Sepeda Cinta [Terinspirasi Dari Kisah Nyata]

Sepeda Cinta [Terinspirasi Dari Kisah Nyata]

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Kali ini masih terinspirasi dari kisah nyata. Tentang aku, seorang muslimah, yang telah banyak menjalani kehidupanku dengan sepeda ini. Sepeda cinta. Sampai aku memberikan sebuah jawaban kepada si dia. 

Sebenarnya, aku mengenalnya memang sudah lama. Kenyataan bahwa rumahku dan rumahnya tidak terpisah jauh. Ya, masih berada di satu kelurahan. Oleh karena itu, ketika ada kegiatan, kadang bertemu juga, di masjid. Ya, aku ini bisa dibilang seorang aktivis dakwah. Melalui sebuah organisasi yang tidak perlu kusebutkan di sini. Sedangkan dia, kutahu cuma lewat masjid kampungnya. Cerita bermula dari sini.

Aku mengenalnya sebagai orang yang pintar. Yah, paling tidak penampakannya terlihat pintar. Mungkin kamu tahu yang penampakan pintar itu seperti apa `kan? Nah, itu dia, kamu sudah tahu!

Dia suka sekali membaca buku. Waktu itu, belum ngetren smartphone atau ponsel model Android. Setahuku, dia juga tidak punya HP. Terus, apa aktivitasnya selain berdakwah? Dia itu seorang pengusaha. Tapi, pengusaha kecil banget. Dia mengelola sebuah warung atau toko yang dibuat oleh orang tuanya. Ya, dia menjaga toko itu sesempatnya. Toko yang berada di pinggir jalan dan di depan rumah. Tidak mungkinlah, bikin toko di tengah jalan, atau malah di dalam rumah.

Karena hobinya memang membaca buku, ketika jaga toko itu, juga sambil menikmati lezatnya setiap kata dan kalimat. Namun, bukan di situ, poin pentingnya. Dia pernah menjadi pemenang salah satu lomba resensi buku yang diadakan penerbit terkenal di kota itu. Dan, yang lebih mengherankan lagi, buku yang diresensi adalah hasil gratisan dari sebuah acara pengajian. Ngeri juga `kan?

“Eh, selamat ya sudah menang lomba!” Ucapku kepadanya waktu ada di depan tokonya. Jelas, senyumku juga mengembang untuknya.

“Oh, ya, makasih Mbak.” Dia memang memanggilku Mbak karena aku memang lebih tua usia. Beda dua tahun. Tidak terlalu jauh, lah. Tidak sampai dua ratus tahun :p

Dari situ, rasa kagumku makin bertambah, karena sosoknya yang pandai dalam mengemukakan pertanyaan di depan umum. Bayangkan, pertanyaan-pertanyaan yang berhadiah buku itu sebenarnya sama saja. Di masjid satu, pertanyaan ya itu. Di masjid lain, mirip juga. Bahkan, ada pula penulis yang di masjid satu, terus ke masjid lain, dan dia mengikutinya. Wah! Aku sendiri cukup malu untuk bertanya. Sementara dia, memang pede!

Merantau

Aku tahu, sebenarnya dia ingin menjadi seorang pengusaha dan penulis, sesuai dengan kata hati nuraninya. Namun, keinginan mulia dan luhut, maksudnya luhur itu, harus dipendam dulu untuk sementara. Orang tuanya menghendaki untuk menjadi seorang pegawai. Tidak perlu kutuliskan pegawai apa, yang jelas pegawai. Inilah yang membuat sedikit beban di pikiranku. Aku nantinya akan berpisah dengan sosok yang mulai kukagumi itu. Dia akan merantau.Aku juga heran dengan diri ini. Aku pernah ke rumahnya, duduk di ruang tamunya, bicara dengannya, cuma berdua di ruang tamu. Meskipun ada juga sih bapaknya di ruang tengah dan ibunya sementara menggantikan berjaga di toko. Dari gaya bicaranya memang menyenangkan dan kita tidak cepat bosan. Karena dia juga pandai dalam mengolah humor yang meskipun garing, tapi lumayan segar. Lho, gimana ini?

Sementara itu `kan sebenarnya suatu tindakan yang berani. Bayangkan, seorang muslimah bertamu ke laki-laki muda atau cowok. Remaja masjid lagi. Tapi, dorongan hati ini sudah terlanjur mendorong di dalam hati. Ini kalimatnya juga bikin aku bingung, yang penting kamu tahu maksudnya, lah.

Tidak cuma itu sebenarnya, aku juga pernah menemuinya di ruang tamu rumahku. Yah, berdua juga. Dia datang dengan sepedanya. Namun, inti dari cerita ini adalah …

Suatu Pertanyaan

Kuliahnya sudah hampir selesai, tinggal menunggu wisuda. Sementara perpisahan fisik sudah di depan mata. Ada satu pertanyaannya yang tidak langsung kujawab. Pagi-pagi jam enam, dia mengirimkan sebuah SMS. Bukan SMS yang isinya bercanda, meskipun aku tahu dia suka bercanda. Sebuah pesan yang cukup panjang. Awalnya meliuk ke sana ke mari, pakai bahasa yang sehalus mungkin, tapi intinya jelas: dia melamarku! Ya, dia mengutarakan niat itu lewat pesan dari HP itu semampunya. Aku tahu mungkin dia memang kurang pengalaman dalam menyampaikan itu. Tapi, kulihat dari bentuknya, dia memang tulus dan betul-betul berniat untuk bersamaku dalam ikatan yang halal.

Bagaimana jawabanku? Itulah yang tidak gampang kusampaikan. Aku perlu berpikir, menelaah, memilah untuk memilih, apa jawaban terbaikku? Apa perlu kusampaikan pula ke orang tuaku? Ah, sepertinya tidak usah. Toh, ini cuma butuh jawaban pribadiku. Barulah, nanti kalau dia betul-betul datang melamar, orang tuaku juga harus memberikan jawaban.

Jam sembilan pagi, aku memberikan jawaban itu. Aku sudah berpikir dengan cukup keras, juga memohon petunjuk dari Allah. Kukirimlah jawaban lewat SMS pula. Aku mencoba pula dengan kalimat yang selembut mungkin. Khawatir dia jadi tersinggung atau apalah. Mau tahu jawaban apa itu? Mungkin tidak seperti yang kamu duga, aku mengatakan: TIDAK. Ya, aku menolak permintaannya untuk menjadikan aku bagian halal dari kehidupannya nanti. Lalu, apa alasannya untuk membuat jawaban tidak seperti harapannya? Ah, aku terlalu malu untuk hal ini. Ada berbagai alasan yang tidak bisa kutuangkan semua di sini. Yang jelas, intinya janganlah dia mengharapkan aku lagi.

Betul-betul Perpisahan

Setelah jawaban itu sampai, dia tidak lagi bertemu denganku. Dan, SMS juga tidak lagi menjadi pesan dari hati lewat udara. Intinya, sudah selesai. Silakan dia untuk mencari yang lain. Aku tahu, waktu itu dia belum punya pekerjaan. Dan, menurutku, dia akan berusaha untuk mendapatkan itu setelah ada tulang rusuknya yang hilang. Jaringan teman bisnisnya lumayan luas.

Tibalah saat, dia harus meninggalkan kota itu. Menuju kota lain, di seberang pulau, untuk menjadi seseorang yang diharapkan oleh orang tuanya. Entahlah, apakah dia terluka atau tidak dengan keputusan dariku? Aku berharap semoga dia berhasil di sana dan mendapatkan jodoh yang diidam-idamkannya. Ya, biarlah aku sendiri dulu. Usiaku yang sudah matang sekali untuk menikah, tidak terlalu mendorongku untuk segera seperti itu. Aku maunya sendiri dulu. Naik sepeda ke tempat-tempat yang tidak terlalu jauh. Sepeda yang kuberi nama dengan sepeda cinta.

Sepeda yang mengantarkanku untuk mencari ilmu, berbagi ilmu dengan para ibu di kampung, dan juga telah sempat menemukan rasa kagum kepada sosok laki-laki, meskipun untuk meneruskannya, aku tidak bisa. Maafkan..

Sekaligus pesanku untuk muslimah yang lain, hati-hati dengan urusan hati. Kalau kamu masih bisa menjaga hati, maka hidupmu masihlah berarti.*

Baca Juga: Aku Bukanlah Pelakor [Diangkat Dari Kisah Nyata]

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

4 Comments

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.