Kenangan Akan Gotong Royong di Kampung

Kenangan Akan Gotong Royong di Kampung

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Bicara tentang gotong royong, bayangan saya bukan ke arah bola gotong, melainkan kegiatan yang biasa dilakukan warga kampung.

Ketika masih bujangan, saya tinggal di kampung bernama Keparakan Lor. Sebuah bagian dari kelurahan bernama Keparakan, Kecamatan Mergangsan, Kota Jogja.

Biasanya, kegiatan gotong royong dilaksanakan sepekan sebelum tujuh belasan. Tahu ‘kan tujuh belasan itu tanggal berapa? Membersihkan lingkungan, jalan, mempercantik dengan hiasan, pokoknya membuat lebih indah, lah.

Ada yang memasang umbul-umbul. Memasang hiasan bendera dari plastik yang digantung di atas jalan dengan tali kecil. Meskipun namanya gantungan dari tiang ke tiang, jangan sekali-kali menggantung pakaian di situ ya!

Bapak Sebagai Pemimpin Kampung

Bapak saya pernah menjadi ketua RT. Cukup lama beliau di jabatan tersebut. Pernah pula menjadi ketua RW. Kalau menjadi presiden, rasa-rasanya beliau belum pernah deh.

Beliau punya inisiatif yang tinggi. Waktu sudah tidak lagi menjadi ketua RT, saat terjadi gempa Jogja tahun 2006, justru beliau ditanya oleh ketua RT, “Piye iki, Pak Rus?” Lho, ketua RT kok malah bingung sendiri?

Sebagai mantan pemimpin, bapak sangat dihormati di kampung itu. Meskipun punya sifat yang tegas dan cenderung keras, tetapi wibawanya masih cukup kental sampai sekarang.

Pernah juga bapak menjadi ketua takmir masjid. Meskipun pada akhirnya beliau mengundurkan diri karena ada konflik dengan jamaah masjid sendiri. Yah, begitulah, selalu saja ada orang yang kurang bisa diharapkan, termasuk anggotanya sendiri.

Ketika bapak ikut gotong royong atau dalam hal ini kerja bakti, saya sebagai anaknya, mesti memperlihatkan diri di depan warga kampung. Sangat tidak pantas saya mengurung diri di kamar. Mengunci pintu, baru membuang kuncinya. Ini saya tidak sedang main sulap ‘kan? Saya harus menghilangkan kemalasan dan berbaur dengan warga masyarakat.

Lalu, apa yang saya lakukan? Yah, yang ringan-ringan saja, lah. Misalnya menyapu jalanan, mengecat pagar – bukan mengechat pacar, memasang bendera plastik ke tali, dan lain sebagainya. Kalau menyapu jalanan, terus mengepelnya, kok rasanya belum pernah ada yang melakukannya ya? Padahal kalau di rumah, semestinya begitu, habis menyapu, ya, mengepel.

Ini Dia yang Ditunggu!

Dalam setiap kegiatan gotong royong atau kerja bakti, yang paling dinanti adalah kehadiran kue-kue di atas meja pinggir jalan. Kue-kue yang dihidangkan dengan lembut oleh para ibu. Mereka sudah memasak, mungkin juga membeli jadi, dan disuguhkan ke para bapak.

Tentu saya juga menyambutnya. Menyantap beberapa kue dan minuman yang ada. Katanya sih, enaknya makan kue waktu kerja bakti itu justru pas lagi kotor-kotornya.

Jadi, pas tangan kotor, terus pegang kue, katanya di situ enaknya. Ah, masa sih? Bagaimana kalau misalnya tangan habis membersihkan selokan atau masuk got? Masa mau langsung makan kue? Masa mau langsung jadi presiden? Upss!

Kehadiran kue, lebih hangat ditambah dengan kebersamaan dan kumpul-kumpul dengan warga kampung. Mereka baku cerita, baku mengobrol, dengan topik-topik yang sembarang saja. Mungkin membicarakan bola, ekonomi, politik, atau keadaan kampung itu sendiri. Bila membicarakan janda sebelah kampung, saya belum pernah mendengarnya.

Saya punya beberapa teman akrab di kampung itu. Ya, saya juga mengobrol dengan mereka. Kebersamaan, kekompakan, dan kehangatan hubungan masyarakat, membuat pekerjaan selesai sebelum hari kiamat. Wah, maksudnya sebelum Dzuhur sudah selesai biasanya! Sebabnya, cuaca mulai jadi panas terik dan waktunya istirahat.

Dari pengalaman ikut gotong royong di kampung, saya juga dikenal, termasuk para gadis kampung. Ada yang terang-terangan titip salam buat saya lewat tetangga, teman akrab kedua orang tua. Ada juga yang malu-malu titip salam, tetapi suka dari jauh saja.

Saya sendiri tidak terlalu menanggapi hal itu. Mereka mau titip salam, silakan saja, dijawab saja dengan “Wa’alaikumsalam.” Sedangkan untuk melangkah lebih jauh, saya tidak mau, soalnya saya masih punya orientasi yang lain. Apakah itu? Wah, saya lupa, dulu apa ya?

Pada akhirnya, seringnya ikut kegiatan kampung membuat saya pernah diganjar penghargaan pemuda teladan. Saya memperoleh piagam khusus pada malam tirakatan. Itu adalah malam sebelum tujuh belasan.

Bangga dong menjadi pemuda teladan. Meskipun pada akhirnya, saya harus meninggalkan kampung itu karena disuruh orang tua untuk merantau ke Kendari. Kalau saya masih tinggal di situ, mungkin saya akan dijadikan ketua RT.

Sekarang, gotong royong itu seperti hilang saja. Saya tinggal di Kabupaten Bombana, kompleks perumahan BTN, tetapi sangat jarang ada kegiatan gotong royong.

Makanya, saya merindukan gotong royong seperti dulu. Walaupun tentu saja sudah dalam suasana yang sangat jauh berbeda. Rindu untuk pulang kampung akan selalu ada, meskipun belum ada uangnya. Pinjam pesawat terbang pribadimu dong untuk ke sana!

kamis-menulis

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

5 Comments

  1. Waah makanya banyak yang nitip salam, pemuda teladan sih.. sip.. mantab.mengenang gotong royong di kampung.

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.