Panggilan haji merupakan panggilan yang umum dilakukan di Indonesia. Biasanya memang, panggilan itu ditujukan kepada orang-orang yang sudah melakukan ibadah haji. Ya, iyalah.
Ada memang beberapa kisah unik yang berkaitan dengan panggilan haji tersebut. Ada sebuah toko besar, yang letaknya di dekat masjid yang juga besar.
Suami istri pemilik toko tersebut sudah menunaikan ibadah haji. Wajar dong, punya toko besar, pastilah keuntungannya juga besar.
Anehnya, setelah mereka pulang ke tanah air dan mendapatkan panggilan haji itu, justru kelakuannya berbeda ketika masih ibadah haji. Sang istri hanya memakai penutup rambut, mirip songkok bagi laki-laki. Penutup rambut itu mungkin dipakai untuk melapisi jilbab, tetapi di situ hanya pakai penutup rambut tanpa jilbab. Lehernya masih kelihatan. Telinganya juga masih kelihatan. Lho, ini bagaimana?
Sementara yang laki-laki, waktu dulu ibadah haji, rutin dan rajin ke masjid. Yang ini, adzan berkumandang di masjid, eh, sang bapak malah asyik dengan tokonya. Tidak bergegas ke masjid, bahkan tidak pergi ke masjid sampai salam jamaah. Wah, selain itu, sukanya masih pakai celana pendek! Jelas dong aurat kelihatan.
Baca Juga: Bayar Sekarang Atau Nanti?
Orang-orang, termasuk saya, berpikiran, ini dua orang suami istri, kenapa kompak sekali ya? Namun, sekarang, Alhamdulillah, mereka sudah cukup banyak berubah. Yang istri mulai pakai jilbab, meskipun ya belum syari banget macam pakai mukena itu. Dan, yang suami sepertinya juga mulai rajin ke masjid. Mungkin itu terjadi sejak mereka mengikuti beberapa taklim.
Kurang Nilainya
Ada juga seorang pejabat tinggi, tingkat provinsi, lah. Sebagai seorang pejabat, tanda tangannya sangatlah powerfull. Tanda tangannya bisa mempunyai banyak arti dan kegunaan. Seperti untuk prosedur penilaian pegawai negeri.
Pegawai yang ingin ditandatangani hasil penilaiannya itu mengirimkan berkas ke kantor provinsi dari kabupaten tempatnya tinggal. Soalnya, memang masih masa pandemi ‘kan? Selain itu juga makan ongkos. Jadi, tinggal kirim saja, beres!
Ternyata, setelah berkas ditandatangani, pegawai tersebut ditegur oleh staf di kantor provinsi. Katanya, sebenarnya bosnya tidak mau menandatangani karena gelarnya kurang. Gelar akademisnya memang sudah ada, tetapi gelar hajinya kurang. Kurang huruf H di depan namanya. Untunglah tetap ditandatangani dan bisa dipakai untuk keperluan lainnya.
Alasan Sampai Ada Panggilan Tersebut?
Kenapa sih, di Indonesia panggilan haji itu begitu marak? Saya pun mencoba mencarinya di Google. Yah, ada juga orang sih yang mengatakan Mbah Google. Mungkin karena usia Google sudah tua ya? Tapi, ternyata belum tua kok. Google didirikan oleh Larry Page dan Sergey Brin pada 1998 yang lalu. Jadi, baru 22 tahun! Wow, masih muda banget! Begitu kok dipanggil mbah ya? Kesannya mbah itu ‘kan malah banyak lupanya ya? Hehe…
Sebuah sumber dari inews.id, Oman Fathurrahman, filolog sekaligus Staf Ahli Menteri Agama, waktu itu lho ya, tidak tahu sekarang, pemakaian panggilan haji sudah menjadi tradisi. Katanya itu sah-sah saja.
Kata ahli yang sering dipanggil Kang Oman ini, perjalanan haji pada masa lampau memang mendatangkan kesulitan tersendiri. Tidak seperti sekarang yang tinggal duduk naik pesawat. Zaman dulu, meski naik kapal berbulan-bulan. Selain itu, kalau lewat darat, mesti melewati gurun pasir, kadang ada badai, kadang juga banyak perampok.
Nah, dari kesulitan tersebut, ketika ada orang yang selamat sampai kembali, maka dianggap berhasil mendapatkan anugerah dan kehormatan.
Dan, memang ada benarnya juga sih. Biaya untuk naik haji itu sangatlah tinggi. Untuk bisa mengamankan satu kuota saja membutuhkan 25 juta rupiah. Tentu, itu masih ada cukup banyak biaya lain. Itu juga untuk harga satu orang. Bagaimana dengan dua orang, tiga orang, dan seterusnya? Makanya, pantas jika haji itu ibadah bagi yang mampu saja. Sebenarnya semua bisa mampu, tetapi waktunya pastilah tidak sama.
Baca Juga: Peringatan Isra Mi’raj Setiap Hari
Saya menyaksikan sendiri, beberapa tahun lalu, ketika sholat Idul Adha. Tempatnya di sebuah lapangan dekat SD, tidak jauh dari masjid raya. Mereka yang sudah pernah melakukan ibadah haji, mengenakan pakaian khas orang Arab. Memakai jubah panjang, yang panjangnya malah melebihi mata kaki. Mereka memakai thawb atau thobe yang menjadi pakaian tradisional di negara-negara Timur Tengah, seperti: Arab Saudi, Maroko hingga Oman. Sedangkan tutup kepalanya bernama keffiyeh.
Melihat pakaian semacam itu, jadi rasanya aneh. Sebab, kalau di sini ‘kan biasanya pakai songkok nasional, baju koko, sarung atau celana panjang hitam. Itu saja. Kalau mau pakai pakaian yang tampil beda itu namanya sugroh. Tampil beda yang akhirnya bisa jadi kesombongan. Naudzubillah min dzalik.
Pakaian yang terbaik itu justru yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat. Selama tidak melanggar syariat Islam, maka itu mesti kita pakai. Agar kita lebih mudah membaur, tidak terkesan eksklusif. Begitulah.
Bagaimana Makna Panggilan Haji Menurut Ustadz Adi Hidayat?
Tadi pagi, sempat ada video dari TikTok tentang panggilan haji ini menurut Ustadz Adi Hidayat. Ustadz yang – Masya Allah – mempunyai hafalan Al-Qur’an yang luar biasa. Tidak hanya hafal ayatnya, tetapi juga nomor surahnya, bahkan letaknya. Masya Allah, mungkin jarang sekali ada ustadz macam begini di Indonesia. Kalau di Timur Tengah, saya yakin sudah banyak.
Kata Ustadz Adi Hidayat, panggilan haji itu sebenarnya bukanlah gelar. Kalau ada gelarnya, maka setiap ibadah yang kita lakukan juga mesti pakai gelar. Tidak ada ‘kan orang habis sholat berjamaah di masjid, lalu dipanggil Pak Sholat? Atau Bu Puasa? Ustadz Adi pun mencontohkan dirinya sendiri: Adi Hidayat, SHI yang artinya Sholat, Haji, Infaq. Hehe..
Lalu, apa makna dari panggilan haji itu sebenarnya? Beliau menegaskan bahwa itu sebenarnya adalah kata atau panggilan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang dititipkan melalui lisan orang lain. Lebih dalam lagi maknanya adalah ketika ada orang yang dipanggil dengan “Pak Haji” atau “Bu Haji”, maka itu tandanya: dia itu sudah diampuni Allah, pahalanya sudah banyak, oleh karena itu, jangan lagi berbuat banyak maksiat yang nantinya akan berujung kepada surga yang ditukar dengan amal-amal kejelekan itu tadi.
Saya membuat status semacam itu di Facebook dan ada yang menanggapi bahwa semestinya orang yang sudah berhaji itu menjadi contoh. Ibadahnya haruslah makin rajin. Nah, ini benar juga. Menjadi contoh, minimal rutin dan rajin sholat berjamaah di masjid. Terdepan dalam urusan infaq maupun sedekah. Paling maju juga untuk urusan dakwah. Dan, ibadah-ibadah lainnya.
Ada juga yang berkomentar lain, panggilan haji itu siapa yang kasih gelarnya? Kalau pejabat macam bupati atau gubernur, diberikan gelar, jelas ada yang melantik, tapi kalau orang biasa? Siapa yang memberi pangkat haji, hayo? Wah, bikin bingung juga ya?! Hehe…
Intinya, menyandang panggilan haji itu memang berat. Oleh karena itu, mesti dijaga dengan sebaik-baiknya. Sebab, untuk melakukannya membutuhkan energi, uang, dan pengorbanan waktu. Terutama uang nih yang mencapai puluhan juta rupiah. Masa mau disia-siakan begitu saja dengan tidak menjadi haji yang mabrur? Ya ‘kan?
Menarik. Saya pernah bertanya pada orang yang pernah jadi santri, kata beliau sebutan “haji” itu untuk menghormati orang yang telah pergi haji. Karena yang berangkat haji sesungguhnya adalah orang yang dipanggil dan dimampukan oleh Allah.
Banyak orang kaya tajir melintir, tapi tak pergi haji. Sementara ada pemulung atau pengayuh becak bahkan tukang parkir yang bisa berangkat haji. Ada yang sudah terjadwal haji namun saat keberangkatan ia tak jadi pergi.
Saya bahkan pernah dengar kisah dari guru bahwa tetangganya menangis sejadi-jadinya karena terpanggil ke baitullah. Ternyata istrinya yang mendaftarkan. Orang tersebut sadar ia banyak dosa, sering kasar pada istrinya, dsb. Tapi toh Allah panggil juga.
Semoga kelak kita pun mendapat panggilan Allah ya Pak. Nice tulisannya.
Masya Allah, istri yang sering dikasari suaminya, tetapi membalasnya dengan kebaikan. Inspiratif banget. Makasih kunjungannya Bu Ditta.
Iya juga yaa siapa yang melantik gelar H, yaa? Hmmm…. perlu dipikirkan juga nih.
Yang terpenting jangan sampai setelah memiliki gelar H di depan namanya dipanggil dua kali.
“Haji Haji kok … ” heheheh
Nanti kebanyakan gelar haji, jadi HHHHH dibaca Hahaha. Naudzubillah..
Memanggil dg sebutan pak Haji atau Bu hajjah ada baiknya juga sebagai penghargaan atas perjuangannya melaksanakan ibadah haji, yg bagi sebagian besar orang tidak mudah untuk dilaksanakan.
Betul sekali itu Bu, namun godaannya juga besar pasca haji, bagaimana menjaga keikhlasan dari ibadah yang agung tersebut.
Haji…hanya orang-orang yang mendapat panggilan Allah saja yang dapat melaksanakannya.
Di tempat kami diistilahkan mendapat “undangan” Allah
Semoga kita juga mendapat undangan untuk datang ke Baitullah ya pak
Mudah-mudahan, Bu, sebab undangan dari Allah memang sangatlah spesial, lebih berharga daripada undangan siapapun.
Jadi pengin kesana Bung. Semoga kita dimudahkan Allah SWT Aamiin
Aamiin ya rabbal ‘alamin pak..
Almarhum Pak Guru saya, pergi haji. Beliau tidak mau dipanggil Pak Haji. Seperti kata Pak Adi Hidayat, tidak ada Pak Shalat, Pak Puasa.
Mudah-mudahan ini demi menjaga keikhlasan.
Semoga gelar Haji menjadikan lebih baik amalnya dan menjadi pengingat. Yang tidak mau dipanggil ‘ Haji’ semoga terjaga keikhlasannya. Yang penting jangan sampai kita yang meminta dipanggil Haji.
Benar Pak.. Banyak orang kaya raya namun tak kunjung haji namun sebagian orang yang hanya pekerja kasar justru bisa melaksanakan haji, niat ternyata akan memudahkan segalanya. sesungguhnya Allah hanya memanggil kita dalam tiga waktu yaitu panggilan adzan, panggilan Haji dan panggilan kematian.. Semoga kita bisa mempersiapkan ketiga panggilan tersebut dengan baik hingga kita bisa bertemu Allah dalam keadaan baik pula.