Memelihara Kesehatan Jiwa Bagi Penulis

Memelihara Kesehatan Jiwa Bagi Penulis

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Tubuh manusia itu memang terdiri dari jiwa dan raga, raga dan jiwa. Mana yang lebih duluan? Apakah sama dengan telur dan ayam? Kita tidak akan bahas itu lebih detail, karena lebih fokus kepada kesehatan jiwa, apalagi bagi seorang penulis.

Ada berbagai macam definisi tentang kesehatan jiwa. Saya ambil saja dari WHO. Arti dari kesehatan jiwa menurut organisasi PBB ini adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia. Selain itu, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima orang lain sebagaimana seharusnya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.

Dari pengertian tentang kesehatan jiwa, pastilah muncul persepsi tentang gangguan kesehatan jiwa. Lebih tepatnya lagi adalah orang gila! Kurang waras, edan, gendeng, kenthir, dan lain sebagainya. Kata-kata yang saya bikin miring itu adalah kata-kata dari bahasa Jawa. Sengaja saya bikin miring bukan karena yang dibahas adalah orang-orang yang berotak miring, bukan. Melainkan meluruskan tentang kesehatan jiwa yang sering salah persepsi.

Meremehkan Kesehatan Jiwa

kesehatan-jiwa-1

Kasus paling parah dari orang yang menderita gangguan kesehatan jiwa bukan menjadi gila sebenarnya, melainkan sampai bunuh diri. Kasus bunuh diri ini memang tidak bisa dianggap main-main, soalnya orang yang bunuh diri itu memang tidak main-main. Sekali berhasil, maka pasti tidak akan kembali lagi. Ya ‘kan? Kalau gagal, berarti masih main-main itu dan tidak serius.

Baca Juga: Sebuah Kisah Tentang Pengendalian Diri (Jangan Mau Terpengaruh Orang Lain)

Kesehatan jiwa memang tidak terlalu menduduki porsi yang lebih dalam masyarakat kita. Tidak usah mencari data yang valid, dari diri kita saja, ketika merasa stres, depresi, sedih berlebihan, galau, dan sebagainya itu, seringkali cuma dianggap angin lalu. Nanti juga sembuh sendiri seiring berjalannya waktu. Padahal, gejala gangguan kesehatan jiwa paling ringan itu adalah stres. Ketika stres, maka terjadi ketidakseimbangan dalam kesehatan jiwa tubuh kita.

Hal ini berbeda halnya dengan ketika kita terkena penyakit fisik. Pilek misalnya. Sentrap-sentrup, istilah bahasa Jawa lagi, ingus naik turun. Itulah jawaban dari teka-teki, turunnya lambat, naiknya cepat sekali. Mau dibuang kok sayang begitu, ya? Gejala makin berkepanjangan, kita langsung cari obatnya di apotek terdekat. Murah sekali memang harganya. Minum satu atau dua kaplet, eh, langsung sembuh. Berbeda dengan stres tadi. Obatnya tidak dijual sembarangan, adanya di dokter jiwa jika untuk stres tingkat tinggi.

Mau bertemu dengan dokter jiwa saja, kita juga punya persepsi, “Jangan-jangan saya ini sudah gila, ya? Nanti bagaimana kalau ketemu teman-teman, saya ini ketemu dengan dokter jiwa? Apa mereka nggak menganggap saya gila?”

Dokter jiwa, psikiater, atau psikolog, tidak harus menangani orang-orang gila, kok! Orang-orang yang punya gangguan kesehatan jiwa memang pantas ditangani oleh mereka. Dan, mereka terlatih untuk itu. Solusi yang selama ini tidak kita pikirkan, eh, ternyata bisa muncul dari mereka.

Nah, dalam tulisan ini lebih diarahkan membahas kesehatan jiwa bagi penulis. Sebelum, saya mau cerita dulu, lah yauw!

Bertemu Penulis Cerpen Terkenal

kesehatan-jiwa-2

Sekitar tahun 2006, kalau tidak salah, saya bertemu dengan seorang penulis cerpen yang saya sukai dari Jogja. Waktu itu, saya memang masih tinggal bersama orang tua di Jogja. Penulis itu bernama Joni Ariadinata. Penulis cerpen yang cerpennya pernah menjadi cerpen terbaik Kompas pada tahun 1994 dengan judul Lampor.

Beliau hadir di sebuah acara yang membahas cerita fiksi di toko buku MP Book Point, Jalan Kaliurang, Jogja. Setahu saya, toko buku ini sudah tidak ada sekarang. Dahulu, kalau ada orang yang beli buku di sana akan mendapatkan poin. Nah, poin-poin itu bisa ditukar dengan hadiah atau diskon khusus beli buku lagi. Sekarang, eranya orang menonton video, buku memang makin lama makin terpinggirkan. Minat baca orang Indonesia makin rendah lagi. Miskin literasi, tetapi malah suka sambal terasi.

Baca Juga: Kotoran Telinga Antara yang Nyata dan Gaib

Acara itu adalah acara yang membahas cerpen-cerpen dari Edgar Allan Poe. Penulis itu memang terkenal dengan cerpen-cerpennya yang horor, thriller, mengerikan, dan mencengangkan. Cerpen-cerpennya bisa menimbulkan sensasi ketakutan tersendiri. Saya memang tidak banyak membaca cerpen-cerpennya dari beliau. Bukan karena takut, malas saja, sih. Toh, si Poe juga tidak tahu kalau saya tidak baca cerpen-cerpennya.

Nah, Joni memberikan ulasan-ulasan terkait cerpen-cerpen Poe. Mirip Teletubbies, ya, ada Tinky Winky, Dipsy, Lala, Poe? Saya masih hafal sampai sekarang, hehe.

Cerpen Edgar Allan Poe juga diperagakan oleh seorang laki-laki. Dia memeragakannya layaknya monolog. Awalnya duduk di kursi menghadap tembok. Selanjutnya, dia berbicara sendiri dan kata-katanya persis dalam dialog-dialog dan alur dalam cerpen Poe. Bagaikan membacanya langsung, tetapi laki-laki itu menghafal. Wuih, keren juga!

Ketika acara selesai, saya menemui Joni. Membawa dua buku karangan beliau. Meminta tanda tangan. Beliau merasa senang sekali karena cuma saya yang bawa bukunya. Dia memberikan tanda tangannya, lalu mengundang ke rumahnya di Bantul. Saya catat alamatnya dan beberapa hari kemudian, saya datang.

Agar tidak sia-sia datang ke sana, saya bawa cerpen-cerpen saya. Sudah diprint dan siap untuk dibawa. Saya ingin mendapatkan feedback dari beliau, belajar langsung cara membuat cerpen.

Saat sudah di rumahnya, saya serahkan cerpen-cerpen itu. Saya memintanya untuk dikoreksi. Beliau membaca selama beberapa menit. Mungkin lima menit lebih. Sudah sampai di bagian akhir atau halaman terakhir, saya bertanya, “Bagaimana, Pak?”

“Jelek semua!” katanya tegas, tanda tedeng aling-aling. Tidak hanya itu, cerpen-cerpen saya juga dilemparkan begitu saja ke tempat duduk. Joni pun bangkit dari tempat duduk, menuju ke dapur. Entah muntah, atau apalah. Cukup lama beliau di dapur, mungkin sekitar sepuluh menitan.

Ketika kembali ke tempat duduk, beliau pun memberikan tips. “Untuk bisa berhasil jadi penulis cerpen, kamu harus baca karya orang lain itu minimal 100 kali.”

Ohh, begitu? Rupanya, harus baca dulu karya penulis lain minimal 100 kali. Ketika cerpen-cerpen saya dikatakan “jelek semua”, terus terang saya tersinggung juga. Apalagi dilemparkan begitu saja dan dianggap sama sekali tidak berharga. Padahal saya ini ‘kan memang sedang belajar. Jadi, kalau mau dikatakan jelek, ya, dengan bahasa yang lebih halus dan sopan, lah. Bukan dengan cara begitu.

Namun, saya belajar juga, bahwa perlakuan yang seperti itu seharusnya menjadi penyemangat bagi saya. Seharusnya menjadi motivasi bagi saya. Jika saya terlalu larut dengan perlakuan seperti itu, maka sama saja menyerang kesehatan jiwa saya. Akibatnya, saya bisa stres, depresi, atau bahkan sampai gila? Alhamdulillah, tidak sampai terjadi yang semacam itu.

Tips membaca minimal 100 kali itu setelah saya praktekkan, rupanya berhasil juga. Rupanya, dalam beberapa lomba menulis cerpen, Alhamdulilah, saya berhasil meraih juara. Ini adalah lomba menulis bersama Uda Agus, seorang penulis juga dari Sumatera. Beliau rutin membuat lomba yang dipromosikan melalui Facebook tiap tahun, sejak 2010 atau 2011 kalau tidak lupa.

Jurinya waktu itu adalah Gus tf Sakai, seorang penulis cerpen terkenal juga dari Payakumbuh, Riau. Beliau ini lebih keren lagi prestasinya dibandingkan Joni. Gus tf Sakai menjadi juri di lomba menulis cerpen yang saya ikuti. Dan, akhirnya saya pun menjadi 15 besar untuk di lomba yang pertama dan juara 3 untuk di lomba kedua. Ini semakin menambah percaya diri bahwa ternyata penilaian negatif dari Joni, justru menjadi cukup positif bagi Gus tf Sakai.

Pentingnya Kesehatan Jiwa Bagi Seorang Penulis

Penulis juga manusia. Belum pernah bukan dengar ada penulis dari kalangan bangsa jin? Kalau penulis pakai celana jin, pasti ada. Namun, di situ bukan jin, melainkan jeans.

Seorang penulis memang rentan mengalami gangguan kesehatan jiwa. Dilihat dari kerjanya saja, seringkali berada di tempat sepi, sunyi, dan sendiri. Memang ada sih, penulis yang bekerja di tengah keramaian. Akan tetapi, mungkin jumlahnya cuma sedikit. Atau, ketika di keramaian itu, dia sedang mencari inspirasi, bahan, maupun referensi, yang nantinya akan dituangkan ke dalam tulisannya.

Baca Juga: Kenali Positif dan Negatif Pendidikan Anak Serba Boleh Semuanya Alias Yes Parenting

Kalau bekerja sendiri begitu, apalagi sering di dalam kamar, maka akan dicap lain-lain. Misalnya, dia pelihara tuyul, jin, malah babi ngepet. Sendirian di kamar terus, tetapi dapat duit juga di rekening. Apa coba kalau bukan pelihara tuyul? Kata teman saya, bisnis yang lagi ngetren sekarang adalah jual beli tuyul second. Haha, ada-ada saja!

Selain kerjanya yang lain daripada kerja biasa, penulis juga rawan kena gangguan kesehatan jiwa, apalagi ketika mengalami penolakan di mana-mana. Dia kirimkan tulisan ke berbagai media, tidak ada yang mau memuatnya. Dia ikut lomba menulis, kalah juga berkali-kali. Ketika sudah dimuat, honornya pun sangat kecil. Mana cukup untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi dia sudah punya anak dan istri.

Jangankan ketika sudah jadi tulisan, problem gangguan kesehatan jiwa juga bisa terjadi ketika penulis mau menulis. Ini yang sering diistilahkan dengan writer’s block. Ketika membuka laptop, membuka Microsoft Word, lihat lembaran putih bersih seperti itu, lalu jadi bingung sendiri, ini mau menulis apa, ya? Perasaan tadi sudah ada ide, kok sekarang buntu di tengah jalan? Kok sekarang jadi macet? Ada apakah gorengan?

Writer’s block tidak hanya dialami oleh penulis pemula, lho, bahkan penulis profesional pun bisa mengalaminya. Melihat lembaran kosong begitu, tanpa huruf satupun, akhirnya malah beralih scroll-scroll media sosial. Dari yang tadinya cuma 3 menit, menjadi 5 menit, 10 menit, hingga setengah jam. Lalu, makin lama masuk di media sosial, malah jadi lupa mau menulis. Inilah problem terbesar penulis sekarang kata Tere Liye dalam novelnya Selamat Tinggal.

Adakah Solusinya?

kesehatan-jiwa-3

Gangguan kesehatan jiwa bagi penulis memang harus dicari solusinya. Tidak mungkin dong dibiarkan terus-menerus sampai hari kiamat tiba. Apalagi penulis yang berniat untuk menggantungkan hidup hanya dari menulis. Ini jelas membutuhkan kesehatan jiwa yang lebih prima lagi.

Solusi yang bisa ditawarkan kaitannya dengan memelihara kesehatan jiwa ini adalah kembali bertanya ke diri sendiri: Mengapa saya harus menulis?

Pertanyaan tersebut memang perlu dijawab terlebih dahulu sebelum membahas tetek-bengek tentang dunia kepenulisan. Tidak usah bertanya cara mencari karakter tokoh, cara membuat alur, bagaimana membuat judul yang enak dibaca, dan lain sebagainya. Itu semua masalah teknis, bisa teknis lapangan, bisa teknis meja, eh!

Ketika kita tahu untuk apa kita menulis, maka halangan sebesar apapun, akan mampu kita hadapi. Saya masih teringat Kang Tendi Murti, pionir KMO atau Komunitas Menulis Online yang media belajarnya lewat Whatsapp, Facebook, dan Telegram itu. Beliau mengatakan bahwa menulis itu memang perlu didasarkan kepada alasan-alasan yang baik. Sebab, begitu banyak tulisan sekarang yang tidak baik. Jadi, perlu ada counter. Perlu ada penentang melalui tulisan juga.

Saat sudah punya niat yang baik untuk menulis, masa mau berhenti di tengah jalan? Masa mau stres terus gara-gara sering ditolak dan dikembalikan tulisannya? Masa mau menyerah ketika orang lain mengatakan “jelek”? Masa mau menjual laptop gara-gara tidak punya beras? Eh, kalau yang ini, karena keadaan sih, ya!

Pada akhirnya, tulisan kita akan menemukan pembacanya sendiri. Jika sekarang tidak ada yang baca atau yang baca cuma beberapa gelintir orang, maka tidak masalah. Menulis saja terus. Konsisten saja dengan yang ada. Lama-lama tulisan kita akan makin terasah. Lama-lama tulisan kita akan makin meyakinkan. Dan, lama-lama tulisan kita akan makin tidak sebentar. Kan lama, bukan sebentar ya toh?

Jika mengalami gangguan kesehatan jiwa, seperti stres dan depresi, bahkan sampai berpikir untuk bunuh diri, hey, sadar! Bunuh diri itu boleh, asalkan tidak sampai mati dan tidak menyakiti diri sendiri. Eh, itu sih namanya bukan bunuh diri, ya?

Ada memang contoh penulis yang sampai bunuh diri, naudzubillah min dzalik. Contohnya adalah Hunter S. Thompson, Iris Chang, David Oliver Relin, Yukio Mishima, sampai dengan Ernest Hemingway yang menjadi peraih Penghargaan Pulitzer tahun 1953, bahkan Nobel di tahun 1954. Prestasi yang luar biasa, tetapi karena ada masalah dalam kesehatan jiwa mereka, maka diambillah keputusan untuk bunuh diri.

Ketika tulisan kita stuck, maka bisa dialihkan sedikit dengan membaca buku. Tapi, jangan baca buku tabungan, khawatirnya malah tambah sedih dan depresi, hehe. Membaca buku-buku motivasi, pengembangan diri, atau bisa juga membaca Al-Qur’an. Selain membuat hati lebih tenang, juga berpahala bukan? Dihitungnya per huruf, lho!

Menulis memang bisa mendatangkan masalah bagi tubuh kita ketika tidak diniatkan dengan benar. Namun, percayalah, menulis itu mendatangkan keasyikan tersendiri, lho! Betapa banyak orang tidak mau menulis karena tidak bisa menemukan keasyikan itu. Kata Iqbal Aji Daryono, seorang penulis kolom rutin Detik.com, membaca memang bisa meningkatkan kecerdasan, tetapi menulis jauh lebih bisa meningkatkan kecerdasan.

Menulis adalah hasil dari membaca. Hasil dari mengolah begitu banyak kata yang pernah dibaca dan dimasukkan ke dalam pikiran. Seharusnya, tidak perlu dong ada stres dan depresi, lha wong menulis itu memang menyenangkan, kok. Sedih karena ditolak, wajar. Kecewa karena tulisannya dianggap jelek, normal. Tapi, seandainya tulisan kita sukses terus, berhasil terus, tidak pernah ditolak orang, tidak pernah dijelek-jelekkan orang, justru akan membuat kita jadi sombong, lho! Merasa jadi orang yang paling hebat sedunia.

Nah, kalau sudah begitu, mau pilih mana? Sombong, meskipun hanya kecil sekali seperti biji sawi, tetap berdosa. Sombong itu adalah selendangnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Manusia seperti kita sangat tidak pantas dan pastilah tidak sanggup memakai selendangnya Allah tersebut.

Ayo, jadi penulis yang rutin memelihara kesehatan jiwa! Soalnya, kesehatan ini wajib dijaga. Kalau bukan kita, kapan lagi, kalau bukan sekarang, siapa lagi? Ada yang bisa menemukan keanehan di kalimat terakhir ini?

Baca Juga: Menjadi Mahasiswa Sempurna dalam Versi Lain

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.