Pertemuan, Perpisahan, dan Air Mata Karena Luka di Hati

Pertemuan, Perpisahan, dan Air Mata Karena Luka di Hati

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Alkisah, terdapat tiga orang remaja yang bersahabat satu sama lain. Sebut saja, Udin, Ridwan, dan Tya. Mereka berada dalam satu kelas, dalam derajat kelas paling ujung sebelum berpisah lulus SMA.

Udin berperawakan dewasa. Badannya agak gemuk, berkaca mata lebar, kepalanya sedikit botak. Ridwan biasa saja, badannya biasa, tidak ada yang luar biasa pada dirinya.

Sementara Tya berjilbab rapi, tanpa kaca mata, berjerawat tipis, pandai menyanyi, dan jaringan pertemanannya luas. Konon, dia kenal dengan Cak Nun dan Ustadz Wijayanto.

Awal Persahabatan

air-mata-karena-luka-di-hati-2

Ketiga remaja itu memang tidak mengenal prinsip pacaran. Kalau dikatakan pacaran, wuih, mungkin akan menjadi cinta segitiga biru. Lho, kok malah bahas merek terigu?

Udin memberitahu Ridwan bahwa Tya akan manggung. Pertunjukan Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Kabarnya Tya akan ikut menyanyi religi.

Ridwan pun tertarik, apalagi yang mengajaknya adalah Udin, yang pastinya tidak akan mengajak ke acara yang aneh-aneh.

Singkat cerita, kedua ABG itu terpesona dengan penampilan Tya yang suaranya mengalun lembut pada malam itu. Suaranya yang aduhai mampu menenggelamkan jiwa dua orang anak SMA itu yang memang tenggelam di lautan penonton. Mereka jadi ingat dengan Allah, meskipun lewat pertunjukan musik religi. Namun, sebenarnya yang lebih diingat mereka, si Tya itu sendiri.

Ridwan memang kurang mengenal Tya, tidak seperti Udin yang sudah kenal sejak kelas 1. Dan, Udin sudah lama ngefans dengan Tya. Dia tidak mau ngefans sendiri, makanya dia mengajak Ridwan. Dan, tak dapat dimungkiri, apalagi dimungkanan, Ridwan ikutan ngefans!

Baca Juga: Bayar Sekarang Atau Nanti?

Tidak cuma dengan lagu religi ternyata, bahkan dengan lagu-lagu cinta mereka juga dipersatukan. Salah satu penyanyi yang difavoriti mereka bertiga adalah Ari Lasso. Tya beberapa kali menyanyikan lagu Ari Lasso di dalam kelas. Saat terdengar Udin, begitu juga Ridwan, Udin berkomentar, “Wueee, elok Tya!” Dan Tya pun tersenyum manis.

Ridwan juga memberikan komentar yang positif. Tapi, lupa apa komentarnya waktu itu? Coba kamu tanya dia, biar lebih jelas!

Menjelang Tutupnya Waktu

air-mata-karena-luka-di-hati-1

Sebentar lagi, perjumpaan dan kebersamaan mereka di SMA akan segera berakhir. SMA memang membatasi hanya tiga tahun, terlalu singkat bagi mereka. Apalagi kelas tiga yang memang dihitung-hitung tidak sampai satu tahun.

Tya mengatakan ke Udin dan Ridwan, “Aku mau pindah ke Jakarta.”

Udin dan Ridwan langsung kaget. Berarti, mereka tidak akan bisa bertemu di kota itu setelah lulus nanti. Sebab, kota tersebut memang berjarak sekitar 7-8 jam dari Jakarta.

“Lho, kok mau pindah ke sana, Tya?” Tanya Udin sambil membetulkan kacamatanya. Kalau ini membetulkan kacamata, apakah sebelumnya menyalahkan kacamatanya ya?

“Iya, Din, soalnya mau langsung kerja juga di sana. Mungkin aku nggak akan kuliah habis ini.”

“Wah, sayang sekali, Tya, kalau nggak kuliah?” Kali ini Ridwan yang berkomentar.

“Bener juga sih. Tapi maunya keluargaku begitu.”

Rencana kepindahan Tya ke Jakarta itu rupanya juga menyisakan sedikit goresan di hati Ridwan. Bahkan, mulai menimbulkan luka yang menganga. Dalam hatinya, mulai tumbuh rasa cinta. Namun, bukan cinta lalu berujung kepada pacaran. Tya sama sekali tidak mau begitu. Maunya, kalau serius, nikah saja langsung.

Mengapa Ridwan mulai suka? Ternyata, oh, ternyata, beberapa kali Tya meminta diantarkan pulang ke kost. Ridwan berhasil diberikan sepeda motor oleh bapaknya di kelas 3, meskipun sudah meminta sejak kelas 2.

Yah, sebuah motor 2 tak yang asapnya lumayan tebal dan mirip fogging demam berdarah itu, tetapi dia sudah merasa senang dan bangga, anak SMA bisa pakai motor sendiri. Dan, lebih senang lagi, memboncengkan Tya, si pujaan hati.

Jangan bayangkan kost Tya bebas. Kostnya cewek, tetapi adab tetaplah terjaga. Menerima tamu tidak boleh di dalam kamar tidur, apalagi di kamar mandi – memangnya mau menguras kamar mandi sama-sama?

Bertamu cukup di ruang tamu. Kan dari istilahnya memang untuk menerima tamu. Meskipun demikian, batin Ridwan sudah senang luar biasa. Sudah lumayan puas.

Pulang sekolah itu, sampai Ashar, mereka banyak ngobrol. Tanpa kehadiran Udin, membuat Ridwan jadi lebih bebas ngomong. Lebih leluasa. Kalau ada Udin, mungkin si Udin ini yang akan mendominasi percakapan.

Tya menuturkan minatnya pada menyanyi. Sudah lama dia menekuni dunia tarik suara itu. Berangkatnya sih memang dari hobi. Ridwan banyak mengangguk sambil menikmati cemilan ala kadarnya, dan minum pun ala kadarnya. Sementara wajah Ridwan juga ala kadarnya, halah.

Pertemuan yang intens rupanya betul-betul membekas di hati Ridwan. Ketika malam hari, dia terbayang sosok Tya. Apalagi jika di radio memutar lagu-lagu Ari Lasso, dia jadi tambah kesengsem.

Namun, perasaan itu harus dia bunuh. Sebab, pertemuan nanti setelah lulus tidak akan ada lagi. Mungkin bisa lewat telepon, tetapi pastilah berbeda. Gawai macam Android belum ada waktu itu. Mungkin yang bikin Android juga masih SMA kali ya?

Dari Rumah Tya

air-mata-karena-luka-di-hati-3
Tebak hayo, rumah Tya yang mana?

Momen perpisahan itu memang tidak bisa ditahan lagi. Lewat sebuah acara perpisahan di sebuah gedung kampus negeri, dengan pagelaran musik, anak-anak itu sudah bukan lagi anak SMA.

Seragam mereka sudah dicorat-coret. Ruangan kelas-kelas akan terasa lengang tanpa mereka berada di dalamnya lagi. Sebab, banyak sih yang suka corat-coret kelas. Kan kasihan temboknya, ya toh?

Ridwan pulang dari acara itu dengan rasa pilu. Resmi sudah dia lulus. Meskipun dia sudah diterima di sebuah perguruan tinggi negeri lewat ujian yang waktunya lebih dulu daripada ujian nasional, dia tetap tidak mudah melepaskan predikat sebagai anak SMA. Masa tiga tahun yang begitu singkat, begitu juga perasaan ke Tya.

Ternyata, Tya tidak langsung ujug-ujug ke Jakarta. Dia masih berada di kota itu kok. Nah, ada kesempatan Ridwan untuk datang ke rumahnya. Wuih, ini jangan sampai disia-siakan! Karena mungkin saja, setelah itu, dia akan langsung terbang ke Jakarta.

Ridwan tidak mengajak Udin. Ngapain juga pakai ajak-ajak sahabatnya itu? Ini lebih cenderung ke urusan hati, pribadi, dalam diri Ridwan terhadap Tya.

Seperti biasa, orang bertamu, ngobrol sana-sini disuguhi makanan ringan, minuman ringan. Beberapa kesempatan Ridwan dan Tya tertawa bersama. Yah, tertawa yang agak garing sebenarnya. Itu yang dirasakan Ridwan. Momen yang tidak bisa dia cegah juga. Mungkin, berdasarkan analisis Ridwan, Tya selain kerja di Jakarta, sepertinya juga akan menikah. Waduh, ini yang agak berat diterima oleh Ridwan!

Baca Juga: Cerpen CPNS

Dalam pertemuan itu, sudah muncul kabar seorang artis papan atas Indonesia yang meninggal dunia. Namanya Taufik Savalas. Artis hiburan, yang pandai menirukan suara para tokoh politik, pelawak, murah senyum, tampangnya menggemaskan, tetapi menampilkan sosok yang religius juga. Taufik pernah menangis saat memberikan sedekahnya.

Saat ngobrol itu, Ridwan sedikit tersita perhatiannya oleh suara TV. Benda itu menghadap ke ruang tamu dari ruang tengah. Tapi, tidak ada yang menonton di situ. Jadi, layar tidak tertutupi atau terhalangi.

Sebuah tayangan sinetron, eh bukan, tayangan berita artis. Mengenang Taufik Savalas rahimahullah. Tayangan waktu Taufik umroh atau haji. Dia mengatakan, “Ya Allah, aku datang ke sini tidak membawa apa-apa, selain dosa.”

Kalimat itu langsung menohok hati Ridwan. Betul-betul menohok. Kalimat yang tampak sederhana dan biasa saja di mata orang lain, mungkin, tetapi tidak bagi Ridwan. Taufik Savalas adalah sosok artis berpenghasilan tinggi, tetapi dia mengatakan tidak membawa apa-apa selain dosanya.

Ridwan jadi merenung. Masa mudanya yang diisi dengan banyak dosa, itulah yang dibawanya setiap hari. Itulah yang jadi bebannya setiap saat. Memang, dia sholat lima waktu, Alhamdulillah sudah berjamaah di masjid, tetapi apakah ada jaminan pahalanya? Apakah ada jaminan ibadahnya diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala?

Apakah juga dia bisa berbangga mengatakan bahwa dia membawa pahala ke mana-mana? Lalu, bisa pamer ke orang lain, ini aku bawa banyak pahala? Tidak sama sekali. Justru yang benar-benar dirasakannya adalah ke mana-mana membawa dosa. Itu yang lebih real, lebih nyata.

Kalimat itu mengobrak-abrik perasaan Ridwan, jauh lebih mengobrak-abrik daripada perasaannya terhadap Tya. Apalagi momen itu, waktu itu, sejatinya dia sedang bermaksiat kepada Allah. Tanpa sadar, dia sedang berduaan dengan perempuan yang bukan mahrom. Itu namanya maksiat, Wan!

Kalimat Taufik Savalas itu membuat luka di hatinya jadi makin kelihatan. Makin terasa. Masa mudanya yang bergelimang maksiat jadi makin kelihatan boroknya di mata Ridwan. Dia pun menitikkan air mata. Makin deras. Padahal, waktu itu dia masih di rumah Tya. Dia pun izin ke kamar mandi. Di sana, Ridwan menangis lagi.

Tidak membawa apa-apa, selain dosa. Hatinya berbisik, luka yang kau akibatkan karena maksiat, Ridwan, akan terus jadi luka di hatimu kalau kau tidak kembali kepada Allah. Dan, Ridwan belum mau bertaubat. Masih ingin seperti itu. Namun, suara hatinya berkata lain. Pertentangan batin membuat air matanya makin mengalir. Dia berusaha menutupi di depan Tya, tetapi sulit. Matanya tampak berkaca-kaca.

Tya sendiri mungkin tidak menyadari kalimat Taufik itu. Dia bahkan tidak mendengarnya barangkali. Tapi, Ridwan langsung tertohok. Dan, terus tertohok. Sampai dia pamit pulang. Dia tumpahkan air matanya, setumpah-tumpahnya di atas motor. Untungnya helm yang dibawa ada kacanya, sehingga agak tertutupi dari pandangan orang lain.

Terkenang dosa-dosanya. Teringat luka-lukanya di masa lalu karena maksiat. Tergambar semua. Jelas sekali di depan matanya. Saat menatap jalan, berhadapan dengan kendaraan lain, maksiat itu, luka itu, terus membayangi.

Selama perjalanan, dia memang membawa sepeda motor. Membawa helm. Membawa dompet dengan surat-surat motor. Membawa uang secukupnya. Tapi, yang lebih terasa dibawanya adalah dosa-dosanya. Ya, dosa-dosa yang memberatkannya. Dosa-dosa yang membebaninya.

Dia terbayang tadi Taufik Savalas sedang di tanah suci, beribadah dengan sebaik-baiknya ibadah kepada Allah, justru merasa tidak mendapatkan pahala apa-apa. Taufik merasa sangat rendah, rendah sekali dibandingkan profesinya sebagai artis yang dipuja banyak orang.

Setelah mengatakan tadi, Taufik menangis. Tersedu-sedu. Menutupi sebagian mukanya dengan tangan. Suara Taufik itu kembali menggulirkan air mata bagi Ridwan. Ah, pokoknya tayangan yang mengharu biru.

Menunaikan ibadah haji atau umroh dengan pahala luar biasa yang dijanjikan Allah, sholat seratus ribu kali lipat di Masjidil Haram dibandingkan sholat di masjid biasa. Mengalami sebaik-baiknya hari, yaitu: hari Arafah ketika wukuf. Namun, bagi Taufik, itu semua masih kalah dibandingkan dosa-dosanya. Dia bawa semuanya ke hadirat Allah. Tidak ada yang tertutupi dari-Nya. Justru di situlah, Taufik merasa amat sangat bersalah.

Ridwan menangis lagi. Terus menangis. Dia yang sedang tidak berada di tanah suci, merasa mempunyai dosa yang jauh lebih besar. Pelawak itu, artis itu, Taufik Savalas, telah mengajarkannya hakikat kehidupan ini. Bahwa manusia tidak perlu sombong dengan yang dia punya. Apa juga mau disombongkan, sementara dosa-dosanya menggunung dan banyak sekali? Mau sombong punya dosa banyak?

Ridwan masih saja menangis. Ah, pertemuan dengan Tya yang telah menampar hatinya dengan sekeras-keras tamparan. Perpisahannya dengan Tya yang sebentar lagi akan terjadi, tetapi perpisahannya dengan dosa-dosa Ridwan masih belum terjadi.

Anak muda itu kembali menangis. Dia pun tidak terlalu memikirkan lagi, laki-laki kok menangis? Atau dianggap laki-laki cengeng. Sebab, air mata itu memang tidak bisa dia tahan. Luka di hatinya karena banyak maksiat mengucurkan air mata yang terus-menerus. Air mata karena luka di hati.

Baca Juga: Aku Bukanlah Pelakor [Diangkat Dari Kisah Nyata]

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.