Manusia yang Menjadi “Sial” Karena Media Sosial?

Manusia yang Menjadi “Sial” Karena Media Sosial?

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Siapa manusia yang tidak punya media sosial sekarang? Sepertinya cuma orang yang sudah meninggal yang tidak lagi punya media semacam itu.

Ada begitu banyak media sosial atau singkatannya adalah medsos yang kita kenal. Mungkin di antara kita ada yang mempunyai semua akun di HP-nya. Yah, kalau HP mahal sih tidak masalah punya akun banyak. Bahkan misalnya di Facebook punya lebih dari satu juga tidak masalah. Tapi, buat apa banyak-banyak ya? Apa tidak mencurigakan itu? Hehe..

Selain manfaat positif dari medsos, tentu saja yang negatif juga tidak sedikit. Sudah terlalu banyak kita tahu dan kenal yang negatif semacam itu. Silakan buka saja di Google dan cari berita-berita yang banyak tersebar. Pada tulisan ini, memang akan lebih banyak mengungkap yang negatif tersebut. Atau minimal yah, fenomena unik yang betul-betul terjadi dalam jagat permedsosan kita.

Parah pada Medsos

Sebegitu parahkah media sosial (medsos) sekarang? Padahal awalnya untuk berkomunikasi, sosialisasi, dan membangun hubungan yang luas, tetapi kok jadi amburadul begini? Apakah kamu merasakan hal yang sama dengan saya?

Apa saja jenis amburadul dan penjabarannya, diungkapkan dengan cukup jelas, lengkap, tetapi menggelitik pula dalam buku yang ditulis oleh Iqbal Aji Daryono ini. Beliau adalah seorang penulis di sejumlah media online, guru menulis (beliau punya kelas online sendiri dan saya salah seorang pesertanya), dan seorang praktisi medsos penuh waktu.

Dalam buku dengan cover evolusi manusia khas bikinan Charles Darwin itu, justru diplesetkan di ujungnya. Awalnya dari monyet, manusia purba, hingga manusia yang berpakaian modern sambil selfie lewat gadget atau gawainya. Menggelikan bukan?

Judul buku ini adalah “Sapiens di Ujung Tanduk”. Ditulis dengan apik oleh Iqbal Aji Daryono. Diterbitkan oleh Bentang, mempunyai tebal 159 Halaman, terbit pertama kali pada April 2022.

Ada 30 hal yang dikupas oleh Iqbal. Memulai bab pertama dengan warung koboi khas Jogja, angkringan. Keberadaan bangku-bangku panjang dengan meja yang hampir sama, menghilangkan sekat di antara penikmatnya. Percakapannya pun begitu cair dan mengalir. Ketika mau pulang, Iqbal disapa oleh seorang bapak berumur 60-an. Ditanya nama dan tempat tinggalnya. Sekadar ingin mengenal atau mengakrabkan diri.

Namun, ketika dibandingkan dengan di medsos, sangat bertolak belakang. Kalau di media sosial, yang belum dikenal saja bisa saling serang dengan sangat kasarnya. Bandingkan dengan di angkringan, yang mungkin ada debat, tetapi tidak sampai sekasar di medsos.

Pembahasan selanjutnya tentang teman di medsos. Sangatlah berbeda antara teman di dunia maya dengan di dunia nyata. Jadi, kalau teman di dunia maya berbuat salah, kok kita ikut getahnya? Padahal hanya karena pertemanan akun. Seperti itulah yang dirasakan oleh penulis buku ini.

Iqbal juga menyoroti tentang perubahan seorang temannya yang “mendadak alim” karena berteman dengan seorang ulama di medsos. Padahal gambar profilnya sebelumnya begitu nakalnya, tetapi tiba-tiba diubah menjadi lebih sopan.

Menggelitik, Tetapi Benar Adanya

Membaca buku ini dari halaman pertama sampai kaver belakang membuat saya tidak berhenti untuk tersenyum sedikit, kadang tertawa, karena kepiawaian Iqbal dalam mengungkapkan fenomena medsos dengan gaya bahasanya yang unik dan kocak. Misalnya, tentang tertinggal pesawat terbang. Petugas loket diancam akan diviralkan karena si penumpang tersebut punya followers yang sangat banyak. Ujungnya, Ya Allah, Anda perlu membaca langsung buku ini.

Selain menawarkan kekocakan, ada pula yang miris dan membuat kita mengelus dada. Contoh tentang seorang perempuan yang mengalami pelecehan seksual, tetapi tidak diproses oleh aparat. Ternyata, bisa begitu karena kasusnya tidak viral. Dalam kasus lain, melalui medsos yang viral dan mendatangkan begitu banyak wartawan, membuat aparat cepat bertindak.

Ada pula seorang guru yang mempunyai murid “kurang cerdas” dalam Matematika karena memang metode pengajarannya tidak cocok. Eh, bukannya membantu murid dengan cara yang lebih dipahami, justru divideokan agar menjadi viral. Keinginannya terwujud. Padahal hal itu membawa efek malu pada diri si anak sampai dengan keluarganya. Kasihan bukan?

Iqbal juga menyoroti kehadiran medsos yang menggeser media-media konvensional alias jadul. Contoh saja stasiun televisi. Banyak orang yang tidak diberi panggung di stasiun tersebut, tetapi justru membuat panggung sendiri melalui YouTube misalnya. Hasilnya memang bisa lebih memuaskan.

Sebetulnya, fenomena medsos yang tidak terlalu baik-baik saja itu bisa sedikit dicegah dan diobati dengan tulisan para pemikir atau cendekiawan. Namun, mereka justru hanya menulis di jurnal-jurnal ilmiah yang notabene hanya dibaca oleh sekitar 10 orang saja! Kalau menulis di medsos, jika tulisan itu bermutu, maka akan sangat mudah diviralkan, atau diminimal dishare. Bandingkan dengan koran atau majalah. Mau diviralkan, masa mau difotokopi, lalu dibagikan dari rumah ke rumah? Ribet, ah!

Buku ini mampu memperluas cakrawala pemikiran kita, bahwa medsos itu telah banyak mengubah hidup. Dari yang awalnya diciptakan manusia, sekarang malah menciptakan manusia jenis baru. Seperti apa? Silakan baca saja buku ini yang mungkin dapat menjadi panduan bagi Anda agar tidak “ketiban” sial karena media sosial. Dan, tetap harus hati-hati, Anda bisa dianggap menghilang atau dikira diculik orang, bukan karena di kamar terus, melainkan karena sudah jarang aktif di medsos.

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.