Kitab Taisirul Karimir Rahman).
Selain itu, ruh orang yang mati syahid tidaklah mati, tetapi dibawa oleh burung-burung hijau berkeliling surga. Coba perhatikan dalil berikut ini:
“Sesungguhnya ruh-ruh para syuhada’ itu ada di dalam tembolok burung hijau. Baginya ada lentera-lentera yang tergantung di ‘Arsy. Mereka bebas menikmati surga sekehendak mereka, kemudian singgah pada lentera-lentera itu. Kemudian Rabb mereka memperlihatkan diri kepada mereka dengan jelas, lalu bertanya, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu?’ Mereka menjawab, ‘Apalagi yang kami inginkan sedangkan kami bisa menikmati surga dengan sekehendak kami?’ Rabb mereka bertanya seperti itu sebanyak tiga kali. Maka tatkala mereka merasa bahwasanya mereka harus minta sesuatu, mereka berkata, ‘Wahai Rabb kami! Kami ingin ruh kami dikembalikan ke jasad-jasad kami sehingga kami dapat berperang di jalan-Mu sekali lagi.’ Maka tatkala Dia melihat bahwasanya mereka tidak mempunyai keinginan lagi, mereka ditinggalkan.” (HR. Muslim).
Padahal sekarang belumlah hari kiamat, masih banyak orang yang hidup di permukaan bumi ini, diancam wabah corona pula. Namun, mereka bisa menikmati surga pada saat ini meskipun melalui burung-burung hijau.
Jadi, mungkin beliau sang ustaz memahami bahwa inilah dalil hijau itu identik dengan Islam. Kalau kamu punya pandangan atau pendapat lain, boleh saja, silakan saja, tetapi masing-masing mesti dengan dasarnya ya!
Naik-naik ke Puncak Gunung
Kata ustaz, lagu ini juga bisa menjeremuskan akidah Islamiyah. Sebab, liriknya: kiri kanan kulihat saja, banyak pohon cemara. Kata beliau, pohon cemara itu identik dengan pohon Natal! Hati-hati.
Tapi, bagaimana sih sejarahnya kok pohon cemara bisa jadi pohon Natal dan simbol Nasrani? Boleh deh kita lihat pada laman Michigan State University. Wah, tapi bahasa Inggris, he, Mas! Tidak masalah, berikut Bahasa Indonesianya.
Pada awalnya, pohon cemara yang hijau memang sering dipakai untuk merayakan festival pada musim dingin. Tidak tanggung-tanggung, selama ribuan tahun lho! Kamu pasti belum lahir ‘kan?
Untuk pertama kalinya, pohon Natal menggunakan cemara sekitar 1.000 tahun yang lalu di Eropa Utara. Bisa jadi Martin Luther yang pertama kali membawa pohon Natal ke rumah. Dia adalah seorang pengkhotbah Jerman abad ke-16.
Lalu bagi orang Kristen sendiri, pohon Natal melambangkan apa sih? Rupanya pohon Natal yang terbuat dari cemara itu adalah simbol harapan untuk menyambut kelahiran Yesus. Kamu bisa lihat lengkapnya di sini saja ya, asal mula pohon cemara jadi pohon Natal.
Bila dimisalkan pohon cemara adalah pohon Natal untuk orang Kristen, maka bisa benar, bisa pula salah. Banyak juga lho pohon cemara yang dijadikan pohon taman saja, tanpa bermaksud apa-apa, bahkan untuk simbol peribadahan.
Jika cemara selalu identik dengan orang Kristen, lalu bagaimana dengan sinetron Keluarga Cemara? Sementara di situ ada juga Novia Kolopaking yang beragama Islam. Masa semua penghuni rumah di tayangan itu Kristen semua? Kan tidak begitu.
Perbandingan dengan Lagu Lain
Kalau yang saya lihat di postingan video tentang ustaz tersebut, cukup banyak yang mengkritik sih. Ada yang mengatakan lagu itu untuk mengenal Bahasa Indonesia dengan lebih mudah, tetapi kok dikaitkan dengan agama yang sangat sensitif, bahkan ada kaitannya dengan pengkafiran?
Baca Juga: Tantangan Menjadi Guru Profesional, Malah Dibilang “Kemaruk”
Ada juga yang berkomentar ini ustaz tidak pernah belajar sejarah nabi muhammad. Ketika si pengkomentar ini menulis “nabi muhammad” juga tidak dengan kaidah yang benar. Semestinya ‘kan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jadi, jangan lupakan sholawat di belakang nama beliau ya!
Dibandingkan dengan lagu lain juga ada komentar seperti itu. Pada lagu “Naik Delman”, kok perginya pada hari Minggu? Bukankah pada hari itu, orang Kristen sedang beribadah?
Pada lagu Potong Bebek Angsa, juga mestinya dikritik, karena mengajak noda berdansa, padahal bukan mahrom. Hehe..
Yang lucu lagi, malah bahas tentang catur. Dia bilang kuda itu jalannya L. Itu merupakan pesan tersembunyi bahwa artinya adalah LIBERAL. Ngakak dulu, deh, dipersilakan!
Yah, biasanya kalau warganet sudah berkomentar, maka bisa apa saja disangkutpautkan. Dan, termasuk kreatif juga, kita saja tidak sampai terpikir mau berkomentar seperti itu. Terbuat dari apa otak mereka ya? Hohoho…
Apakah Lagu Memang Menjerumuskan Anak?
Bagi orang-orang yang tidak menyukai musik karena berpandangan bahwa musik itu haram, maka mereka berusaha untuk menjauhkan anak-anaknya dari seruling syetan itu. Mereka mengenalkan Al-Qur’an sedini mungkin, bacaan plus hafalannya. Nyatanya toh, bisa juga lho anak-anak yang belum baligh beberapa juz bahkan khatam 30 juz.
Kalau ada lagu anak-anak yang merusak akidah Islamiyah, maka bisa jadi setelah dewasa akan muncul seperti itu. Minimal lirik-lirik yang ada sekarang bertemakan cinta dan ujungnya adalah pacaran, hubungan ilegal antara laki-laki dan perempuan bukan mahrom.
Ada satu perbuatan yang betul-betul bisa menjerumuskan akidah Islamiyah yang dimiliki anak. Apakah itu? Hal ini jela terlihat pada orang tua yang tidak mengenalkan anak-anaknya untuk sholat karena si orang tua sendiri memang tidak sholat. Ada yang seperti ini? Oh, banyak sekali, Bambang…
Sebagian ulama menghukumi orang yang tidak sholat itu kafir alias bukan lagi beragama Islam. Kalau sudah tidak beragama Islam, berarti ‘kan tidak lagi punya akidah Islamiyah. Jadi, jangan cuma fokus pada lagu anak-anak yang merusak akidah Islamiyah, lalu mengkritik sang ustaz dengan membabi buta.
Yang perlu dipikirkan adalah apakah anak-anak kita ini masih memegang akidah Islamiyah itu sampai akhir hayat mereka nanti atau tidak? Terlepas dari adanya lagu anak-anak yang merusak akidah Islamiyah maupun tidak. Bagaimana? Mau kita pikirkan bersama?
Kesimpulan
Kalau kita kaget dengan pemikiran sang ustaz bahwa balon warna hijau meletus dan pohon cemara di lagu “Naik-naik ke Puncak Gunung” menjadi simbol Kristen, maka itu termasuk out of the box. Kita yang sudah menyanyikan lagu itu dari kecil dan masih ingat sampai sekarang, apakah sampai berpikir ke arah sana?
Yah, kita berprasangka positif saja bahwa itu bagian dari keresahan sang ustaz dengan kondisi saat ini yang bisa mendangkalkan akidah. Terutama yang menyasar anak-anak, yang mana sudah ditanamkan sejak kecil.
Ada sebuah cerita tentang seorang guru yang akan memberikan permen kepada semua muridnya. Mereka terlebih dahulu meminta kepada Allah berupa permen. Setelah meminta, rupanya memang tidak ada permen tersebut. Terus, diganti dengan meminta kepada si guru tersebut. Lho, ternyata dikasih!
Dari situ, muncullah kesimpulan bahwa Allah itu katanya tidak ada dan guru itu ada. Padahal ini bisa gampang dibantah bahwa Allah itu tidak langsung memberikan benda berbentuk fisik seperti itu.
Hal atau sesuatu yang diberikan Allah biasanya memang tidak kelihatan secara kasat mata, tetapi memang ada. Misalnya rezeki, kesehatan, ketenangan, ketenteraman, keamanan dan lain sebagainya. Adakah yang bisa melihat rezeki itu bentuknya seperti apa?
Dan, untuk netizen, pastilah selalu akan berkomentar terhadap siapapun dan apapun. Sebab mereka memang punya otak, HP dan tentu saja paket internet atau WiFi gratisan. Komentarnya pun kadang tidak terduga, lucu, menggemaskan, sekaligus menjengkelkan. Yah, itulah dunia maya, realitasnya memang seperti itu.
Lalu, kita harus bagaimana? Hem, terserah saja kepada kita. Sebab yang mengatakan pendapat tentang lagu tersebut adalah seorang ustaz. Kita mesti khawatir jika orang tersebut sudah masuk dalam kategori ulama menurut Allah. Ingat, ini menurut Allah lho! Sementara memakan daging ulama itu beracun! Hiii, ngeri deh!