Cerita Tentang Yogyakarta

Cerita Tentang Yogyakarta

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Terus terang, saya kaget bin terkejut ketika melihat tantangan Kamis Menulis kali ini. Tantangan dari grup WA Lagerunal. Temanya tentang Yogyakarta. Untuk tulisan ini, saya mempersingkatnya menjadi Jogja.

Kagetnya karena saya memang lahir di kota tersebut. Menurut informasi yang resmi, saya lahir pada tanggal 20 Maret 1985. Nah, mungkin karena lahir di bulan Maret itulah, makanya sampai sekarang saya sering belanja di Indomaret.

Tanggal itu adalah hari Rabu. Dari dulu, beberapa kali pada hari tersebut, saya mengalami bersin-bersin sepanjang hari. Sejak bangun tidur, hingga mau tidur, gobras-gabres. Saking seringnya bersin, sampai saya lapar sendiri. Saya juga tidak tahu, kenapa kok pada Rabu, mengalami yang seperti itu? Jangan coba-coba di rumah ya!

Saya lahir di sebuah rumah sakit swasta. Tepatnya RS PKU Muhammadiyah. Rumah sakit tersebut berlokasi agak dekat dengan Malioboro. Mungkin karena itulah, dulu saya sering belanja di Malioboro.

Sekarang, setelah bertahun-tahun meninggalkan Jogja dan tinggal permanen di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, saya mau bercerita sedikit. Wah, ini jadi semacam biografi! Hem, bisa jadi biografi lebih mudah dibuat daripada mengikuti pelajaran Biologi.

Sejak Kecil

Dari TK hingga kuliah, saya menghabiskannya di Jogja. Kota ini memang terkenal sebagai Kota Pendidikan. Banyak sekali sekolah dan kampus yang bercokol di sini. Ada yang negeri, ada pula yang swasta. Meskipun sekolah swasta, tetapi sejatinya tetap berada di negeri Indonesia. Iya ‘kan? Makanya, kalau ada orang yang bilang sekolah di luar negeri, berarti itu sekolahnya di swasta.

Waktu TK, saya mengalami kejadian lucu. Pernah ada mobil bak terbuka yang parkir di dekat sekolah. Keingintahuan saya sebagai anak kecil waktu itu, adalah naik mobil tersebut di bagian belakangnya. Dan, mobil tersebut diam saja, membiarkan saja saya naik.

Rupanya, saya terjatuh. Kalau tidak salah, wajah menghantam pinggir bak terbuka mobil. Jadinya, saya mimisan. Hidung jadi berbau amis. Darah yang keluar dari situ, tentu saja membuat saya menangis. Dan, akhirnya saya pun diperbolehkan pulang oleh guru.

Anak yang mengantar saya pulang adalah sepupu saya. Dia adalah anak dari kakak ibu saya. Eh, dia antar saya pulang, baru dia ikut pulang juga. Wajar saja sih, soalnya itu sesuai dengan peribahasa: Guru kencing berdiri, dua tiga pulau terlampaui.

Ketika SD, saya mengalaminya tepat selama 6 tahun. Ketika SD, tidak ada istilah cumlaude, jadi tidak ada yang lulus lebih cepat. Tidak ada SKS, apalagi skripsi.

Masa SD, saya juga cukup berbahaya, maksudnya, berbahagia. Sekolah agak jauh dari rumah, seringnya jalan kaki. Pernah pulang dengan bergelantungan di mobil bak terbuka. Mobil itu mengangkut barang-barang yang tidak terlihat dari spion sopir, saya bergantung di pintu belakang bak terbukanya. Seru juga. Hem, tentu saja seru karena saya tidak jatuh. Coba kalau jatuh, pasti seru juga alias saya yang berseru kencang. “Aduhhh!!!”

Masa Remaja

Saya pernah juga mengalami masa ABG. Disebut ABG ini tidak sama dengan merek kecap atau baterai lho ya! Tahu sendiri ‘kan itu mereknya. Masa ABG saya alami ketika SMP dan SMA.

Kenangan SMP cukup suram. Saya bersekolah di SMP 5 Yogyakarta. Sekolah tersebut memang favorit, paling favorit di kota Jogja. Saingannya luar biasa, banyak sekali anak pintar di dalamnya.

Selama tiga tahun saya di sana, rangking tertinggi adalah 26. Sedangkan rangking terendah adalah 35. Tiap terima raport, saya selalu deg-degan. Walaupun namanya deg-degan, tidak ada hubungannya dengan minum es degan.

Bapak selalu memarahi saya ketika mengambil raport. Sebab, saya memang merasa kewalahan menghadapi teman-teman saya sendiri. Mereka saya akui memang lebih pintar dan cerdas.

Bapak saya selalu bilang begini, “Masa sama-sama makan nasi, mereka bisa, kok kamu nggak bisa?”

Saya sih diam saja. Masa saya menjawab begini, “Betul, Pak, tapi ‘kan berbeda berasnya.”

Kalau saya jawab seperti itu, mungkin saya akan digampar. Padahal, ini ‘kan bukan pelajaran TK, pemandangan yang harus digampar.

Jadi, ya, begitulah, selalu suram dan tidak bahagia waktu terima raport. Saya termasuk ke dalam kelompok anak-anak yang kurang pintar. Padahal, sudah berusaha maksimal lho. Heran juga sih, gimana sih cara belajar mereka? Saya belajar juga, tetapi hasilnya berbeda. Ada apa ini? Apakah saya mesti bertanya kepada rumput yang bergoyang? Coba goyangkan dulu satu rumput, baru saya bertanya ya!

Sedangkan ketika SMA, berbeda dengan di SMP, ya iyalah. Perbedaan besarnya adalah kualitas sekolahnya. Kalau SMP, banyak yang rajin belajar, sementara kalau di SMA, banyak yang tawuran. Saya sekolah di SMA 6 Yogyakarta. Sekolah itu memang dicap sebagai tukang tawuran. Alhamdulillah, sampai sekarang, sudah berubah.

Masa Kuliah

Akhirnya, tibalah masa pendidikan terakhir saya di Jogja, paling tidak untuk sementara ini. Saya kuliah di Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial, Universitas Gadjah Mada. Wah, lengkap banget ya!

Saya senang dan bangga sekali menjadi mahasiswa UGM. Kampusnya sangat besar dan menjadi pionir universitas negeri pertama di Indonesia. Oh, ya, Jogja memang istimewa, karena kampus swasta pertama pun ada di kota ini. Namanya Universitas Islam Indonesia, disingkat UII.

Total waktu kuliah saya adalah lima tahun. Lho, kok tidak cumlaude? Sengaja memang, soalnya sudah banyak yang cumlaude, jadi saya mengalah saja.

Sebenarnya bisa sih saya lulus 4 tahun lebih beberapa bulan, tetapi kok rasa-rasanya tanggung ya? Sekalian lima tahun sajalah, biar jadi genap.

Selama kuliah, saya berhasil mengoleksi semua nilai. Mulai dari A, B, C, D, sampai E dan T. Ibaratnya nilai kuliah itu adalah hikmah. Begitulah kehidupan, harus mengambil semua hikmah yang ada. Begitulah kira-kira.

Pandangan Tentang Jogja

Sebagai orang asli Jogja, lahir di sana, sekolah di sana, dan besar di sana, pandangan saya terkait Jogja memang selalu dikaitkan dengan harga barang-barang yang murah. Memang betul sih, ada namanya warung angkringan. Makan sego kucing, begitu istilahnya, cuma lima ribu. Sudah ada nasi satu kepal, lauk ikan teri, sayur oseng-oseng. Murah meriah. Makan satu saja sudah kenyang, apalagi kalau seribu buah, ya ‘kan?

Namun, jangan salah juga. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kerap menyandang daerah dengan upah minimum terendah. Menurut money.kompas.com, upah minimum provinsi ini hanya sebesar Rp1.765.000,00 juta per bulan pada 2021. Itu berarti paling rendah secara nasional.

Sementara pada tahun ini, UMP Yogyakarta 2022 berada di urutan kedua terendah. Jumlahnya sebesar Rp1.840.951,00. Nomor dua dari bawah se-Indonesia. Yah, lumayanlah, tidak lagi paling buncit se-Indonesia. Kalau buncit perut para penduduknya mungkin banyak, termasuk yang baca tulisan ini tentunya juga.

Kota Jogja sekarang sudah sangat penuh. Jalanannya sudah terlanjur sempit, sementara kendaraan makin banyak. Termasuk bus-bus besar yang datang dari luar kota untuk berwisata. Malioboro juga selalu padat. Tempat itulah yang menjadi tujuan utama wisata.

Makanya, polusi udara sangatlah tinggi di sana. Saya belum pernah mengukur tingkat polusi dengan menghirup napas dalam-dalam di sana. Slogan dulu, “Yogyakarta Berhati Nyaman”, bisa jadi sudah kurang tepat untuk ukuran sekarang.

Selain itu, kejahatan juga meningkat. Beberapa waktu yang lalu, ada fenomena klitih. Ini dilakukan oleh anak-anak muda yang gabut dan menyerang orang secara sembarangan. Mengerikan memang, termasuk kejadian tawuran di salah satu sudut kota Jogja.

Namun, yang jelas, kedua orang saya masih tinggal di sana. Begitu juga adik perempuan saja. Semoga mereka baik-baik saja dan selalu aman di sana.

Saya terakhir berkunjung di sana pada tahun 2019. Itupun dalam rangka perjalanan dinas. Sedangkan cuti bersama keluarga terakhir pada tahun 2015. Memang sudah cukup lama belum ke Jogja lagi.

Bapak saya juga mengerti kalau anaknya ini memang sudah merantau sedemikian jauh. Jadi, untuk pulang, tidak bisa setiap saat. Kalau yang setiap saat itu namanya Rexona, karena slogannya: Rexona, Setia Setiap Saat!

kamis-menulis

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

16 Comments

  1. Selalu ada cerita di balik kota kelahiran tercinta, walau sekarang jauh namun tetap di hati. Pengukir sejarah Pak Rizky… Salam santun dari jogja… πŸ˜ŠπŸ™

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.