Meskipun berusia di bawah 25 tahun misalnya, kalau sudah punya anak, tetap namanya orang tua. Padahal usianya masih muda, ya ‘kan? Meskipun orang tua itu pada dasarnya baik, tetapi ada pula istilah toxic parents, apa itu? Bagaimana cara menghadapi toxic parents tersebut?
Kalau melihat dari istilahnya, toxic itu artinya racun, sedang parents ya artinya orang tua. Apakah orang tua yang beracun? Apakah orang tua yang minum racun? Mungkin yang dimaksud itu adalah minuman-minuman yang terlalu banyak berpengawet dan pemanis buatan.
Apakah orang tua yang menggunakan racun untuk mematikan tanaman liar di depan rumah? Yang mana yang benar? Kok dibilang cara menghadapi toxic parents juga?
Hal Normal Pada Diri Orang Tua
Setiap orang tua memang pada dasarnya berusaha untuk memperlakukan anak dengan sebaik-baiknya. Memenuhi kebutuhannya, sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan dan agama semaksimal mungkin.
Memang di situlah kewajiban orang tua. Kalau ada orang tua yang tidak bisa memenuhi semuanya itu, maka jangan dulu langsung disalahkan. Siapa tahu memang ada keterbatasan dalam pemenuhan tersebut?
Orang tua pastilah manusia juga, ya ‘kan? Termasuk manusia atau orang ya? Halah, sama saja. Anak juga termasuk manusia. Jadi, anak manusia atau orang ya? Wah, ini diulang lagi kalimatnya!
Karena orang tua termasuk manusia, pastilah tidak ada yang sempurna, apalagi di era jaman now ini. Banyak orang tua yang menjadi orang tua karena memang sudah harus begitu.
Usianya untuk menikah sudah cukup, terbilang mapan, dan tidak kalah pentingnya, yang lain sudah menikah dan punya anak, kok kamu belum? Pada akhirnya, jadi semacam ajang ikut-ikutan deh. Jika tidak begitu, nanti dibully lagi. Sudah berumur kok belum nikah? Kok belum punya anak? Lah..!
Terjebak Pada Kesalahan
Toxic parents seperti disebutkan di depan tadi, bisa menghinggapi orang tua, bisa saya, bisa pula kamu. Dan, cuma manusia yang kena ini. Hewan setahuku belum ada yang kena, apalagi tumbuhan, lebih susah lagi, hehe…
Sebenarnya, sejauh yang saya baca dari artikel lain tentang toxic parents ini, penyebabnya adalah pengaruh masa lalu. Dulu kita menjadi anak mendapatkan toxic parents dari orang tua kita, eh, sekarang diteruskan lagi. Pola pengasuhan yang salah, meski tidak semua lho ya, dilakukan lagi terhadap anak-anak kita.
Baca Juga: 10 Perkataan yang Merusak dan Meruntuhkan Dunia Anak
Kalau terjadi begitu sih, mirip dengan panitia ospek. Dahulu diperlakukan kejam oleh kakak angkatan, sekarang sudah jadi panitia ospek, balam dendas, eh, balas dendam.
Bahkan, untuk ospek online pun tidak beda dengan offline. Bentak-bentak juga ke peserta ospek, padahal lewat Zoom gara-gara tidak pakai ikat pinggang. Haha, benar-benar lucu sebagian generasi muda negeri ini yang notabene disebut terpelajar itu.
Luka lama pada pola pengasuhan masa lalu, bisa muncul kembali, tergores kembali ketika orang tua menghadapi anak. Lalu, anak sebagai pihak terlemah dalam keluarga mendapatkan getah atau ampasnya.
Ah, pokoknya tidak bagus lah toxic parents itu. Sebelum mengulas cara menghadapi toxic parents, berikut ciri-ciri dari toxic parents itu sendiri yang saya rangkum dari berbagai sumber mata air, halah, maksudnya sumber artikel lain!
1. Sentral Orang Tua
Toxic parents pada intinya memang berasal dari orang tua, artinya mengutamakan kepentingan orang tua di atas kepentingan anak, bahkan kepentingan bangsa dan negara, walah, kejauhan! Sentral ini juga bukan berarti pasar ya, meskipun ada namanya pasar sentral. Atau jangan-jangan orang tua yang hobi belanja di pasar sentral? Hem…
Jika orang tua berfokus pada dirinya sendiri, maka anak tidak terlalu diperhatikan. Kan saya yang jadi orang tua di sini, begitu mungkin dalam orang tua yang punya sifat toxic. Dia tidak melihat kebutuhan maupun kepentingan anak, juga tidak sempat berpikir lebih dalam tentang dampak pengasuhan toxic parents terhadap anaknya sendiri.
Oh, ya, masih berkait dengan cara menghadapi toxic parents dalam poin pertama ini adalah adakalanya orang tua malah justru seperti “anak-anak” dibandingkan anaknya sendiri. Contohnya, seorang ibu sedang memarahi anaknya.
“Kalian itu bikin Ibu marah terus! Apa kalian tidak kasihan sama Ibu yang dari tadi kerja terus bersih-bersih? Apa kalian mau Ibu masuk rumah sakit? Apa kalian mau Ibu cepet mati, hah?”
Padahal mendengar itu, anak bisa jadi tertekan. Seakan-akan malah anak yang bertanggung jawab dengan perasaan orang tuanya.
Lah, padahal dia menanggung jawaban dari soal-soal pelajarannya belum tentu bisa kok, apalagi ini masalah perasaan. Ya ‘kan? Mana mampu anak? Seharusnya orang tua yang menanggung perasaan dari anak, bukan sebaliknya.
2. Cita-cita Terlalu Tinggi Sekali
Orang tua memang harus mengarahkan anak, mau ke mana nanti masa depannya? Mau jadi apa? Kan banyak pilihan pekerjaan, profesi maupun bidang yang bisa dipilih anak. Tapi ingat, tetap harus baik, positif dan sesuai dengan syariat Islam ya.
Namun, ada pula orang tua yang mengharapkan anak dengan tinggi sekali, dengan maksud ini demi kebaikan anak. Contoh, orang tua mengharapkan anak jadi musisi seperti dirinya, sedangkan anak tahu bahwa musik itu haram dalam Islam, entah tahu dari mana?
Orang tua ingin ada penerusnya dalam bidang musik, tetapi anak maunya mengaji. Wah, kalau ini sih seharusnya disyukuri, calon anak sholeh, Insya Allah!
Begitu pula ketika anak ingin cita-cita yang berbeda. Contohnya, ada anak yang ingin jadi supir bus. Eh, sama orang tuanya dikatakan bahwa itu cita-cita yang rendah. Cita-cita kok jadi supir bus? Nggak ada yang lain?
Padahal, anak tersebut sekadar memimpikan saja. Belum tentu juga jadi betulan. Namun, orang tuanya langsung melarang dengan segudang alasan.
Menjadi supir bus adalah pekerjaan yang mulia juga. Bisa jadi, berawal jadi supir bus, jadi pengusaha bus. Tidak ada yang tidak mungkin bukan selama berusaha?
3. Disebarkan Keburukan Anak Sendiri
Jika tidak dikontrol, tanpa sadar orang tua bisa menyebarkan keburukan atau sifat jelek yang melekat pada diri anak di depan teman-temannya. Contohnya, pagi tadi anaknya mengompol. Otomatis, basah dong celananya. Ya, iyalah, mana ada sih mengompol kering?
Orang tua toxic boleh jadi membicarakan keburukan atau aib tersebut demi menghukum anak. Mungkin anaknya tadi tidak mau sarapan pagi, nah, kesempatan bagi orang tua untuk “membalas dendam”.
“Itu, Si Bobi pagi tadi mengompol. Masa sudah kelas 2 SD masih mengompol sih. Bikin malu saja. Ya ‘kan Bob? Kamu pagi tadi mengompol banyak toh?”
Bobi, kalau di tempat saya ini nama tukang ojek, mendengar kalimat itu akan langsung turun harga dirinya. Menjadi rendah diri. Dia akan merasa malu, apalagi di depan teman-teman orang tuanya yang notabene ada anaknya juga.
Terlebih jika ada teman si anak, yang mengetahui kejadian itu. Senyum-senyum sendiri, tambah bikin malu anak pengompol itu.
Menerima hal itu cukup berat bagi anak lho! Rasa malunya yang terlanjur tertempel bisa menambah luka menjadi suatu kebencian terhadap orang tuanya. Hati-hati kalau sudah begini, perilaku anak nakal dapat terbentuk dari persoalan tersebut.
Baca Juga: Menciptakan Masjid Ramah Anak: Dua Kisah Nyata
Tambahan lagi, sebelum masuk ke subjudul berikutnya adalah meskipun dengan candaan, anak-anak tetap bisa terluka hatinya. Contoh dari bentuk tubuh si anak. Hidungnya pesek, lah, kulitnya hitam, lah, rambutnya gimbal, lah dan sebutan-sebutan lain.
Perlu diketahui orang tua, bahwa anak lahir tidak bisa memilih alias request. Memangnya acara radio, pakai request segala?
Anak terlahir ya sudah begitu, apa adanya saja. Ketika ada candaan yang menyerang fisiknya, contoh badannya yang pendek dan kurus, maka privasi anak sebagai seorang manusia jelas terganggu. Meskipun dia anak kecil, tetapi ‘kan manusia juga.
4. Mirip Iklan Shampoo
Sebenarnya, apa hubungan subjudul di atas ini dengan cara menghadapi orang tua toxic? Itu juga gambarnya malah kamar mandi. Eh, punya siapa itu ya?
Nah, mungkin bagi kamu yang pernah menonton iklan shampoo Dove, masih ingat? Itu lho, shampoo yang bunyi iklannya: Dove, seperempatnya adalah monster!
Padahal aslinya bukan monster, melainkan moisturizer. Hehe. Kita ambil yang pertama tadi, yaitu: monster. Lho, apakah ada orang tua yang bisa menjadi monster?
Monster jarang yang punya karakter protagonis. Rata-rata punya sifat yang jahat, kejam, tega, apalagi? Suka dengan mengganggu kehidupan orang lain, bahkan punya hasrat besar untuk menguasai dunia.
Makanya itu, cukup banyak pahlawan super yang menghalangi keinginan monster tersebut. Siapa saja pahlawan super itu? Ah, kamu pastinya lebih tahu, lah!
Orang tua yang dianggap mirip monster mempunyai kegemaran memarahi, membentak bahkan tidak segan-segan memukul anak. Jangan sampai dikira anaknya adalah sansak tinju nih?
Apa sih maksud dari orang tua melakukan itu? Oh, kita coba berpikir secara positif terlebih dulu. Bisa jadi agar anak menjadi disiplin. Selain itu, agar dia tidak menjadi manja. Makanya perlu dikerasi begitu ya?
Ini yang perlu diluruskan, Bos! Kewajiban orang tua yang utama itu adalah menyayangi dan memberikan rasa aman pula kepada anak-anaknya.
Nah, kalau orang tuanya mencontohkan sifat toxic tadi, maka si anak bisa mencontoh lho! Ya ‘kan? Dicontohkan, maka si anak akan mencontoh.
Nanti, anaknya akan menjadi monster juga bagaimana? Bukankah anak itu tidak jatuh dari bapaknya? Walah, salah peribahasa! Buah tidak jauh jatuh dari pohonnya. Begitu maksudnya.
5. Terlalu Melindungi Anak
Overprotektif. Itulah sifat yang melekat pada diri orang tua toxic. Membuat anak benar-benar terlindungi dari dunia luar pada satu sisi bagus sih, tetapi untuk perkembangannya nanti malah jelek.
Apalagi jika tinggal di perumahan mewah misalnya. Atau tidak selalu mewah deh alias mepet sawah, wah, singkatan lama ini. Hehe..
Pada perumahan biasa saja, bisa kok muncul sifat individualisme. Orang tuanya tidak mau bergaul dengan tetangga, anak pun begitu.
Sebetulnya, anak dalam instingnya sebagai tukang bermain, sangat senang bisa main bersama anak lain. Namun, orang tua memberikan batasan yang ketat. Anak tidak boleh ke luar rumah, disiapkan segala sesuatu mainannya di rumah saja.
Solusi yang lebih utama itu adalah memberikan batasan. Sejauh mana anak bisa ke luar rumah dan kapan dia harus kembali? Hal itu bisa dibicarakan baik-baik dengan anak. Meskipun sekarang masih pandemi covid-19, ke luar rumah tetap penting lho. Tapi, ya, harus dengan protokol kesehatan juga.
6. Perbandingan yang Dibandingkan-bandingkan
Subjudul yang terlihat membingungkan, tetapi sebenarnya, bikin bingung juga. Hehe…
Intinya begini, deh, anak memang punya sifat, karakter dan potensi masing-masing. Tidak ada anak yang sama persis. Bahkan anak kembar sekalipun. Kalau sudah begitu adanya, buat apa anak dibanding-bandingkan? Mungkin dengan saudara kandung, sepupu, tetangga maupun teman sekolah.
Baca Juga: Apakah Hidup Anda Seperti Kecoa Terbalik?
Akan lebih baik, jika setiap anak itu saling berkolaborasi. Lebih terlihat indah, bila satunya bisa menggambar, satunya bisa menulis. Mungkin kita harus ingat tentang sebuah sekolah hewan.
Ada ikan, burung, monyet, gajah dan jerapah. Tidak mungkin bukan kita suruh ikan memanjat pohon? Begitu juga, tidak akan bisa, burung berenang di lautan. Kalau hewan saja bisa begitu, apalagi manusia? Ya ‘kan?
7. Sudah Ada Telinga, Tetapi Tidak Buat Anak
Tidak usah dicek, sebagian besar dan hampir semuanya kita memiliki telinga. Namun, apakah selama ini kita sudah pakai untuk mendengarkan keluh-kesah anak? Belum tentu lho!
Anak yang mengadukan masalahnya kepada orang tua, mungkin akan ditanggapi tidak terlalu serius. Dikatakan ke anak tersebut, “Halah, gak usah dipikirkan!” atau dalam kalimat lain, “Sudah, tidur sana!”
Solusinya tidak ada, bahkan untuk didengarkan saja juga sulit. Bila hal ini terjadi, maka anak mau mengeluh kepada siapa? Temannya? Ya, kalau temannya benar, kalau sebaliknya bagaimana?
Orang tua mesti mulai berbicara bersama dengan anak, bukan hanya sekadar berbicara kepada anak. Berbicara bersama anak, berarti pendapat, usul maupun kritikan anak ditanggapi positif oleh orang tuanya. Sedangkan berbicara kepada anak, dilihatnya sebagai komunikasi satu arah saja.
Solusi Bagi Orang Tua Toxic
Cara menghadapi orang tua toxic itu memang tidak mudah, terlebih jika sifat toxic tersebut terbawa pada diri orang tua. Perlu belajar lebih banyak lagi tentang mendidik anak. Selain itu, tanamkan kesadaran bahwa anak itu memang butuh disayangi dan dididik dengan akhlak yang mulia.
Untuk lebih memahami tentang toxic parents, kiranya video ini menjadi sebuah referensi buat kamu:
Perlu dipahami pula, jika orang tua masih punya sifat toxic, maka itu seperti corona. Menular dari orang tua ke anak. Nanti anak jadi besar dan orang tua juga, begitu lagi. Lalu, sampai kapan akan selesai?
Itulah ciri dan tips atau cara menghadapi toxic parents. Semoga bermanfaat.
terima aksih pak, sangat bermanfaat sekali buat saya sebagai orang tua. thank you
Alhamdulillah, sama-sama pak, saling sharing dan berbagi. Terima kasih sudah mengunjungi blog saya ini.
makasih sharingnya
Terima kasih kembali sudah berkunjung dan kasih komentar.
Tulisannya udah lama tapi saya baru baca,tapi setelah membaca saya mulai sadar sepertinya saya orang tua toxic,makasih udah mengingatkan ,sangat menginspirasiš¢
Saya juga orang tua, Bu, punya anak. Kadang masih termasuk orang tua toxic itu. Tapi, setidaknya belajar untuk berubah lebih baik.