Dalam hidup bermasyarakat, kita memang harus hidup rukun dengan tetangga. Terlebih jika tetangga tersebut menempel rumahnya dengan kita.
Itulah yang kualami antara aku dengan suamiku. Kami yang menikah dulu karena dijodohkan, harus bertetangga dengan suami istri lain yang asyik punya.
Aku akrab dengan yang perempuan. Aku juga akrab dengan yang laki-laki, dia kuanggap sebagai seorang kakak. Tidak hanya dia yang kuanggap kakak, suamiku sendiri juga kupanggil “Kakak”. Kamu mau juga kupanggil kakak? Memangnya sudah tua? Terus kupanggil kakaktua? Hehe…
Kompleks Perumahan
Namanya sebuah kompleks perumahan, ada rumah yang berdiri sendiri alias tunggal. Ada juga yang bergabung dengan nama kopel. Dua rumah yang menjadi satu, hanya dibatasi oleh tembok. Punya rumah kopel macam begitu memang rawan-rawan bagaimana juga. Secara suara bisa saja menyeberang ke rumah sebelah. Termasuk juga suara yang itu, khas suami istri.
Namun, tetap kujalani saja bersama suami. Kami di situ hanya mengontrak. Kakak, alias suamiku, jangan lupa, sedang berusaha untuk membuat rumah yang lebih baik. Rumah yang lebih tunggal lagi.
Oh, ya, tempat tinggal kami itu di Makassar. Jangan dikira orang Makassar itu kasar-kasar dari asal nama daerahnya, terus yang sifatnya halus tinggal di Mahalus. Bukan begitu. Orang Makassar ada yang kasar, ada pula yang halus. Toh, semua orang begitu ‘kan? Ampelas saja yang satu sisi kasar, sisi sebaliknya halus kok. Tapi, ampelas jangan dipakai untuk menghaluskan kulit muka yang kasar ya? Pakai saja skincare. Jika tidak ada, cukup Fresh Care! Halah..
Dulunya, tetanggaku itu pacaran. Ketika proses pelamaran, aku dan suami ikut mengantarkan. Benar-benar seperti keluarga aslinya. Ikut senang ketika proses itu berhasil dilalui. Mereka pun jadi punya hubungan yang lebih legal dan halal.
Melesat
Rezeki memang akan diberikan kepada setiap orang dengan porsi yang berbeda-beda. Alhamdulillah, suamiku berhasil dapat rezeki, sehingga kami bisa pindah ke rumah yang lebih baik seperti impian kami. Tetangga kami itu lebih baik lagi, setidaknya menurut kami. Yang laki-laki berhasil menjadi anggota DPR RI di Jakarta. Sedangkan istrinya kerja di Humas Polda Mamuju, masih berada di pulau Sulawesi.
Bagiku dan suami, itu sudah luar biasa sekali. Mereka mendapatkan penghasilan yang sangat melimpah. Dan, dari kabar yang ada, mereka sangat menikmati kehidupan tersebut. Membeli barang apapun tidak lagi terasa sulit. Kehidupan itulah yang jelas diimpi-impikan banyak orang.
Namun, sayangnya, yang kutahu juga, dua orang itu tidak menjaga kesehatannya. Mereka terlanjur larut dengan kehidupan yang cukup glamor, tanpa melihat lagi yang masuk ke perut mereka. Seperti kita, dikira sih tidak terlalu menjadi masalah. Toh, kesehatan itu memang akan menemukan gangguannya belum tentu sekarang ini. Bisa lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, entahlah. Semoga tidak sampai begitu juga.
Ternyata, kesehatan mereka, lebih tepatnya sang istri mendapatkan musibah. Dia lumpuh! Hanya bisa terbaring dan duduk di tempat tidur atau di sekitar situ. Lumpuh kenapa? Jawabannya adalah kena stroke. Aku jelas kaget dan sangat sedih mengetahui kabar itu.
Takut Ketemu
Dari kabar yang ada, selain lumpuh, perempuan itu juga kurus sekali. Rambutnya rontok. Bicaranya juga tidak jelas. Waduh, gejalanya yang makin parah! Kakak alias suamiku menganjurkanku untuk menengoknya. Namun, aku masih belum sanggup. Aku masih belum kuat. Di sini saja aku sudah sedih luar biasa, apalagi kalau ketemu nanti.
Suamiku tetap mendorongku untuk menjenguknya. Setidaknya untuk menghibur hatinya. Beberapa kali dibujuk, aku pun menyanggupi. Berangkatlah kami ke sana untuk niat yang mulia itu.
Dan, benar yang kusangka. Waktu kulihat dia, Ya Allah, Subhanallah, mataku terasa pecah. Air mataku tak berhenti mengalir. Sejak sebelum kedatanganku, aku sudah terasa menangis. Kini menyaksikan tetangga akrabku dulu itu yang ceria dan sehat, kini terbaring lemah. Tergolek tak berdaya. Stroke telah merenggut badannya.
Aku menangis di situ, sangat menangis. Kupegang badannya, begitu lemah. Dia pun menangis. Tapi, tidak bisa berkata dengan jelas. Tercampur antara tangisannya dengan penyakitnya. Tambah tidak jelas.
Terpikir olehku untuk membawanya terapi mandi air laut. Namun, ada kendalanya. Suaminya sering ke Jakarta. Sedangkan dia tidak ada saudara laki-lakinya. Butuh bantuan laki-laki untuk menaikkannya ke mobil dan membawanya ke laut.
Keinginan itu masih kupendam sampai sekarang. Dia yang berada di Mamuju, sementara aku dan suami masih di Makassar. Hanya doa yang tentu saja kupanjatkan untuk kesembuhannya, sekaligus suaminya agar tidak sampai seperti itu.
Lalu, Apa Hikmahnya?
Membaca sampai di sini, mungkin kamu jadi bertanya-tanya dan aku siap menjawab, apa hikmah dari kisah nyata itu? Kenapa aku tulis seperti itu? Ternyata, harta, jabatan, rumah mewah, mobil, yang bisa dikatakan hasil dari kemerdekaan dalam menggunakan uang itu toh menjadi tidak berarti apa-apa ketika tergolek sakit. Mereka berdua diberikan kelimpahan pendapatan, merdeka mau beli apapun, ternyata, untuk bergerak saja sudah sedemikian sulit.
Aku dan suami jelas merasa bersyukur juga, meskipun kami tidak sekaya dan seberlimpah mereka. Karena toh, semua orang dengan rezekinya masing-masing cukup kok. Yang tidak cukup itu ‘kan orang serakah, selalu merasa kurang. Diberi harta yang melimpah, tetapi masih mau ditambahi terus, bahkan dengan cara-cara yang tidak halal. Apakah itu simbol dari kemerdekaan? Oh, tentu saja tidak. Itu terjajah oleh godaan syetan dan nafsu duniawi yang luar biasa.
Bagaimana menurut pembaca sendiri? Orang berharap bisa merdeka secara finansial seperti yang diajarkan banyak motivator itu, tetapi dari kejadian di atas, masihkah berharap banyak?
Ya Rabb . Gol9nhkn kmi orang-orang yang oandai bersyukur. Terimakasih Pak Rizky atas pelajaran dari kisah ini. Tetiring doa semoga Allah angkat penyakit tetangga Pak Rizki.. aamiin
Sebenarnya bukan cerita tetangga saya bu, tapi tetangganya teman saya.
👍👍👍👍
Terima kasih jempolnya bu
Orang yg pandai bersyukur akan merasa cukup, atas rezeki yg didapatkannya. Cukup atau tidak ternyata bukan ttg bilangan banyaknya harta..
Lebih utama tentang berkahnya
Yanhg utama adalah nikmat sehat dan sempat. Harta bisa hilang dalam sesaat. Makasih Bang pencerahannya
Sama-sama pak guru
Merdeka finansial harus dibatasi juga ya? Cerita yang menarik. True story ?
Tidak harus sih, kalau banyak dan bisa berbagi untuk orang lain, itu joss
Mantaf pak,emng selalalu menyuguhkan kasanah yg begitu memitivasi,
Alhamdulillah, terima kasih kunjungannya pak
Ternyata harta bukan segalanya. Layak kita ambil hikmahnya..
Silakan, semoga bermanfaat
Memang merdeka finansial baiknya diikuti tekad kaya hati…..kira kira begitu ya Bung….jadinya lebih hati hati….
Paling tidak, jangan lupa juga untuk menjaga kesehatan.
Banyak makna kehidupan yg bisa kita ambil hikmahnya dari tulisan ini. Intinya selalu bersyukur dengan apa yg kita punya. Terima kasih sudah mengingatkan bahwa kemerdekaan ekonomi bukan segalanya. Kemerdekaan hati yg hakiki.
Wah, ini menarik, kemerdekaan hati yang hakiki!
Ini sudut pandang siapa ya Pak? Apa bukan Pak Rizky? Hehe. Curhat yang menggelitik
Bukan pak, itu teman saya yang cerita, makanya, saya pakai sudut pandangnya.
Merdeka secara ekonomi… Kalau kenyataan ekonomi kita masih terjajah oleh bangsa asing.
Merdeka secara ekonomi… Kalau kenyataan ekonomi kita masih terjajah oleh bangsa asing.
Harta kadang jadi dilema.
Tanpa harta, hidup merana.
Berlimpah harta, kadang jadi terlena.
Bersyukur denngan yang ada dan menikmati hidup tidak berlebihan mungkin jawabannya.