Meninggal Dunia di Hari Jum’at, Mau Seperti Itu?

Meninggal Dunia di Hari Jum’at, Mau Seperti Itu?

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Kemarin, saya menerima sebuah kabar duka. Mantan atasan saya meninggal dunia di hari Jum’at, jam 06.50 WITA, di Kendari.

Namanya adalah Pak Nasarudin. Beliau menjadi atasan saya mulai dari tahun 2011 sampai sekitar tahun 2013. Waktu saya belum menikah, beliau sudah jadi bos saya. Dan, beliau pula yang membantu pernikahan saya.

Tidak Cuma Menyuruh Kerja Terus

Kamu masih ingat slogan kerja, kerja, kerja? Siapa yang mempopulerkan? Wah, tidak usah dijawab pakai lisan, cukup dalam hati saja ya!

Slogan tersebut memang bagus sih. Positif sebenarnya. Namun, masih ada yang kurang di situ. Kerja terus, kapan istirahatnya? Kerja terus, kapan berdoanya? Dan, kerja terus, kapan menikmati hasilnya?

Bila mengacu kepada istilah bos dan bawahan, memang kedudukannya tidak sama. Antara atasan dan bawahan jelas tidak sederajat. Meskipun antara bawahan dan atasan bisa jadi satu tempat di pasar Tanah Abang. Halah. Katanya, di sana atasan dijual sepuluh ribu saja. Halah lagi.

Kalau bos yang bagus memang menyuruh anak buahnya untuk bekerja. Itulah sebuah kewajiban. Nanti, si bos akan memberikan upah atau gaji kepada bawahannya itu. Jika PNS, ya, dari negara. Bos cuma tanda tangan pencairannya.

Baca Juga: Renungan Penuh Hikmah Saat Mengambil Uang di ATM

Namun, jarang ditemukan ada bos yang mengingatkan tentang pentingnya sholat. Bahkan, untuk dirinya sendiri saja, belum tentu begitu. Masih banyak kok bos yang ketika waktu sholat, masih asyik bekerja. Membiarkan dirinya tidak sholat, apalagi mengajak orang lain sholat juga. Jarang sekali.

Langka ada bos yang begitu. Waktu bawahannya bekerja, “Ayo, kita sholat dulu!” Kalau kamu menemukan yang seperti itu, bersyukurlah. Meskipun gaji atau upahmu kecil di situ, tetapi adanya bos yang peduli dengan urusan agama, sudah menjadi kebahagiaan yang luar biasa.

Namun, jangan sampai juga ada bos yang malah terlalu semangat ajak sholat. Baru jam sepuluh pagi, sudah bilang, “Ayo, kita sholat Dzuhur!” Atau malah pas hari Kamis, mengajaknya, “Yuk, persiapan sholat Jum’at!” Jika ada bos begitu, coba periksa suhu tubuhnya.

Bos atau atasan seperti Pak Nas, sebutan akrabnya untuk Pak Nasarudin. Gelarnya adalah S.Pd alias sarjana pendidikan. Namun, beliau terakhir bukanlah guru. Sudah pindah ke jabatan struktural. Apakah bisa? Jelas bisa, kalau sesuai prosedur, urus sana-sini dan ada pengesahannya.

Biasanya, waktu kerja memang melewati adzan Dzuhur maupun Ashar. Apalagi jika memang kerja kantoran, dua sholat itu selalu masuk waktunya. Jarang yang sampai lewat sholat Maghrib, Isya, apalagi Subuh, kecuali pas lembur. Itupun lembur, masa sampai Subuh juga? Rajinnya di kantor itu!

Nah, ketika adzan, bos mendatangi bawahannya, mengajak ke masjid, Pak Nas sudah seperti itu. Bahkan, ketika dulu saya bekerja di kantor yang belum ada masjid di sekitarnya, dibuat musholla kecil di gudangnya.

Tidak cuma sholat berjamaah yang ditegakkan, tetapi juga sedikit kajian setelahnya. Antarpegawai bisa saling akrab dan tampak tidak ada jarak. Lha wong jadi satu shaf kok. Masa mau dipasang papan di alasnya, ini untuk pejabat ini, pejabat itu, staf ini dan staf itu? Allah saja tidak membeda-bedakan seperti itu kok, hanya melihat iman dan takwanya.

Mengingatkan akan akhirat itu perkara yang sangat penting. Buat apa sih kerja terus di dunia ini? Ujung-ujungnya ke mana sih? Kan mati juga toh? Meninggal juga ‘kan?

Gaya kepemimpinan dengan berorientasi akhirat itulah yang membekas dalam diri setiap anak buahnya. Sebab, pembawaan bos yang peduli agama, biasanya akan tampak pula dalam manajemen kantor. Hak pegawai diperhatikan, lebih adil dan tidak mau ada kesewenang-wenangan.

Jarang terpikir sampai ada korupsi jika bosnya beragama secara bagus. Meski, ada pula seorang teman yang mencibir. Ketika ada seorang dosen dari perguruan tinggi Islam, kok bisa korupsi. Dia bilang, Mas, masa sudah sholat saja kok bisa korupsi? Waktu itu, saya ingin mengatakan: “Yang sholat saja bisa korupsi, apalagi yang belum sholat, Bambang…”

Untunglah namanya bukan Bambang.

Perjalanan Dinas

Sebagai seorang PNS, Pak Nas memang bisa menjadi contoh juga. Beliau adalah orang yang bersama saya melakukan perjalanan dinas pertama kalinya ke Jakarta. Ingat lho ini, perjalanan dinas, bukan perjalanan biasa. Kalau yang biasa sih, saya sudah sering ke Jakarta, dulunya, waktu kecil.

Ketika perjalanan dinas adalah momen untuk menambah penghasilan. Apalagi kalau bukan caranya dengan memalsukan bill hotel? Menempati hotel yang murah, lalu cari nota hotel dengan tarif lebih mahal. Atau, sekamar dengan orang lain, lalu cari nota sendiri-sendiri.

Baca Juga: Sepertinya Masuk Surga Lebih Mudah Daripada Masuk PNS

Itulah kerjaan sebagian PNS, dan justru sebagian besar mungkin. Kesempatan mendapatkan uang lebih itu alasannya sih untuk beli oleh-oleh, beli inilah, itulah, atau malah larinya ke hal-hal negatif. Misalnya, main perempuan. Ada juga lho yang begitu!

Bahkan, ada juga yang sedang menjabat, dia bangga menggunakan perempuan pelacur. Bahkan sampai dua katanya. Waduh, yang begini bisa susah tobatnya itu! Menceritakan aib sendiri ke orang lain. Lah, menceritakan amal kebaikan sendiri saja bisa dikhawatirkan berbuah dosa karena riya kok, ini malah dosa. Tepuk jidat deh!

Namun, Pak Nas, lagi-lagi memang berbeda. Beliau memang menempati kamar hotel yang sesuai dengan golongannya. Terus, dapat uang lebihnya dari mana? Ya, uang saku saja yang didapatkan. Itulah yang dipakai untuk beli oleh-oleh. Atau mestinya memang ada penghasilan lain, lah, di luar atau selain gaji. Jadi PNS jangan jadi terlihat misqueen banget, lah yauw!

Ketika dulu saya ikut dengan beliau, kamarnya memang sekitar harga 600 ribuan. Dan, beliau memilih hotel yang dekat dengan masjid, tepatnya Masjid Istiqlal. Sholat berjamaah di masjid hanya jalan kaki. Dekat, enak.

Begitu juga ketika saya bertemu kembali beliau, waktu itu sekitar tahun 2013 kalau tidak salah dan beliau bukan lagi atasan saya, mengajak sholat juga untuk Subuh. Hotel kami di kawasan Mangga Besar, jadi ke Masjid Istiqlal naik ojek saja.

Jadi, perkara mengajak sholat memang tidak cuma Dzuhur dan Ashar saja ketika di kantor bersama. Pokoknya, asal ada waktu sholat, diajak. Bahkan untuk Subuh yang notabene orang segan untuk membangunkan temannya. Apalagi yang temannya itu rajin begadang seperti kelelawar. Tahan melek malam, tapi siangnya kuat merem.

Kiranya Memang Pantas Seperti Itu

Seorang ustadz di sebuah tivi sunnah, dalam hal ini adalah Rodja TV, mengatakan bahwa memang orang yang meninggal dunia di hari Jum’at bisa mendapatkan keutamaan bebas dari adzab kubur.  Ada juga orang kafir yang meninggal pada hari Jum’at. Ada juga pezina dan pelaku dosa besar lainnya.

Meskipun begitu, meninggal dunia di hari Jum’at memang sudah masuk persepsi bahwa yang mengalaminya adalah orang baik. Istri teman saya, ustadzah di pesantren, meninggal juga ketika hari itu, setelah Ashar, yang merupakan waktu mustajab untuk berdoa. Waktu beliau meninggal, seluruh penghuni pesantren menangis tersedu-sedu. Wajar karena perasaan perempuan memang lebih halus.

Bagi saya, orang yang meninggal dunia di hari Jum’at memang orang yang orientasinya adalah agama dan agama. Sering berdakwah dan pikirannya memang ingin kebaikan bagi orang lain. Pak Nas adalah aktivis di BKPRMI atau Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia.

Selain itu, beliau juga aktif di Jamaah Tabligh. Jadi, kepeduliannya terhadap dakwah memang tidak perlu diragukan lagi. Tahu sendiri ‘kan bagaimana Jamaah Tabligh itu?

Hal yang sangat jelas, beliau sudah meninggal. Dan, tidak perlu saya ceritakan apakah saya menangis kehilangan beliau atau tidak? Awalnya, beliau memang akan dimakamkan di sini, tempat kelahirannya. Namun, karena wabah Corona ini, dimakamkan saja di Kendari sana.

Selamat jalan Pak Nas, selamat berpisah. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerima segala amal kebaikan Anda, mengampuni segala dosa Anda dan menempatkan Anda di tempat yang tertinggi di surga Allah kelak. Aamiin.

Saya menulis seperti ini memang karena kita semua bakal mati juga. Tidak ada orang yang tidak mati. Mustahil ada orang hidup abadi di dunia ini. Lha wong dunia ini nantinya akan hancur juga kok.

Kira-kira Bagaimana Ya?

Seringkah kamu berpikir tentang kematian itu sendiri? Misalnya, orang yang habis meninggal, itu akan dibawa ke mana dan bagaimana keadaannya? Dia ngapain aja di sana atau diapain aja di sana?

Itulah yang pernah saya pikirkan waktu di Kendari. Ketika ada istri teman yang meninggal, waktu itu saya berada di sebuah hotel tua di Kendari, saya melihat ke gedung-gedung ruko di seberang. Kira-kira bagaimana keadaan dia di sana?

Ada kejadian lumayan lucu waktu dulu kuliah. Kakak angkatan bercerita tentang orang yang sudah meninggal. Lupa, apakah termasuk keluarganya atau tidak? Awalnya, dia cerita bahwa orang tersebut sakit keras. Karena saya tidak terlalu memperhatikan, saya bilang, apakah dia sudah sehat?

Rupanya dia malah jadi kaget. Itu sudah meninggal, Mas! Dia kira-kira bilang begitu. Oalah, sudah meninggal. Tinggal kutanyakan lagi yang berikutnya, “Tapi di sana dia sehat-sehat saja toh?” Dia jadi tambah kaget.

Nah, kalau bicara tentang pentingnya persiapan menjelang kematian memang mudah. Tinggal omong, tinggal tulis saja gampang. Akan tetapi, melakukannya, itulah yang lebih penting. Apalagi berharap meninggal dunia di hari Jum’at. Tidak mudah, di tengah godaan dan fitnah yang luar biasa, seperti sekarang ini.

Semoga saya dan kamu semua dilindungi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Saya lebih suka menuliskan Allah seperti itu, jangan disingkat SWT. Memangnya SWT kalau dibaca utuh seperti itu, tahu seperti apa? Tidak bagus dan tidak berakhlak untuk Allah toh? Nah, itu tahu sendiri. Hehe…

Baca Juga: Kebiasaan Baru Karena Virus Corona

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.