Berbeda Karena Cinta, Bersatu Karena Cinta Pula (Resensi Novel Kambing dan Hujan)

Berbeda Karena Cinta, Bersatu Karena Cinta Pula (Resensi Novel Kambing dan Hujan)

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Membaca judulnya saja “Kambing dan Hujan”, langsung bikin kita penasaran. Apa hubungannya ya? Apakah kambing lagi main hujan-hujanan?

Sempat muncul kecurigaan, kok pakai kata “kambing”? Apakah ini semacam – apa ya – sebutan untuk orang Islam yang menegakkan sunnah dan dikatakan “kambing” itu karena berjenggot? Memang ada teman saya yang bicara ngawur seperti itu. Nyatanya sekarang, dia sudah bukan lagi pejabat, bahkan status PNS-nya pun terancam pula. Hem…

Semoga saja tidak. Novel ini saya beli waktu ada promo Mizanstore dengan nama promo 12-12. Semacam diskon besar harga buku-buku di website salah satu penerbit besar di Indonesia itu. Ternyata, memang novel lama. Buktinya, di dalamnya tercantum terbit pertama pada bulan Mei 2015.

Ternyata pula, sudah berganti kaver. Yang tadinya botol susu, sekarang menjadi jantung yang ditumbuhi pohon. Ada anak muda laki-laki dan perempuan duduk saling membelakangi. Oh, mungkin itu adalah simbol bahwa cinta mereka sulit disatukan. Okelah, kalau yang begitu memang banyak terjadi. Mungkin kamu juga pernah mengalami? Hehe…

Hubungan Muda-Mudi

Novel setebal 379 halaman ini pada awalnya menceritakan atau mendeskripsikan seorang gadis yang menunggu di sebuah terminal lama. Deskripsi tempatnya cukup lumayan. Ada warung bakso yang terkenal enaknya, dan menjadi inspirasi atau dorongan bagi pedagang lain, semacam penjual es, pulsa, topi, sandal, bensin eceran sampai dengan tambal ban.

Baca Juga: Kaum Rebahan Tetap Butuh Perubahan?

Gadis itu menunggu seseorang, lebih tepatnya seorang laki-laki. Galau. Akhirnya, yang ditunggu pun tiba. Astaqfirullah. Gadis itu langsung memeluk si pemuda. Waduh, kok begini? Padahal di tempat umum lho! Wah, bisa jadi kekurangan dari novel ini! Tapi, kita lihat atau baca yang selanjutnya.

Percakapan mereka selanjutnya adalah tentang hubungan mereka. Pembaca langsung bisa melihat bahwa si gadis itu dari kalangan NU, sedangkan yang laki-laki dari Muhammadiyah. Dua organisasi yang punya prinsip dan sikap masing-masing.

Awal Perkenalan

Perkenalan mereka berdua masih ada kaitannya dengan dunia bus. Kalau di awal novel tentang terminal, kali ini di dalam bus itu sendiri. Tapi bukan bus Tayo, lho!

Gadis yang bernama Fauzia naik bus jurusan Tuban-Surabaya. Ketemu dengan Miftah, anak Centong, RT 5 RW 2. Nurul Fauzia, nama lengkap gadis itu, diajak bicara oleh Miftah tentang keadaan desa mereka, Centong. Mirip alat untuk mengambil nasi ya kalau di Jawa? Hehe…

Ada perpisahan, maka harus ada perpisahan. Jadi, cukup sampai di sini tulisannya ya!

Lho, malah ujug-ujug berhenti? Masih jauh, Bro… Hehe…

Mungkin inilah yang banyak dialami oleh anak muda laki-laki dan perempuan ketika bertemu pertama kali dan merasa asyik satu sama lain. Mereka ingin ketemu lagi dan ketemu lagi. Begitu pula dengan Miftah dan Fauzia. Mereka bertukar alamat email, bukan nomor HP. Kalau tukar nomor HP, berarti harus lepas SIM card ya?! Kejadiannya tiga setengah tahun yang lalu, sesuai yang diceritakan di novel.

Si Miftah ini suka menulis, seperti saya, hehe. Akhirnya jadi modus, dia mengirim email ke Fauzia dengan melampirkan esainya. Kalau yang ini bukan seperti saya, lho! Tulisan tersebut bukan untuk lomba esai, apalagi untuk esai ujian sekolah.

Rupanya, oleh Fauzia, tulisan tersebut dikirim ke Jawa Pos. Berhasil dimuat! Ada honornya, lumayan. Uang itu digunakan oleh Miftah dan Fauzia untuk makan-makan. Kalau makan-makan, mestinya juga pakai minum-minum, lah. Makan tidak pakai minum, itu seret tahu!

Novel ini mengajarkan tentang pacaran, memang. Diceritakan bahwa ketika Fauzia datang ke Jogja, lokasi tempat Miftah, mereka pun jadian. Wah, merayakan pacaran mereka nih?!

Masa Mau Begitu Terus?

Mungkin karena keduanya adalah anak dari tokoh agama di Desa Centong, makanya timbul keinginan untuk tidak usah berlama-lama dalam cinta yang tidak halal. Miftah meminta untuk menikahi Fauzia kepada bapaknya. Mulai dari sini, muncul perbincangan yang cukup alot, macam kulit sandal jepitmu itu jika digigit.

Baca Juga: Renungan Penuh Hikmah Saat Mengambil Uang di ATM

Pak Kandar, bapaknya Miftah, meminta anaknya tersebut untuk berpikir lebih jauh dan jangan melihat cuma dari satu sudut kacamata. Padahal memang tidak diceritakan di novel tersebut kalau Miftah pakai kacamata lho!

Sedangkan Fauzia juga meminta kepada bapaknya, plus ibunya, untuk menikah. Nah, dari situlah misteri hubungan Pak Fauzan, bapak Fauzia dan Pak Kandar, bapak Miftah, dimulai.

Bersahabat Sejak Kecil

Antara Mat dan Is bersahabat sejak masih di SR, setingkat SD sekarang. Is pinjam buku catatan Mat untuk ujian. Mereka berdua pun lulus. Ya, iyalah, muridnya cuma sedikit kok. Mat meneruskan ke pesantren, sedangkan Is tetap tinggal di desa.

Mat meminjamkan buku-buku pesantren kepada Is, termasuk kitab-kitab berat macam Fathul Muin. Kitab tersebut dibawa oleh Is sambil menggembalakan kambing. Padahal santri ketika membacanya mesti wudhu dan duduk takzim. Beda memang dengan Is.

Beda Pemahaman

Ada yang berbeda dari segi memahami Islam antara Is dan Mat. Is ikut dengan Cak Ali, Gus Dul dan Lik Manan. Menawarkan gerakan pembaharu terhadap praktek keagamaan di Desa Centong.

Is dan beberapa temannya masih ikut di masjid milik masyarakat Centong. Namun, namanya saja ikut gerakan pembaharu, mereka mau tampil beda. Nah, timbul keributan waktu Pak Modin menyenggolkan lututnya dengan cukup keras ke kepala Is hingga menghantam Gus Dul. Gara-gara Is tidak sholat setelah adzan, tetapi sebelum khotbah dimulai. Sampai sekarang, kalau ada orang yang sholat begitu, saya tidak tahu namanya. Begitu juga kamu ‘kan? Apa coba nama sholatnya itu?

Gus Dul pun membalasnya. Ketika Pak Modin rukuk, Gus Dul mendorongnya. Kacau. Jelas orang tua tersebut tidak terima. Ribut pun terjadi di dalam masjid ketika sholat Jum’at. Is dan Gus Dul dibawa ke kantor desa. Sempat akan dibawa ke polsek, tetapi tidak jadi.

Kejadian di masjid tersebut membuat Is dan Cak Ali menjadi terusir dari masjid, termasuk komplotan mereka. Namun, mereka masih membuat ulah. Hal ini dilakukan Suyudi dan beberapa teman yang mencuri tongkat khatib Jum’at dari mimbar, lalu dipakainya untuk menghalau kambing. Menurut keyakinan di situ bahwa tongkat tersebut perlu dipegang oleh khatib ketika membawakan khotbah.

Kondisi yang tidak menyenangkan tersebut mulai mendapatkan titik cerah setelah ibunya Cak Ali, Bu Tayamun, merelakan sebidang tanah kosong untuk dimanfaatkan. Cak Ali dan kelompoknya berencana untuk membangun masjid. Kesempatan bagi mereka untuk bisa menampung pemahaman yang berbeda dengan mayoritas masyarakat Centong dalam masjid sendiri.

Pencurian dan Kesyirikan

Sebelum masjid jadi, sudah muncul masalah. Bahan-bahan bangunan yang dikumpulkan untuk membangun masjid malah dicuri orang. Siapa pelakunya? Ada saksi yang mengatakan bahwa pencurinya adalah warga dari Desa Macanan. Buktinya papan-papan tersebut dibawa ke sana. Desa tersebut memang terkenal sebagai desa maling. Wah, repot juga kalau harus mencari sampai ke sana!

Muncul solusi berikutnya dari Lik Manan, yaitu: menebang pohon mahoni besar di ladangnya. Pohon tersebut sering dijadikan tempat sesajen, alias jadi sarana kesyirikan. Untuk ini, ibaratnya guru kencing berdiri, dua tiga pulau terlampaui. Eh, kok malah ini sih peribahasanya? Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Nah, itu kamsudnya!

Baca Juga: Sepertinya Masuk Surga Lebih Mudah Daripada Masuk PNS

Saat dilakukan penebangan, ternyata tidak langsung jatuh. Diduga karena jin-jin di pohon itu yang tetap bertahan. Cak Ali menyuruh Is untuk menemui dan menjemput Pak Guru Mahmud, yang punya pengalaman dengan hal-hal absurd semacam itu. Berkat pak guru tersebut, ditambah dengan Is serta kawan-kawannya, pohon berhasil tumbang.

Pelatihan Keamanan Masyarakat

Ketika itu, muncul pemberontakan Gestapu. Berarti setting waktu dalam novel ini sekitar tahun 1965. Setelah pemberontakan itu gagal, tentara mengajak masyarakat untuk memperkuat keamanan dengan memberikan pelatihan mirip militer. Kepala desa mengajukan Cak Ali.

Tak diduga, Cak Ali berprestasi dan moncer dalam karier pelatihan tentaranya. Dia menjadi komandan peleton (danton) terbaik sekecamatan sampai ikut pelatihan tingkat provinsi di Madiun.

Jaringannya makin luas. Alhasil proposal pembangunan masjidnya pun mudah saja mendapatkan dana. Namun, namanya pemahaman yang berbeda dengan mayoritas warga Centong, maka masjid tersebut terus dihadang dan ditekan. Masjid yang berada di kawasan utara desa itu sering disebut masjid utara, sedangkan masjid yang lama disebut masjid selatan.

Makin Meruncing

Gerakan Cak Ali, Gus Dul dan Lik Manan, ditambah Is di dalamnya makin menggelisahkan masyarakat. Oleh karena itu, kalangan masjid selatan menjemput Mat dari pesantren oleh bapaknya dan Pak Kamituwo. Ini sih ibarat mengeluarkan petarung dari kandangnya. Siap diadu untuk menghadapi Cak Ali dan kawan-kawannya. Sosok Mat dianggap pantas sebagai penggerak dan pendobrak masyarakat menghadapi gerakan pembaharu.

Sebelum Mat bertemu dengan Is, terjadi keributan di sebuah acara pertunjukan wayang. Cak Ali sudah meminta agar dipisah antara penonton laki-laki dan perempuan demi menghindari maksiat. Namun, ada Mujibat yang berbuat onar. Dia masuk di barisan penonton perempuan.

Cak Ali memukuli Mujibat yang dalam kondisi mabuk itu. Baku hantam tidak dapat dihindarkan. Masalah tersebut dibawa sampai ke pengadilan. Namun, malah Mujibat yang kena hukuman. Ada yang mengira bahwa itu karena jaringan pertemanan Cak Ali yang luas hingga dia selamat dari pesakitan. Entahlah, Is juga tidak tahu.

Mat yang mempunyai nama Fauzan serta Is yang nama lengkapnya Iskandar pun bertemu di Gumuk Genjik, sebuah tempat, semacam hutan atau kebun, tempat mereka sering bertemu dulu waktu kecil. Terjadilah perdebatan dan ngotot dengan pemahaman masing-masing.

Perkembangan cerita terus terjadi. Fauzan diberikan kepercayaan untuk mengajar di sekolah milik NU. Agar lebih lancar, dia mengajak Iskandar. Namun, Iskandar belum pernah memberikan jawaban “iya” sampai saat ini.

Kehilangan Permata Hati

Iskandar menikah dengan Sriyatin, adik seorang laki-laki bernama Anwar. Sedangkan Anwar menikahi adiknya Fauzan. Iskandar punya anak bernama Hafid. Oleh Anwar, anak tersebut sering dibawa. Lucu dan menggemaskan sekali.

Fauzan dan istrinya langsung jatuh cinta dengan anak tersebut, sementara mereka sendiri belum dikaruniai anak. Namun, cinta mereka kepada anak itu tidaklah lama. Hafid kena muntaber. Fauzan menyarankan agar Hafid dirujuk ke rumah sakit di Bojonegoro. Iskandar menolak. Akhirnya Hafid meninggal dunia.

Baca Juga: Fenomena Anak Kecanduan Game Online

Fauzan dan istrinya sangat merasa kehilangan. Sementara Iskandar makin meruncing hubungannya dengan sahabatnya tersebut. Apalagi Iskandar menyadari kenyataan bahwa Fauzan menikah dengan Hidayatun yang dulu pernah disukai oleh Iskandar. Bahkan, saking sukanya, Iskandar pernah mengirim surat-surat kepada Hidayatun, meski akhirnya ketahuan oleh Pak Kamituwo, bapaknya.

Suasana Ramadhan dan Idul Fitri di Centong

Perbedaan antara masjid utara dan selatan makin terlihat ketika bulan Ramadhan tiba. Mulai dari jumlah rakaat sholat Tarawih, membaca bacaan niat dalam sholat, niat sebelum puasa esok harinya sampai dengan metode penentuan tanggal 1 Syawal.

Dalam cerita tersebut, muncul dua hari raya di Centong. Perbedaan waktu 1 Syawal terjadi. Masjid utara yang menerapkan metode hisab, lebih dulu berhari raya. Sedangkan masjid selatan, besoknya.

Miftah melakukan kunjungan ke rumah Pak Fauzan setelah dia merayakan Idul Fitrinya, berarti hari kedua Idul Fitri Miftah. Rupanya disambut dengan cukup baik, meski bertemu dengan Fuad, yang memang tidak menghendaki atau menyukai Miftah. Dia pernah mengajukan temannya untuk menjadi istri Fauzia, tetapi ditolak oleh Fauzia sendiri.

Pada bagian ini, lebih ditekankan kepada sosok Pakde Anwar. Awalnya dia bersama Pak Iskandar adalah pentolan di masjid utara. Namun, karena dia menikahi orang masjid selatan, maka dia dianggap pembelot. Di masjid utara, dia tidak disukai oleh Suyudi, sedangkan di masjid selatan, Wahab yang tidak menyukainya, karena tidak benar-benar menerima Anwar.

Atas dasar itulah, Anwar pindah ke Brunai Darussalam untuk mengurus masjid di sana. Saat merasa sudah tua, dia kembali lagi ke Centong dan ingin meninggal di sana saja.

Puncak Konflik

Sebenarnya, Miftah hampir dijodohkan dengan cucu dari Mbah Mahmud, guru sekolah dan mengaji Pak Iskandar. Si Mbah merasa gagal karena muridnya ingin dijadikan menantu.

Pak Nasrullah sebagai anak dari Mbah Mahmud merasa harus melaksanakan mandat atau amanat dari bapaknya. Dan, dia menemukan sosok yang cocok pada diri Miftah. Tidak mungkin ‘kan Pak Iskandar disuruh untuk menikah lagi? Coba seandainya ceritanya begitu ya? Pasti lebih seru nih!

Pak Nasrullah pun datang menawarkan anaknya, Diah, kepada Miftah. Laki-laki itu jelas tidak mau sebab di hatinya cuma ada Fauzia. Fokus pada satu gadis saja, tidak berganti-ganti hati. Nah, ini yang bagus, sama sekali tidak ada bakat jadi seorang playboy.

Miftah menolak dengan mengajukan alasan bahwa dia adalah editor dari buku-buku seputar komunis. Dia mencoba untuk menakut-nakuti Pak Nasrullah agar tidak mengambilnya sebagai menantu.

Suatu kali, Miftah ditawari untuk berpartisipasi di Karang Taruna. Dalam sebuah pertemuan antara orang tua dengan anak muda, hadir pula Fuad. Masih ingat ‘kan kalau Fuad ini kakak Fauzia?

Nah, si Fuad ini biang keroknya. Dia memanas-manasi situasi dengan mengatakan Miftah itu komunis gara-gara buku-buku komunis yang dieditnya. Masa kesimpulannya cethek begitu sih?

Akhirnya terjadi perkelahian sengit antara Miftah dan Fuad. Miftah berani juga melawan laki-laki yang lebih tua usianya. Mereka dilerai. Keributan di rumah masing-masing keluarga. Para tetangga menengok keadaan masing-masing. Apakah akan berakhir di jalur hukum?

Solusi pun diambil. Pakde Anwar merasa inilah kesempatan besar untuk mendudukkan antara Pak Fauzan dengan Pak Iskandar. Anwar menyoroti hubungan dua sahabat itu yang sekarang sudah jadi musuh. Tidak bertegur sapa selama 30 tahun. Padahal dahulu seperti saudara. Meski terpisah secara fisik, surat-surat mereka menandakan bahwa keduanya saling memiliki dan tentu saja, saling menyayangi.

Anwar menyoroti bahwa apakah keduanya akan membiarkan anak-anaknya bertengkar terus? Apakah mereka akan membiarkan masalah di masa lalu menjadi masalah pula bagi anak-anaknya? Apakah mereka tidak berpikir bahwa Miftah dan Fauzia punya niat untuk menyatukan hubungan keluarga itu kembali?

Gumuk Genjik

Saya menyukai pada bagian ini. Pak Fauzan dan Pak Iskandar bertemu kembali di Gumuk Genjik. Mereka mengawalinya dengan rokok, meskipun ada yang didera asam urat.

Mereka mengobrol ke sana ke mari, termasuk pada hubungan antara Miftah dan Fauzia. Mereka berbicara dengan akrab kembali, berpelukan, sampai menangis, karena rasa persahabatan mereka yang sebenarnya sangatlah dalam. Saya juga sangat terharu karena keduanya memang tidak terpisahkan, sebetulnya. Hanya karena pemahaman yang berbeda, satunya Muhammadiyah, satunya NU, kok malah akhirnya jadi renggang sekali?

Ending Cerita

Menurut saya, novel ini mempunyai happy ending. Seperti apa happy endingnya itu? Lebih bagus, kamu sendiri yang baca novel ini deh! Apalagi buku ini adalah pemenang sayembara novel DKJ tahun 2014. Penghargaan lainnya adalah Karya Sastra Terbaik 2015 versi Jakartabeat dan Buku Terbaik 2015 versi Mojok.co. Hebat dan luar biasa. Cocok memang dengan isi novel yang tidak sekadar menawarkan cinta dengan model begitu-begitu saja.

Membaca novel ini mengingatkan kita bahwa segala perbedaan dalam agama itu akan selalu ada, asalkan cuma di tataran fiqih lho! Hal yang jadi masalah jika perbedaan itu dari segi aqidah. Misalnya, yang satu mengatakan Allah di atas arsy, satunya mengatakan Allah itu di mana-mana. Contohnya, yang satu tidak percaya adzab kubur, satunya percaya. Kalangan yang tidak percaya adzab kubur sekarang sudah dibubarkan organisasinya. Kamu pasti tahu deh!

Hal-hal yang gaib itu adalah termasuk perkara aqidah. Jangan sampai ada perbedaan. Para imam mazhab saja berbeda dari segi fiqih kok, tetapi Alhamdulillah, mereka tidak berbeda dalam pemahaman aqidahnya. Dalam memahami tauhid di agama Islam yang mulia ini.

Perbedaan memang bukanlah rahmat dari Allah sebagaimana yang didengungkan oleh para penceramah itu, karena Allah menghendaki agar umat ini bersatu. Namun, seandainya ada perbedaan dalam tata cara beribadah, selama masing-masing ada dalilnya, jelas bukan masalah. Misalnya, yang satu pakai qunut ketika Subuh, satunya tidak. Satunya mau sujud tangan dulu, satunya lutut dulu, juga tidak masalah.

Hal yang tentu saja jadi masalah kalau orangnya tidak sholat! Ini dia biang masalahnya. KTP-nya Islam, tapi disuruh sholat ogah-ogahan. Lho, bukankah sholat itu adalah ibadah yang pertama kali akan dihisab nanti di hari kiamat? Kalau sholatnya amburadul, masa mengharapkan amalan lain jauh lebih baik? Hem, ngimpi kali yeee…!

Luar biasa dan salut untuk penulis buku ini. Nilai-nilai positif yang ada semoga bisa bermanfaat untuk pembaca dan masyarakat pada umumnya, kekurangannya janganlah diambil. Jangan karena perbedaan organisasi, lalu menjadikan kita berpecah-belah. Memangnya barang di supermarket? Barang pecah-belah?

Baca Juga: Menciptakan Masjid Ramah Anak: Dua Kisah Nyata

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.