Bayar dong! Cepetan. Nah, itu kalau misalnya ada orang yang minta utangnya dilunasi. Tapi, tunggu dulu, hidup ini juga selalu bicara bayar-bayar lho! Contohnya seperti artikel atau opini saya berikut ini.
There is not free lunch.
Tidak ada makan siang gratis. Itulah pepatah yang berasal dari negeri di seberang sana, yaitu: Amerika Serikat. Suatu pepatah yang menunjukkan betapa dunia sekarang ini sudah dikuasai dengan hal-hal bersifat materialistis, terutama: uang.
Hampir semuanya kita peroleh di dunia ini dengan membayar. Mulai dari makan, minum, pakaian, rumah, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Itu baru dari kebutuhan pokok. Terlebih lagi pada kebutuhan sekunder sampai tersier. Bahkan untuk buang air saja, kita juga harus membayar, seperti yang ada di toilet-toilet di kota besar.
Dan, tidak ketinggalan, betapa pintarnya dunia ini. Kalau kita tidak sanggup membayar dengan kontan, masih ada cara mencicil atau mengangsur. Tentu dengan harga total yang lebih tinggi.
Uang memang sesuatu yang sangat diidam-idamkan oleh hampir semua orang. Makanya itu, usaha perburuan uang termasuk usaha yang terbesar di dunia ini. Orang-orang bekerja dari pagi sampai sore atau bahkan malam hari demi mencari uang. Tidak jarang kita temukan, ada orang yang ribut atau berkelahi hanya gara-gara uang.
Nah, kalau uang sudah didapatkan, katanya bisa membuat bahagia. Betulkah begitu?
Memang, saat uang sudah berada di tangan, biasanya timbul pikiran untuk membelanjakannya. Dalam fase inilah, biasanya terjadi pertentangan pikiran. Akan mengalir ke mana uang tersebut? Apakah untuk sesuatu yang positif, menambah manfaat atau tidak mendatangkan kerugian?
Ataukah untuk sesuatu yang merusak jiwa dan raga, merugikan orang lain dan tidak ada manfaatnya sama sekali, seperti: rokok dan narkoba? Dua cabang pikiran tersebut memang dikembalikan kepada masing-masing orang. Setiap orang diberikan hak prerogatif untuk membelanjakan uang miliknya. Meskipun, pada suatu saat nanti, pasti ada pertanggungjawabannya di akhirat oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala.
Hidup Ini Perlu Untuk Dibayar
Mengacu kembali kepada pepatah Amerika di atas, kita memang menyadari bahwa hidup kita ini perlu untuk dibiayai. Bagi anak-anak, mereka tidak terlalu pusing karena masih ada orang tuanya yang pontang-panting untuk membiayai. Urusan biaya ini mau tidak mau memang harus dikeluarkan. Persoalannya kemudian, kita tinggal memilih, apakah mau bayar sekarang atau nanti? Mau dibayar di awal atau di akhir?
Kita ambil contoh yang pertama, yaitu: pendidikan. Kita tahu, pendidikan termasuk kebutuhan pokok manusia. Pendidikan ini sangat perlu untuk diberikan karena kita sebagai manusia telah dianugerahi oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala dengan pikiran dan akal budi. Kita bisa menggunakan pikiran untuk membedakan baik dan buruk.
Meskipun pendidikan di negara ini mendapatkan porsi anggaran yang sangat besar, tetapi tetap kita harus membayar kebutuhan-kebutuhan pendukung pendidikan. Ternyata, pendidikan inipun tidak sebatas dari aspek sekolah saja.
Makanya, sungguh sangat salah, sebagian orang yang berhenti belajar setelah lulus sekolah. Tidak pernah lagi membaca buku untuk menambah pengetahuan. Sangat jarang mencari ilmu pengetahuan yang bermanfaat dari internet. Susah sekali untuk menghadiri kegiatan atau acara yang memperkaya ilmu. Malah sibuk dengan urusan yang tidak terlalu bermanfaat dan lebih banyak membuang waktu.
Nah, kita bisa melihat dalam kehidupan masyarakat, berapa sih yang masih ada niat untuk belajar? Malah yang cukup sering adalah orang tua menyuruh anaknya belajar, sementara dia sendiri menonton acara dangdut, sinetron, pertandingan sepakbola atau malah film berbau cerita dari India.
Hal yang lebih parah lagi adalah masih sangat sedikit orang yang belajar tentang agama Islam, padahal agamanya sendiri adalah Islam. Kenyataan yang ada, kurang ilmu agama, tetapi saat bicara agama, malah merasa paling jago. Inilah musibah besar yang melanda kaum muslimin.
Padahal belajar itu sebenarnya termasuk suatu jenis pembayaran juga. Bila kita tidak membayar sekarang, maka kita akan merugi di kemudian hari. Ini secara jelas berkaitan dengan pekerjaan. Saat orang tidak mau membayar untuk pembelajaran, akhirnya pekerjaannya terhambat atau kariernya tidak banyak berkembang. Membayar di sini tidak harus berupa uang, tetapi juga dengan waktu, kesempatan, konsentrasi dan kesabaran untuk menempuh proses belajar itu sendiri.
Orang-orang yang sukses adalah mereka yang mau dan mampu untuk membayar harganya. Saat kita melihat orang-orang sukses, jangan cuma dilihat hasil akhirnya, tetapi juga prosesnya untuk menuju kesuksesan tersebut.
Kita ambil contoh adalah usaha atau perjuangan imam besar dalam bidang hadist, yaitu: Imam Bukhari Rahimahullah. Beliau rela menempuh perjalanan sangat panjang hingga berbulan-bulan untuk mencari hadits, belajar hadist dan mengecek derajat keshohihan sebuah hadist.
Pernah, setelah perjalanan sangat panjang, hadist yang didapatkan malah sedikit. Namun, sekarang kita lihat, beliau termasuk imam yang sangat mumpuni dalam ilmu hadist. Kitab Shahihnya menjadi kitab panduan umat Islam yang kedua setelah Al-Qur`an.
Dalam bidang kesuksesan yang lain, pasti kita tahu sejarah Thomas Alva Edison, sang penemu bola lampu. Dalam banyak buku motivasi disebutkan bahwa beliau melalui proses gagal sebanyak 10.000 kali, sebelum menemukan bola lampu. Bisa dibayangkan, 10.000 kali?
Dari dalam negeri, juga ada kisah menarik dari Mario Teguh, sang motivator yang terkenal dengan ucapan “Salam Super” itu. Saat beliau berada dalam jajaran manajemen puncak sebuah bank swasta terkenal, ternyata beliau malah ke luar atau resign! Lalu, sempat tinggal di rumah sempit, bersabar untuk itu, demi mengejar impian sebagai motivator.
Sekarang, sudah terbukti! Menurut kabar yang ada, untuk bisa mengundang Mario Teguh bisa sampai empat puluh juta rupiah lebih! Masih banyak orang-orang sukses di dunia ini yang membayar di awal. Mereka berani membayar harganya untuk mendapatkan sesuatu yang besar di kemudian hari.
Sekarang ambil contoh dalam dunia birokrasi. Dalam suatu kantor, berapakah pegawai yang lancar dan mahir dalam mengoperasikan komputer? Ini ditekankan komputer untuk bekerja, bukan untuk bermain game. Bisa jadi jumlahnya tidak terlalu banyak. Oleh sebab itu, mungkin cukup banyak pimpinan yang pusing dengan bawahannya sendiri.
Contohnya ketika ada pekerjaan yang harus “dimasak” dengan komputer, tetapi cuma beberapa orang atau pegawai yang sanggup. Hal yang lebih parah adalah bila dalam suatu kantor, ada tenaga honorer yang lebih jago mengetik di komputer dibandingkan PNS-nya. Yang PNS lebih banyak meluangkan waktu bukan untuk menambah kemampuannya berkomputer.
Secara garis lurus, bukankah tugas atau pekerjaan kantor itu memang utamanya harus diselesaikan oleh PNS? Tenaga honorer hanyalah sebagai pelengkap. Bila pegawai honorer yang lebih diandalkan daripada PNS, maka ini bisa jadi termasuk musibah besar dalam dunia PNS kita.
Hal tersebut berada dalam konteks pekerjaan dunia. Segi yang lain adalah dalam agama Islam. Ketika ada orang yang tidak mau membayar untuk belajar agama, hasilnya akan sangat fatal. Dia tidak tahu hukum sholat, jadi dengan sangat entengnya meninggalkan sholat.
Seharusnya, dia tahu bahwa orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja, bisa diancam dengan stempel “kekafiran”! Apalagi bagi yang menggemarinya alias menjadikan pekerjaan meninggalkan sholat itu sebagai hobinya!
Atau bagi orang yang sholat, tidak tahu tata cara sholat yang benar sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Dalam aspek ibadah lainnya, juga akan menimbulkan kesalahan jika orang tidak mau belajar Islam. Tidak tahu ibadah yang disyariatkan dalam agama Islam. Karena ketidaktahuannya, malah melakukan sesuatu yang sama sekali tidak dicontohkan dalam agama ini. Malah sesuatu tersebut dianggap sebagai ibadah karena banyak dilakukan oleh kaum muslimin.
Ada satu lagi aspek yang perlu untuk dibayar. Apalagi kalau bukan kesehatan? Inilah bagian yang sangat menunjang kehidupan kita. Ada sebuah pepatah yang pernah diperdengarkan di sebuah radio swasta: “Kesehatan memang bukan segalanya, tetapi tanpa kesehatan, segalanya tidaklah berarti apa-apa.”
Jelas bahwa kesehatan itu diperoleh dengan tidak gratis. Kita harus makan makanan yang halal, sehat dan bergizi. Kemudian juga menggiatkan olahraga, menjaga pikiran tetap positif, selalu beribadah dan lain sebagainya. Semua itu menjadi bagian dari pola hidup yang sehat.
Ternyata, masih banyak orang yang tidak mempedulikan kesehatannya. Mereka tidak mau atau enggan untuk mengonsumsi produk herbal maupun suplemen kesehatan. Padahal, harganya masih terhitung murah.
Nah, karena tidak mau mengeluarkan uangnya untuk membeli produk kesehatan tersebut, maka suatu saat akan terkena dampaknya. Mulai muncul penyakit-penyakit akut. Akhirnya, dirawat intensif di rumah sakit. Memang, ada asuransi kesehatan yang melindungi, tetapi di sisi lain, muncul kerugian ketika sakit. Tidak bisa bekerja, beribadah secara normal ataupun berkumpul bersama keluarga sebagaimana biasa.
Itulah buah dari orang yang tidak mau membayar harga kesehatan di awal, tetapi justru membayar dengan jumlah yang lebih banyak di akhir. Dari kenyataan ini, para perokok termasuk kelompok yang paling sial dan merugi. Alasannya, mereka membayar di awal untuk memperoleh sakit parah di hari nanti. Jadi, mereka justru berkebalikan dengan kaidah umum, yaitu: mereka justru ingin sakit dengan biayanya sendiri!
Selalu Siap Untuk Membayar
Mau bayar di awal maupun akhir, intinya kita harus mau membayar. Sekali lagi, tidak hanya dengan uang, tetapi juga dengan waktu, kesempatan, ketekunan, kerja keras dan tidak lupa dengan doa. Kita perlu merenung, membayar di awal tidak akan semahal dibandingkan membayar di akhir. Sebab, jika sudah dipaksa untuk membayar di akhir atau nanti saja, maka itu biasanya berupa penderitaan, penyesalan dan kesedihan.
Namun, yang perlu ditekankan di sini adalah membayar dalam konteks yang positif. Jangan sampai diartikan misalnya dalam usaha mendapatkan suatu pekerjaan, kita harus membayar terlebih dahulu. Bila masih dalam konteks sesuai aturan atau hukum positif yang ada, maka itu tidak masalah.
Akan tetapi, jika sudah menyangkut pelanggaran hukum atau dalam arti yang lain adalah suap atau sogokan, maka jelas ini sesuatu yang sangat tidak dibenarkan. Untuk apa kita mau mencari nafkah dengan niat untuk mencukupi kebutuhan keluarga, tetapi pintu masuknya sudah dengan cara yang haram?
Akhirnya, kita perlu terus menyadari bahwa hidup ini memang tidak murah, butuh biaya dan pengorbanan. Keinginan atau impian besar di masa depan harus diusahakan dengan usaha kita untuk membayar harganya. Kemudian, jangan sampai kita justru menjadi orang yang pelit atau suka menunda-nunda pembayaran di awal sehingga kita menuai “kenikmatannya” di kemudian hari.
Opini/artikel ini pernah dimuat di Harian Kendari Pos, Rabu, 18 Maret 2015
12 Comments