Sebuah Jalan

Sebuah Jalan

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Setiap hari kita pastilah melewati jalan-jalan yang ada. Dimulai dari jalan kamar tidur ke kamar mandi yang katanya OTW itu, hehe. Dari kamar mandi ke ruang tamu. Hingga ke luar rumah. Kali ini khusus tentang sebuah jalan. Apakah itu?

Membahas tentang jalan, memang menimbulkan problematika dan romantika tersendiri. Sebut saja, persepsi jalan di sini, yang tidak jauh-jauh dari jalan rusak, berlubang-lubang, berdebu ketika panas, dan berlumpur setelah hujan. Badan jalan yang sempit dan kadang susah untuk dilalui mobil yang berpapasan. Kalau ini sih, lebih pas jalan di dalam kompleks perumahan. Alhamdulillah, kompleks tempat tinggal saya tidak seperti itu.

Beda dengan di Kota

Saya tinggal di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Dikatakan kota besar, jelas tidak. Di sini hanyalah kabupaten yang sedang berkembang. Alhamdulillah, cukup bagus perkembangannya.

Tinggal di kabupaten seperti ini, wah, jauh sekali dibandingkan dengan di kota besar! Dahulu saya mengalami seperti itu, semacam cultural shock datang di kota besar. Padahal, saya berasal dari kota Jogja, tahu sendiri ‘kan Jogja itu kota yang bagaimana?

Baca Juga: Kenali Positif dan Negatif Pendidikan Anak Serba Boleh Semuanya Alias Yes Parenting

Datang ke Bombana pada tahun 2010, ditempatkan sebagai PNS. Jika tidak salah, saya mendapatkan perjalanan dinas ke Jakarta tahun 2012. Bersama satu teman operator keuangan dan kepala kantor.

Masya Allah, waktu itu saya betul-betul takjub melihat pemandangan kota Jakarta yang dipenuhi gedung-gedung tinggi, melebihi tinggi badanku, ya iyalah. Jalanan yang sangat mulus berupa jalan tol, menikmatinya dalam mobil, tanpa harus pusing dengan lubang jalanan. Yah, meskipun itu bukan mobilku juga sih, tapi rasanya sudah nikmat banget gitu lho!

Jalan tol memang berbayar, karena kita mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan di jalan biasa. Contohnya: frekuensi perjalanan yang lebih cepat. Saya pernah mendapatkan tiket pesawat ke Kendari jam 03.10 WIB. Wuih, bayangkan itu, sebelum Subuh, sudah harus mengudara. Saya berangkat dari hotel, sekitar jam setengah dua. Saya paksakan tidak tidur sebelumnya agar tidak terlambat.

Lancar sekali, lengang sekali. Perjalanan sekitar setengah jam lewat tol. Okelah, mungkin kamu bilang, lah itu ‘kan dini hari, jalanan jelas sepi. Iya memang, sepi, tetapi ternyata ketika siang, jalan tol juga lancar. Lebih cepat. Saya pernah dari bandara ke stasiun Gambir dengan bus Damri, juga relatif cepat. Kalau jalan biasa, sudah pasti akan terjebak macet. Menggerutu di sana-sini. Huh, capek deh!

Makanya itu, melewati sebuah jalan, kadang mental gratisan berbicara di sini. Sesuatu yang berbayar itu memang biasanya lebih baik. Jalan tol menawarkan kelebihan dibandingkan jalan biasa, tetapi harus kita tebus, harus kita korbankan uang kita yang sekarang secara elektronik itu.

Jalanan mulus menuju Bombana dari Kendari, sepengetahuan saya adalah di kawasan PPA. Jalanan sepanjang kurang lebih 30 kilometer sebelum benar-benar menginjak Bombana. Tampak tidak ada perumahan di kanan dan kiri jalan. Hampir sepenuhnya padang rumput. Dahulu, mulusnya luar biasa. Mobil-mobil banyak yang dipacu dengan kecepatan tinggi. Lebih cepat sampai, tetapi tetap nyaman.

Jalan yang Lain

Tadi dibahas tentang jalan-jalan fisik yang kita temui setiap hari. Lalu, jalan apa sih yang dimaksud di tulisan saya kali ini?

Saya mengambil sebuah jalan, yaitu: jalan untuk mendapatkan rezeki. Itu kalau jalan yang positif. Ada lagi makna lain, yaitu: jalan untuk mendapatkan uang. Apalagi kalau uang banyak, siapa sih yang tidak suka? Untuk hal ini, masih banyak orang melaluinya secara benar, tetapi masih banyak pula yang melewatinya secara salah.

Membahas jalan untuk mendapatkan uang, saya jadi teringat waktu bulan Ramadhan. Yah, dahulu waktu masih ada televisi di rumah orang tua dan tentu masih tinggal bersama mereka, kami sering menonton tayangan-tayangan yang sok lucu ketika sahur. Para artis yang mencoba menghibur pemirsa yang sedang menyantap hidangan sahur. Mereka menampilkan adegan-adegan yang sekiranya akan memancing tawa. Padahal menurutku sih, memancing emosi, karena tidak berfaedah apa-apa.

Saya dan keluarga sahur jam setengah empat. Berarti para artis itu sudah bersiap-siap beberapa jam sebelumnya. Pastinya dong! Kalau jam segitu mereka syuting, terus bangun tidurnya jam berapa? Bukankah bisa jadi mereka juga ada kerjaan malam? Wuih, waktu tidurnya jadi berapa jam tuh? Kemungkinan sih sedikit sekali tidurnya.

Padahal yang namanya syuting, membutuhkan stamina yang tinggi. Masa artis syuting acara sahur cuma duduk diam kayak patung? Pastilah mereka berusaha untuk aktif, gerak sana, gerak sini, ketawa haha, hihi, dan lain sebagainya. Itu jelas harus ada tenaga dan energi yang lumayan besar.

Namun, pesona uang yang banyak pastilah menjadi motivasi mereka. Puluhan hingga ratusan juta yang bisa didapatkan dari bisnis hiburan semacam itu. Makanya, mereka jadi bersemangat untuk menghibur pemirsanya. Bahkan dengan joget-joget busuk di depan tivi akan mereka lakukan. Yah, demi uang, demi duit. Apalagi kalau bukan itu?

Coba kita bahas yang lain deh, jangan artis terus, nanti ke-GR-an mereka. Orang biasa saja deh. Tadi saya singgung sedikit tentang macetnya jalan. Ternyata, di Kendari pun sudah mulai macet. Saya mengalaminya di depan SMA 4. Yang bikin macet adalah angkot yang ngetem menunggu penumpang. Kendaraan mobil para penjemput juga tampak di situ. Bertumpuknya kendaraan jelas membuat macet.

Kalau jalan macet, memang sering diisi oleh para pemburu penghasilan, maupun pemburu pendidikan. Itu bisa terjadi di pagi hari, yah, sekitar jam 7-8, maupun siang hari atau sore hari. Pemandangan macet sudah jadi barang sehari-hari seperti di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.

Apakah perjalanan mereka itu dalam memburu rupiah selalu mendatangkan hasil yang besar? Oh, belum tentu dong! Itu semua tergantung dari banyak faktor. Ada yang memang honornya kecil, sebenarnya sangat tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun, mau kerja di mana lagi? Mau kerja bagaimana lagi? Kemampuannya hanya itu kok. Disyukuri saja yang ada. Ya nggak?

Baca Juga: Sebuah Kisah Tentang Pengendalian Diri (Jangan Mau Terpengaruh Orang Lain)

Ada juga sih yang dapatnya besar. Malah sangat besar. Tapi seiring gaya hidupnya yang wah, uang banyak itu pun cepat lenyapnya. Ujung-ujungnya jadi kurang lagi. Jadi, mesti kerja lebih keras lagi.

Fenomena ramainya jalan memburu uang, memburu dunia, memang selalu tampak setiap hari. Padahal, ada sebuah jalan yang bisa melebihi itu semua. Jalan apakah itu?

Mari kita ingat hadits yang mulia berikut ini:

عن عائشة عن النبي قال (( ركعتا الفجر خير من الدنيا وما فيها )). رواه مسلم. وفي رواية (( لهما أحب إلي من الدنيا جميعاً ))

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua raka’at shalat Fajr lebih baik dari pada dunia dan seisinya.” [HR. Muslim] dalam riwayat lain dengan lafaz: “Sungguh kedua raka’at tersebut lebih aku cintai daripada dunia semuanya.”

Itu adalah keutamaan yang didapatkan dari sholat sunnah dua rakaat sebelum Subuh. Ingat, sebelum Subuh. Keutamaannya saja begitu besar, melebihi dunia dan seisinya, apalagi sholat Subuhnya. Ya ‘kan? Ditambah dengan sholat Subuh berjamaah di masjid. Wuih, Masya Allah!

Namun dan Akan Tetapi

Memburu dunia yang mungkin hanya segelintir didapatkan, sementara yang lebih baik daripada dunia dan seisinya malah sering ditinggalkan orang. Ini ‘kan terbalik ngab. Dan, kita lihat sendiri, rasakan sendiri, jika kita sholat Subuh berjamaah di masjid, jalan yang ada sepi sekali. Sepinya luar biasa.

Orang-orang lebih memilih tidur nyenyak, dengan selimut, AC, kasur yang empuk dan nyaman, daripada ke luar rumah disergap udara dingin demi langkah-langkah ke masjid. Padahal, yang mereka harapkan adalah dunia, tetapi kok yang lebih baik daripada dunia malah tidak dikejar sih?

Aneh bin nyata. Dan, memang begitulah adanya. Apa mungkin karena pahala itu tidak kelihatan ya? Apa mungkin karena keutamaan melebihi dunia dan seisinya itu tidak tampak di dunia ini secara fisik? Mereka akan lebih percaya kalau wujudnya uang tunai misalnya. Saat orang sholat Subuh berjamaah di masjid, sebelum pulang melalui sebuah jalan lagi seperti tadi berangkat, diberikan uang 100 ribu rupiah, maka mungkin akan jauh lebih semangat.

Pada akhirnya, saya pun harus introspeksi. Sebab terkadang karena lelahnya begadang menyebabkan saya bangun terlambat, hingga akhirnya terlambat pula sholat Subuh di masjid. Kalau jalan yang macet, berdebu, kadang diguyur hujan lebat, plus potensi gangguan keamanan yang mengerikan, bisa ditempuh demi mendapatkan sedikit dunia, tetapi yang lebih baik lagi mestinya juga kita pikirkan. Eh, jangan cuma dipikirkan deng. Juga ada usaha untuk mengamalkannya semampu kita. Oke?

Baca Juga: Alternatif Lain Menggambar Pemandangan

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.