Kritis yang Lebih Kritis

Kritis yang Lebih Kritis

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Pada penerimaan raport yang lalu, kami orang tua murid SD dikumpulkan di masjid. Kami mendapatkan pencerahan dari bukan ibu kepala sekolah, melainkan tokoh penting di sekolah itu.

Meskipun cuacanya sangat cerah waktu itu, kami tetap mendapatkan pencerahan. Tidak apa-apa, toh yang cerah bisa makin cerah. Sedangkan baju saya juga ada cerahnya di bagian leher, halah.

Metode Penyampaian

Sekolah anak saya yang kelas 3 itu di SD IT Al-Wahdah Bombana. Berada di bawah naungan Yayasan An-Nur Wahdah Islamiyah, Bombana juga. Sekolah ini berbasis Islam, berakreditasi B kalau tidak salah. Termasuk sekolah swasta, tetapi saya anggap sekolah negeri juga, maksudnya berada di negeri Indonesia.

Saya agak kaget waktu itu. Sebab, kok tidak biasanya ada penyampaian dari tokoh sekolah yang notabene bercadar? Seorang ibu yang punya banyak kesibukan. Tidak hanya bekerja di sekolah tersebut, tetapi juga di RSUD Bombana. Selain itu, amanah di dakwah juga tidak kalah sedikit, eh, banyaknya.

Kagetnya kenapa? Soalnya baru kali ini ada perempuan bercadar yang tampil di depan dan bicara di depan umum di sekolah tersebut. Biasanya sih perempuan ya ke sesama perempuan. Tapi ini kok ke laki-laki juga?

Saya tetap hadir di situ, mendengar penjelasan dari ibu-ibu tersebut. Gaya bicaranya memang berapi-api meskipun dia pasti tidak sedang bawa korek api, apalagi bawa kompor gas. Meledak-ledak, mirip orator.

Wuih, ini cukup luar biasa! Tidak menyangka saja di balik sosoknya yang saya kenal baik dan lembut, tersimpan gairah perjuangan yang trengginas!

“Bapak dan Ibu, mohon anak-anaknya dijaga! Harus menjaga sholatnya! Harus hormat sama orang tua!” Begitulah kira-kira ucapannya yang sangat bersemangat.

Saya di situ merasa sedang dimarahi, deh. Kami orang tua bagaikan anak-anak yang dimarahi orang tuanya. Begitu saya merasa. Tapi, ya, sabar-sabar saja, tidak keluar masjid juga, apalagi sampai keluar negeri. Belum ada uang.

Beberapa jam setelah acara selesai, saya menghubungi ibu tersebut. Saya sampaikan lewat WA bahwa gaya bicaranya memang menggelora. Ternyata, dia malah merasa grogi ada saya di situ. Saya dianggap tukang kritik dan tukang protes, mungkin dalam musyawarah atau rapat-rapat khusus bersama dia. Jangan sampai dia dikritik habis oleh saya. Wah, saya pun membalas, “Ternyata, persepsiku seperti itu ya, Bu?” Haha…

Pada Dasarnya

Saya bicara sekarang dalam konteks musyawarah atau rapat. Kalau ada orang yang suka mengkritik, pada dasarnya orang itu sedang berpikir. Ya, coba lihat dan rasakan saja, yang berkomentar atau menanggapi tidak akan mungkin semua orang yang hadir bukan? Mungkin hanya beberapa orang.

Mengkritik memang tidak selalu harus dipandang negatif. Bisa jadi positif, apalagi setelah ada tes PCR. Tes PCR itu bukan berarti tes PACAR lho. Sebab, banyak yang mengatakan pacaran itu setelah pernikahan. Namun, ada juga yang mengatakan, baru punya pacar setelah menikah. Waduh, itu namanya selingkuh dong!

Memang sih, kritikan itu kadang kala pedas. Coba cek orangnya, mungkin dia mengenakan karet gelang dua. Bukankah kita kalau beli nasi goreng pedas dibungkus karetnya dua, iya ‘kan?

Kalau kita tersinggung dengan kritikan orang, apalagi ini dalam konteks pertemuan, rapat, maupun musyawarah, maka sejatinya kita belum siap untuk bermusyawarah atau mengutarakan pendapat kita. Bagaimanapun lisan ini, baik berupa langsung lewat mulut maupun tulisan, ketika sudah lepas, maka bisa jadi akan sulit kita kendalikan. Tidak akan mungkin kita memasukkan kembali suara ke dalam mulut. Kalau sudah terjadi dan itu menyakiti orang lain, maka tentu saja minta maaf adalah jalan terbaiknya.

Dalam blog Bu Ditta dengan alamat https://dittawidyautami.blogspot.com/2022/01/masih-dipandang-sebelah-mata.html, saya melihat judulnya, ini melihat dengan sebelah mata, apakah kelilipan? Atau kemasukan debu? Semoga saja bukan begitu ya?

Beliau mencontohkan orang hebat Islam, yaitu: Uwais al-Qarni dan Julaibib. Memang merekalah yang terkenal di langit, sedangkan di bumi tidak terlalu terkenal saat itu. Nyatanya, sekarang di bumi pun mereka terkenal karena mencetak sejarah mulia yang sangat mengagumkan.

Kini orang berlomba-lomba untuk mencetak sejarah, padahal saat pelajaran Sejarah dulu, mungkin malah membolos. Sejarah yang baik tentu saja akan menjadi amal jariyah. Sementara yang buruk akan menjadi dosa jariyah. Naudzubillah min dzalik.

Sebuah Tanda

Tadi saya sebut bahwa orang yang suka mengkritik itu bisa dalam konteks pertemuan. Lebih bagus memang pertemuan di kalangan manusia, masa mau ikut pertemuan para jin? Buat apa coba?

Seharusnya, mengkritik itu mencantumkan sekaligus solusinya. Namun, tidak selalu juga sih ada solusinya. Bisa saja yang harus mencari solusi adalah yang memunculkan pertama kali. Dialah yang menampung segala kritik, kripik, saran, dan tempe mendoan.

Adapun terlalu kritis juga berbahaya lho! Bayangkan saja, tidak ikut musyawarah kok terlalu kritis, akhirnya ‘kan malah dibawa ke rumah sakit. Kalau sudah kritis semacam itu, berpendapat akan sangat susah. Yang dipikirkan adalah bisa sembuh secepatnya, meskipun kondisi bisa jadi sulit untuk terwujud.

Pada intinya, menyampaikan pendapat itu sah-sah saja dan dijamin di negara ini. Akan tetapi, pendapat yang bagaimana dulu? Apakah ditampilkan dengan nada yang kasar, kejam, dan mengerikan? Kalau hal itu dilakukan, maka tidak akan dicapai sebuah solusi.

Bukankah ketika kita rapat, pertemuan, atau musyawarah itu untuk mencari solusi? Jika pertemuan bersama hanya memecah-mecah hati hingga piring nasi, lalu buat apa bertemu?

pantun-bale

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

21 Comments

  1. Ahahaha… menghibur banget tulisan Mas Rizki ini. Selalu dech. Tp ada pesan seriusnya juga lho. Keren dech!!

  2. Hihihi, tenang Mas Rizky. Bukan karena kelilipan kok. Wkwkwk

    Tulisan yang luar biasa. Sepakat bahwa biar bagaimanapun kita harus menjadi pribadi yang siap dikritik. Terlebih bila kita terlibat dalam berbagai kegiatan, pertemuan, dsb.

    Saya sebetulnya senang kalau ada yang mengkritik. Terlebih bila yang mengkritisi saya memang sudah kompeten di bidangnya. Nah kan saya jadi dapet ilmu dari kritikannya. Ia toh?

    Tapi terkadang, ketika hati belum siap, memang jadi mumet rasanya ya. Xixixi. Bukan salah mereka, hanya hati saya saja yang sedang gersang. Aiiir mana aiiir?

    Nice post pokoknya πŸ‘πŸ»

  3. Orang tua dimarahi oleh orang tua. Seimbang Pak. Daripada orang tua dimarahi anak-anak. Semoga tidak.

  4. Saya sangat suko humornya yang terselip di setiap paragraf
    …..bikin kantuk.hilang. saya.jadi membayangkan saat menulis naskahnya ….satu paragraf tarik napas kasih humor …..satu paragraf begitu lagi ……jangan sampai kehabisan napas lho…..disini oksigen mahal dan langka. … hehehe. Jadi ikut senyum. Maaf Bung Rizky meniru gaya tapi belum bisa.

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.