Aturan untuk Mengatasi Masalah Pernikahan, Apa saja Sih?

Aturan untuk Mengatasi Masalah Pernikahan, Apa saja Sih?

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Pernikahan memang tidak selalu baik-baik saja. Ada kalanya terkena badai. Mungkin juga hempasan ombak. Apalagi kalau menikahnya di atas perahu, jelas akan terkena itu!

Coba tanya ke suami istri yang dianggap pasangan sejati, terlihat mesra, meskipun olinya pakai Mesran. Apakah tiap hari akan terus seperti itu?

Senyum setiap saat, membelai dengan romantis, kata-katanya selalu penuh cinta, apakah akan selalu sama? Kenyataannya tidak. Lho, siapa yang mengatakan ini? Ya, jelas saya dong! Tapi, berdasarkan penilaian banyak orang sih.

Rumah tangga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja pernah ada gejolaknya kok. Apalagi beliau berpoligami pada masa-masa akhir hidupnya. Istri satu saja bisa memunculkan masalah, apalagi kalau istrinya lebih dari satu, bukan?

Pada dasarnya, masalah dalam pernikahan memang untuk mendewasakan pasangan. Ketika pasangan suami istri berhasil melewati suatu masalah, maka setidaknya mereka bisa belajar untuk menjadi lebih baik.

Baca Juga: 6 Alasan Pasangan Sejati Itu Seperti Sepasang Sepatu

Hal yang lalu biarlah berlalu, toh itu akan menjadi kenangan yang mungkin indah. Masa lalu saat suami marah-marah ke istri atau sebaliknya, tidak akan pernah datang kembali.

Kalau marahnya mungkin iya, akan kembali, tetapi kejadian masa lalu tidak pernah hadir lagi. Terus, mau tahu caranya hadir lagi? Coba saja diabsen dua kali. Biasanya ada yang mengatakan, “Hadir, Pak!” Nah, jika mau hadir lagi, maka panggil lagi. Maka dia akan menjawab dengan suara yang lebih keras, “Hadir, Pak!” Dikira gurunya budeg apa ya?

Nah, kali ini, akan coba kita angkat, aturan-aturan yang sebenarnya mesti ada dalam kehidupan suami istri dan dapat mencegah masalah besar, sekaligus dapat menghangatkan hubungan pasangan. Eits, tidak usah bawa knalpot panas ke dalam kamar ya! Masa hanya mau menghangatkan, knalpot harus dibawa-bawa?

Saat Tidur

masalah-pernikahan-1

Dalam hubungan suami istri, ada yang namanya pillow talk. Ini bukan berarti ngomong dengan bantal lho ya, melainkan pembicaraan intens suami istri ketika kepala mereka sudah di atas bantal semua. Mau itu bantal murah maupun mahal, pokoknya bantal. Jangan juga bantalan rel kereta api dong!

Saat pillow talk, suami istri bisa saling mengungkapkan perasaannya, apa saja yang dijalani hari itu, rencana besok, bagaimana anak-anak, pendidikan mereka, hubungan dengan orang tua dan mertua, dan lain sebagainya. Termasuk, kondisi dompet terakhir. Apakah perlu menguras sampai ke basement dompet untuk menutupi pengeluaran bulan itu? Ups!

Mungkin pagi atau siang, suami istri tersebut marahan. Suami membentak dengan keras kepada istri. Yah, namanya juga membentak, pastilah keras. Masa membentak sambil berbisik-bisik?

Sedangkan istri mungkin marahnya dengan diam. Sebab, dia tahu, kalau ikut-ikutan membentak, maka akan kalah dengan suami.

Nah, saat istri diam karena marah ini, suami jadi serba salah. Sementara gedung yang di dekat rumahnya mungkin termasuk gedung serba guna. Suami mau bicara ke istri, dicuekin. Mau minta maaf, dicuekin juga. Lalu, solusinya? Ajak belanja ke mal saja! Haha..

Ketika mau tidur untuk menutup mata, maka usahakan untuk sudah berbaikan. Sebisa mungkin jangan sampai besok, karena besok cari marah yang lain.

Bukankah lebih enak kalau perasaan plong? Tidak ada lagi sebal, jengkel, atau yang mengganjal di hati, terus tidur dengan minyak, eh, nyenyak. Bicara minyak, mentang-mentang minyak goreng sempat langka, whehe…

Hati-hati dengan Kata “Cerai” atau “Pisah”

masalah-pernikahan-2

Apakah ketika suami marah, lalu dia mengucapkan kata “cerai”, itu langsung jatuh talak? Menurut para ulama, talak itu bisa jatuh, kalau marahnya suami dalam kondisi sadar. Artinya dia masih mengenali diri dan istrinya, dia mengerti dan paham bahwa dia sedang marah. Yang tidak jatuh adalah ketika marahnya sampai kehilangan akal atau kesadaran. Waallahu ‘alam.

Ada seorang ibu yang bertanya kepada seorang ustadz melalui telepon. Saya yang mendengarnya tidak tahu, tagihan telepon si ibu itu berapa? Yang jelas, saya tidak mau membayarnya, lah!

Ibu itu mengatakan, “Ustadz, suami saya kalau marah selalu bilang cerai. Nanti marah lagi, bilang cerai lagi. Kalau sudah begitu, apakah sudah jatuh cerai, Ustadz?”

Ustadz tersebut menyayangkan suami si ibu yang mudah sekali bilang cerai, cerai, dan cerai. Beliau juga mengatakan bahwa cerainya bisa berlaku. Bisa dianggap benar. Artinya pasangan tersebut bukan lagi suami istri saking banyaknya si suami bilang cerai.

Makanya itu, dalam kaidah agama Islam, cerai atau talak, bercanda atau seriusnya tetap terhitung. Namun, beda lho ya, kalau mengancam. Selama niat dalam hati suami tidak menceraikan, tetapi hanya mengancam, maka Insya Allah itu tidak dianggap cerai.

Baca Juga: Oh, Ternyata Berhubungan Suami Istri di Siang Hari Bulan Ramadhan Bisa Tidak Membatalkan Puasa

Ketika ada istri yang marah dan minta pisah, misalnya dengan kalimat begini, “Kita pisah, pulangkan aku ke rumah orang tuaku!”

Suami tenang saja, jawab dengan kalimat ini, “Oke, kamu pulang sana ke rumah orang tuamu, aku juga mau pulang ke rumah mertuaku!”

Nah, begitu solusinya, whahaha…

Berhenti Berharap Pasangan Memahami Kode

Ada lho, sinyal-sinyal khusus yang dikirimkan suami kepada istri atau sebaliknya dan berharap pasangannya mengerti. Contohnya tadi, istri diam. Apakah suami langsung akan tahu arti dari diamnya istri itu?

Eits, belum tentu lho! Belum tentu istrinya diam karena marah. Bisa jadi faktor lain atau sebab lain. Menahan kentut misalnya. Dia diam agar suaranya nanti menggelegar!

Begitu juga suami yang makan masakan istrinya cuma sedikit. Misalnya hanya beberapa butir nasi, itupun dihitung lagi! Halah, repot amat!

Apakah istrinya paham yang terjadi pada suami? Belum tentu juga. Apalagi nasi yang dimakan suami memang mau basi, tetapi tetap dimakan juga. Itu juga kode yang tidak jelas.

Kalau seperti itu kondisinya, bicarakan saja. Tidak usah diam-diaman, karena toh tidak menyelesaikan masalah. Istri bisa salah tafsir ke suami, begitu pula suami bisa salah transfer ke istri. Hah, salah transfer?

Membicarakan masalah dan perasaan masing-masing akan lebih meningkatkan keterbukaan suami dan istri. Masa aurat masing-masing sudah terbuka, tetapi bicara tidak terbuka? Padahal mulut itu bukanlah aurat. Kan terbalik. Ya ‘kan?

Menyampaikan isi hati melalui pembicaraan, membuat kelegaan di dalam hati. Selain itu, pasangan bisa lebih mengerti. Oh, ternyata begitu toh!

Bayangkan jika tidak disampaikan, belum tentu lho ya suami dan istri bisa telepati, walaupun si istri aslinya Pati, Jawa Tengah.

Gengsi Ditinggalkan Saja

masalah-pernikahan-3

Meskipun rumah masuk ke dalam gang, tetapi geng, lengkapnya gengsi, tetap harus ditinggalkan. Hal ini ada kaitannya dengan siapa yang duluan minta maaf. Apakah suami dulu, istri dulu, atau gengsi dulu yang harus minta maaf?

Mungkin suami gengsi mau minta maaf karena menganggap dia adalah kepala keluarga. Sedangkan istri juga gengsi karena dia yang lebih banyak disakiti, kok minta maaf duluan? Laki-laki dulu dong! Kalau sudah begitu, tidak ada yang mau minta maaf. Dan, pada akhirnya, diam-diaman masih terus terjadi, permasalahan belumlah tuntas.

Intinya, siapa yang mulai bikin salah duluan, itu yang harus minta maaf. Bukan laki-laki terus yang memulainya. Kan ada itu pandangan pokoknya istri yang mulai salah dulu atau tidak, suami yang mesti minta maaf. Kalau ada yang meminta maaf duluan, maka itu bisa terhitung niat yang baik. Insya Allah jadi pahala juga.

Pada dasarnya, apa sih yang membuat meminta maaf itu menjadi berat? Ternyata, jawabannya adalah subjudul bagian ini, yaitu: gengsi. Untunglah, gengsi tidak sampai membuat suami jadi anggota gengster, artinya bikin geng di dalam Friendster. Walah, Friendster, jadul banget medsos yang satu ini!

Awas, KDRT!

Semarah-marahnya suami kepada istri, jangan sampai ada KDRT. Sebab, KDRT ini adalah perkara yang berat! Fisik istri bisa terluka. Namun, batin istri yang lebih terluka.

Ini adalah masalah pernikahan yang termasuk paling mengerikan. Miris ada berita sampai istri babak belur dihajar suaminya. Wajah istrinya sampai membiru-biru.

Begitu juga yang diceritakan oleh Ustadz Firanda. Ada suami yang meninju muka istrinya sampai gigi istrinya copot. Gigi tersebut tidak bisa kembali, seperti mungkin cintanya yang tidak bisa kembali juga.

Baca Juga: 4 Hal Penting yang Dipelajari Anak Perempuan dari Ayahnya

Sungguh tidak pantas, ada laki-laki yang memukul perempuan. Pada dasarnya, perempuan itu lemah, tidak pantas untuk dijadikan sansak tinju. Kalau mau melampiaskan emosi, suami bisa memukul pohon pisang, lalu bilang, “Salam dari Binjai!” Walah…

Jangan Dulu Keluar!

Ini juga menjadi aturan yang semestinya dipahami oleh pasangan suami istri. Masalah dalam rumah tangga sendiri, hendaknya tidak sampai keluar dulu. Jangan dulu disampaikan ke mertua dan orang tua, baik milik sendiri maupun orang lain.

Bukankah pasangan suami istri itu masing-masing sudah dewasa? Makanya mereka menikah bukan? Apakah hanya karena usianya dianggap dewasa, lalu menikah, tetapi pemikirannya belum dewasa?

Dibicarakan dulu berdua, mungkin di dalam kamar tidur atau ruangan lain saat anak-anak sedang keluar atau tidak ada di tempat. Usahakan selesai berdua saja.

Jika tidak bisa karena masalah itu terlalu berat, baru bisa dibicarakan dengan orang yang dipercaya. Tidak harus ke mertua atau orang tua kok, tetapi mungkin itu guru pasangan suami istri, ustadz misalnya, atau orang yang dituakan. Bisa juga sahabat dekat suami istri tersebut.

Sebelum itu semua, paling pas dan cocok adalah ke Allah Subhanahu Wa Ta’ala duluan. Sampaikan semua masalah melalui doa yang khusyuk. Mencari waktu dan tempat yang mustajab, jangan malah mencari rujab, karena itu berarti rumah jabatan yang dipakai bupati dan walikota. Doa beberapa kali, maka Insya Allah solusi untuk masalah itu akan terbuka.

Aturan untuk Ditaati Atau…?

Sebetulnya masih banyak sih aturan yang tidak harus tertulis pada kehidupan suami istri. Aturan-aturan yang ada itu untuk menghindari masalah pernikahan. Paling tidak, masalah itu tidak menjadi besar sekali. Masa rumahnya kecil, sedangkan masalahnya besar melebihi rumah?

Tidak ada suami yang sempurna, begitu pula istri yang sempurna. Yang ada adalah masing-masing saling menyempurnakan. Alangkah indahnya kalau masing-masing saling mengerti. Saling memahami. Saling memberi. Karena cinta itu pada dasarnya memberi.

Sedangkan kalau meminta itu, lebih tepatnya bukan cinta, melainkan tinta. Seperti teman kantor saya yang sering meminta, “Pak, minta tinta printernya ya! Habis nih!”

Baca Juga: Alternatif Lain Menggambar Pemandangan

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

2 Comments

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.