Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku melihat mereka berdua bermain bulutangkis di lapangan asramaku. Ah, romantis sekali kelihatannya.
Ya, romantis memang, karena sejatinya mereka pasangan suami istri. Bermain bulutangkis ala kadarnya, sangat jauh dari kesan profesional maupun seperti permainan atlet.
Yang laki-laki tampak berusaha meraih poin, dengan cara mengarahkan bola kok ke daerah yang susah dijangkau istrinya. Dan, berhasil! Istrinya memang lambat untuk mengembalikan bola kok ke pihak lawan.
“Kapankah aku bisa seperti itu? Bermain bulutangkis cinta dengan pasanganku yang sah?” Pikirku.
Mengenalnya
Tanpa sepengetahuan istrinya, aku sudah mengenal si laki-laki. Dialah sebenarnya yang lebih akrab denganku daripada teman-temanku sesama perempuan. Entah mengapa, dekat dengan laki-laki itu membuatku nyaman.
Aku tahu dalam hati, perbuatan semacam itu memang tidak benar. Memang salah. Suaminya bukanlah milikku, dan aku pun bukan miliknya. Namun, kedekatan itu sudah berjalan apa adanya. Suaminya memberikanku perhatian yang tidak kudapatkan dari teman-temanku perempuan.
Sampai akhirnya, laki-laki itu sendiri yang membongkarnya. Apalagi kalau bukan membongkar hubungan ini dan melaporkan ke pimpinanku. Mengapa dia tega seperti itu? Aku merasa, justru akulah yang salah.
Kedekatan dengannya memang kumanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Perhatiannya yang rutin, hampir setiap hari, kugunakan untuk mendapatkan sedikit rezeki darinya. Kamu tahu ‘kan, berapa gajiku? Berapa honorku? Sangatlah minim. Sedangkan dia adalah karyawan tetap, penghasilannya jauh lebih besar daripada cukup.
Aku memintanya terang-terangan lewat chat. Kukatakan bahwa uangku memang habis. Kadang aku meminta uang tunai, minta ditransfer ke rekeningku di sebuah bank syariah. Kadang juga aku minta saldo belanja untuk membeli barang-barang di minimarket terkenal di negeri ini.
Beragam
Uang yang diberikannya memang beraneka besarnya. Pernah 400 ribu, 300 ribu, 350 ribu, dan jumlah lain, aku lupa. Aku benar-benar merasa puas, karena kebutuhanku jadi lebih bisa terpenuhi. Honorku utuh atau paling tidak, bisa kusimpan untuk kebutuhan mendatang.
Ketika dia menolak, maka langsung kukatakan, “Pelit!” Sebutan seperti itu sukses membuatnya tak berkutik, lalu rela menyisihkan uang lewat sistem elektronik. Ya, transfer itu tadi.
Permintaan itu lebih besar lagi saat lebaran. Dia sudah pasti mendapatkan THR dari kantornya. Nah, mana ada THR dari tempat kerjaku? Honor saja minim banget, apalagi mau THR semacam itu? Hem, cuih!
Aku terus meminta jika dia menolak. Setelah ditransfer, aku langsung menghapus chat, di aku dan di dia. Aplikasi yang kupakai mampu melakukan hal itu. Aku khawatir, chat dengannya, bahkan berbau mesra, dibaca oleh istrinya. Meskipun dia mengatakan HP-nya tidak pernah dibuka istrinya, tetapi aku was-was saja toh.
Efek
Seiring permintaanku yang makin meningkat, ternyata aku jadi lupa diri. Aku tidak sadar bahwa dia makin lama enggan untuk memenuhi permintaanku. Apalagi dia selalu minta foto, foto, dan foto. Bahkan foto tanpa jilbab! Alamak, yang benar saja!
Dia mengatakan bahwa dia sudah kasih uang, mestinya dia juga minta sesuatu dariku. Hem, pernah sih ketemuan. Namun, tidak mengobrol sama sekali. Cuma ketemu saja di minimarket terkenal di negeri ini. Aku malu ngobrol dengannya secara langsung. Jadi, aku cuma senyum, dibalik maskerku kala itu.
Kami berdua pernah sangat dekat di depan kasir. Dia hanya memandangiku, tetapi tidak kutanggapi waktu dia berbicara. Aku khawatir dengan CCTV. Jangan sampai ada yang merekam, lalu disebarkan.
Sampai akhirnya, aku memang betul-betul kena batunya. Dia makin merasa sangat terganggu dengan hubungan ini, terlebih hubungan yang UUD alias Ujung Ujungnya Duit ini.
Permintaanku hampir setiap bulan sebenarnya tidak terlalu mengganggu gajinya yang mencapai 10 juta rupiah lebih. Namun, mungkin karena saking seringnya, membuat dia meradang juga.
Atasanku mengetahui perbuatanku dengannya melalui temanku. Aku dipanggil dan diajak bicara berdua. Aku jelas sangat kaget dan terkejut. Lho, kok atasanku bisa tahu? Rupanya, dia memang tahu dan aku malu sekali waktu itu.
Aku dinasihati supaya tidak menggoda suami orang. Tidak lagi berkomunikasi dengan milik orang. Kasihan istrinya jika tahu tentang hubungan tersebut. Pastilah dia akan sakit hati. Kenapa aku tidak pernah terpikir seperti itu ya? Padahal antara aku dan istrinya sama-sama perempuan. Harusnya sama-sama saling mengerti tentang perasaan.
Ketika atasanku tanya, kok aku bisa akrab sama laki-laki itu? Aku menjawabnya bahwa dia sudah kuanggap sebagai seorang kakak. Makanya, aku tidak rikuh atau sungkan untuk minta uang dengannya. Dia sudah kuanggap keluarga sendiri. Kalau dengan teman lain, mana mungkin aku begitu? Secara teman-temanku juga honornya minim sepertiku!
Hubungan aku dan dengannya pun retak. Teguran dan nasihat dari atasanku membuat hatiku perih, terluka, nyeri, sakit tak berdarah. Dulu aku suka dengannya, mencintainya, mencintai uangnya, kini tidak lagi. Aku jadi membencinya, sangat-sangat membenci. Kenapa dia sampai tega membocorkan hubungan ini? Apa salahku?
Beberapa waktu setelah terbongkar, dia menghubungiku kembali. Namun, aku sudah tidak percaya. Dia yang amat kuandalkan, amat dalam masuk di dalam hatiku, sekarang kubuang jauh-jauh. Kubuang dia bagaikan sampah. Ya, sampah busuk yang penuh dengan belatung! Aku tidak percaya lagi dengan laki-laki, bahkan dengan semua orang sebenarnya.
Tiap melihat dia berjalan sendiri, bersama istrinya, atau anak-anaknya, aku sudah melayangkan pandangan hina ke arahnya. Dia tidak tahu aku yang mana, karena wajah kututupi. Dia tidak hafal bentuk tubuhku, karena hampir mirip dengan teman-temanku. Aku tidak gemuk sekali, juga tidak kurus sekali. Terlebih tertutupi dengan jilbab besar, makin sulit lagi dikenali.
Saat dia bermain bulutangkis dengan istrinya, permainan yang penuh dengan kemanjaan, aku buang muka jauh-jauh. Biarlah dia bermain bulutangkis cinta bersama pasangan halalnya. Aku sudah tidak sanggup lagi melihatnya. Sejatinya, dia memang milik istrinya secara sah. Secara hukum agama dan hukum negara. Sementara aku? Aku bagaikan sampah saja baginya, sebagaimana dia bagaikan sampah juga bagiku.
Seringnya dia bermain bulutangkis dengan istrinya di lapangan tempat asramaku, sebenarnya aku ingin mengusirnya. Jangan main lagi di sini! Lebih tepatnya, jangan permainkan lagi hatiku! Uang yang pernah dikasihnya sudah jadi kotoran semua. Begitu pula namanya, sosok dirinya, bagai kotoran yang betul-betul kotor di hatiku!
Ah, kapankah jodoh yang sebenarnya datang ya Allah…? Mengapa lama sekali? Sementara teman-temanku yang usianya di bawahku, mereka telah dimiliki oleh pujaan hatinya. Sedangkan aku masih saja menjomblo dan menjomblo. Aku menangis tanpa air mata. Aku meringis di akhir cerita.
Dapat istilah baru, bulutangkis cinta dan UUD. Mantap cerita fiksinya. Bisa aja pak Rizky.
Nulisnya mepet menjelang tengah malam Bu. Khawatir lewat batas, nanti nggak masuk list, hehe..
Semoga jodohnya segera datang. Orang baik dengan orang baik. Karena itu, perbaiki diri dulu agar jodoh yang datang baik pula. Biarkan bulutangkis dimainkan orang lain di halaman asrama. Jika ingin main bulutangkis juga, silakan di tempat yang lain.