Mendengar judulnya mungkin ada yang bertanya-tanya, padahal belum ada yang menjawab-jawab, mengenal jodoh literasi itu maksudnya bagaimana? Kalau jodoh sih sudah tahu, lha literasi? Apa bedanya sama sambal terasi?
Sebelum melangkah lebih jauh, nanti malah tersesat, saya mau cerita sedikit tentang laptop pribadi saya. Mereknya Toshiba, saya membelinya bekas, di sebuah toko komputer milik teman sendiri.
Ya, dari mereknya, jelas ada makna dong! Toshiba laptopnya, toh bisa orangnya! Meskipun laptop bekas, tetapi laptop ini sangat saya sukai. Coba yang bekas saja saya suka, apalagi yang baru!
3 In One
Laptop hitam yang saya beri nama Kupi-kupi ini, beberapa hari yang lalu, mati, tidak mau menyala. Biasanya sih dichas terus, baru bisa aktif. Baterainya memang sudah kalah alias tidak bagus lagi.
Wah, kalau laptop tersebut mengalami gangguan, tentu hal itu bisa mengganggu saya! Yah, namanya saja gangguan, jelas mengganggu dong. Bagaimana sih?
Saya hubungi teman tempat membeli dulu. Ketemu di pinggir jalan, waktu itu ada truk lewat, sopir truknya tidak tahu kalau merek laptop saya Toshiba, lho!
Si teman saya berjanji akan mengeceknya. Dia butuh satu hari untuk melakukannya. Dan, ketemulah penyebabnya. Harus ganti chas, baterai dan jarum di laptop tempat mencolok chas.
Ketiga komponen itu harus diganti baru, makanya tiga ke dalam satu. Alhamdulillah, sekarang saya pakai lagi. Bagaimana hasilnya? Tulisan saya jadi jelas terbaca bukan?
Itulah Jodoh
Bagi saya, laptop tersebut adalah jodoh saya. Tempat saya menuangkan berbagai macam hal yang mendesak di kepala untuk dituangkan ke dalam tulisan. Keyboard aslinya sudah terlepas dan harus dengan keyboard eksternal. Alhamdulillah, masih bisa dipakai mengetik, meskipun agak keras ditekan.
Kalau orang bicara jodoh, mengapa selalu dikaitkan dengan pasangan hidup? Ini jelas persepsi yang kurang tepat. Seorang guru betah atau kerasan dengan sekolahnya, maka sekolah itu jodohnya.
Baca Juga: Kisah Nyata: Ucapan Berbalik Kepada Diri Sendiri
Begitu juga dengan seorang penulis dengan laptopnya. Maka benda itu menjadi jodohnya juga. Sesuatu yang membuat nyaman pada diri kita, maka bisa disebut dengan jodoh. Suami atau istri membuat nyaman, tentu termasuk jodoh.
Meskipun bukan laptop yang mahal atau seharga mobil Alphard, halah kejauhan, tetapi yang penting adalah hasil akhirnya. Untuk ngeblog masih oke, jadi buat apa laptop mahal? Memangnya ada yang mau kasih saya? Sini, saya terima. Hehe…
Jika seorang penulis sudah berjodoh dengan sesuatu, maka inilah yang disebut dengan jodoh literasi. Kata “literasi” ini berkaitan dengan baca dan tulis. Sedangkan sambal terasi erat kaitan dengan merica dan ditumis.
Kalau yang Lain?
Mau menulis lewat laptop atau HP, tergantung kepada masing-masing penulis. Bahkan, cuma di buku tulis biasa atau buku diary juga oke. Nah, pertanyaannya, 30 poin nilainya, apakah tulisan itu mau dibiarkan saja berlumut tanpa dipublikasikan ke orang lain?
Apakah tulisan tersebut hanya berupa curhat-curhat biasa dan orang lain tidak perlu tahu? Apakah tulisan itu dirasa sangat jelek sehingga tidak pantas saat orang lain membacanya?
Hem, termasuk pikiran yang sangat sempit. Sejatinya, setiap orang yang sudah pandai menulis, ya, hasilnya dibagi dong! Kalau sudah begitu, akan mendapatkan feedback alias umpan balik. Apakah tulisan itu bagus atau jelek?
Pertanyaan selanjutnya, 50 poin, cara publikasinya bagaimana? Inilah yang termasuk mengenal jodoh literasi selanjutnya, yaitu: melalui penerbit. Antara penulis dan penerbit sudah menjalin kasih mesra sejak ratusan tahun yang lalu. Yah, meski tidak selalu mulus seperti pipi Syahrini – katanya orang lho – tetapi keduanya tetaplah saling membutuhkan.
Dikupas di Sini
Tunggu, ini bukan acara Master Chef yang kupas-mengupas bahan makanan, dalam tulisan ini akan dikupas tentang dunia penerbit, dari ahlinya langsung. Resume yang ke-14 pelatihan menulis bersama Om Jay dan PB PGRI.
Apa yang menarik di sini? Padahal yang lalu juga dihadirkan pembahasan seputar penerbit dari direktur Penerbit Andi. Sekarang adalah manajer operasional penerbit Andi.
Edi S. Mulyanta mempunyai pengalaman selama 20 tahun mengelola penerbitan. Tentu saja, pengalaman itu sangatlah berharga untuk dibagikan pada sesi materi, Rabu (04/11) ini.
Baca Juga: Tantangan Menjadi Guru Profesional, Malah Dibilang “Kemaruk”
Mengenal jodoh literasi sudah dimulai sebelum buku betul-betul terbit. Apa yang dilakukan pertama kali? Tentu saja menentukan buku apa yang akan diterbitkan?
Antara penerbit dan penulis bisa berbeda dalam memberikan analisis buku yang kira-kira akan laku di pasaran. Penerbit memegang data pemasaran, sedangkan penulis memegang prediksi juga, sementara aku memegang hati kamu. Halah.
Dua Jenis Organisasi
Penerbit yang jumlahnya bejibun itu mempunyai wadah atau organisasi lho. Pertama adalah IKAPI atau Ikatan Penerbit Indonesia dan kedua adalah APTI (Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi).
Dilihat dari namanya, jelas menyasar segmen yang berbeda. IKAPI lebih ke arah umum dan komersil. Menerbitkan buku-buku yang kita kenal selama ini. Sedangkan APTI lebih sempit orientasi ke pendidikan perkuliahan saja, beda lho dengan kuliah subuh.
Dua jenis penerbit juga melekat sampai sekarang. Dikenal dengan penerbit mayor dan penerbit minor. Semacam Penerbit Andi adalah penerbit yang mayor, bahkan sangat mayor. Sudah banyak buku yang diterbitkan, jaringan luas dan dikenal oleh banyak penulis.
Sedangkan penerbit minor bisa disamakan dengan penerbit indie. Penerbit yang biasanya dimiliki oleh perorangan, menerbitkan naskah dari para penulis juga, asal mau membayar terlebih dulu untuk ongkos cetaknya. Penerbit mayor tidak bayar di depan. Kalau buku sudah terjual, ada pembagian keuntungan yang namanya royalti.
Bagaimana agar bisa mendapatkan banyak royalti? Apakah harus sering minum royal jelly? Wah, tidak ada hubungannya! Jika ingin royalti banyak, bantulah penerbit mempromosikan buku kita. Sebab, penerbit bukunya banyak sekali. Jadi, tidak fokus untuk promosi satu atau dua judul buku.
Hem, penerbit juga terspesialisasi ke dalam jenis-jenis buku tertentu. Ada yang lebih ke arah nonfiksi, ada juga yang fiksi. Penerbit Andi termasuk pilihan yang pertama. Makanya itu, jika punya naskah cerita anak, jangan ke penerbit yang orientasinya nonfiksi. Pasti ditolak. Lebih ditolak lagi kalau yang ditawarkan adalah naskah kosong! Waduh..!
Lebih Sopan
Namanya saja tamu, pastilah harus sopan santun terlebih dulu. Ya ‘kan? Apalagi kita adalah orang baru di tempat yang baru pula. Harus mengedepankan adab-adab.
Begitu juga saat menjadi penulis pemula. Pertama kali menawarkan naskah ke penerbit mayor. Etika harus dijaga dalam proses tersebut. Bagaimana caranya?
Selain membuat naskah buku, kita juga perlu membuat proposal. Eits, proposal ini bukan hanya untuk mencari dana seperti yang keliling itu, tetapi memang sebuah dokumen resmi dengan tujuan-tujuan tertentu.
Bagaimana membuat proposal yang bagus untuk mengajukan naskah ke penerbit? Apakah sebelum membuat proposal harus minum dulu propolis? Hem, boleh juga, kalau punya! Kalau tidak punya, apa yang mau diminum?
Edi S. Mulyanta memberikan panduan untuk membuat proposal penerbitan buku, yaitu:
- Judul buku. Ini jelas menjadi poin utama, pertama dan paling penting dalam pembuatan buku. Tidak lucu ‘kan, proposal tersebut belum ada judulnya? Ketika ditanya pihak penerbit, ini judulnya apa? Malah kita jawab, “Terserah Bapak saja deh! Saya mah orangnya penurut!” Bisa-bisa, naskah bukumu dibuang sampai ke ujung bumi. Kan repot.
- Subjudul. Ini opsional sih. Ada buku yang cuma satu judul, orang sudah mengerti. Namun, ada juga yang perlu pakai subjudul. Misal judul bukunya: Tips Praktis Menjadi Suami Istri Bahagia. Subjudulnya: Disadur dari Pendapat Para Ahli Keluarga. Begitulah kira-kira. Meskipun begitu, tidak perlu ditambahi lagi dengan subjudul baru. Nanti jadi subjudul-subjudul. Capek membacanya.
- Outline lengkap. Ini semacam isi ringkas dari naskah buku dalam bentuk yang terstruktur. Ada pembagian bab-bab hingga subbab. Nah, ada lagi subbab. Buku akan lebih menarik dibagi ke dalam bab-bab seperti itu. Jangan bab satu dari depan sampai selesai. Ketika ditanya, kok begini modelnya? Malah dijawab, “Ini pertama dan terakhir, Pak!”
- Target market dari buku tersebut. Tentu saja dong, buku diterbitkan untuk dibaca. Ini harus lebih spesifik, buku kita mau diarahkan ke siapa saja? Apakah ke orang tua atau orang dewasa yang sudah menikah? Apakah ke para remaja? Atau anak-anak? Generasi yang terakhir ini juga butuh bacaan bermutu lho! Yang jelas target market itu adalah manusia. Bukan ke kalangan jin. Sebab, sampai sekarang belum ditemukan toko buku khusus jin dan setan sekalian!
- Curriculum vitae penulis. Lho, Mas, apa bedanya curriculum vitae dengan kurikulum 2013? Bedanya adalah beda tulisannya! Hehe… Curriculum vitae atau CV atau semacam biodata dari penulis itu sendiri. Dimulai dengan nama lengkap, alamat, nomor KTP, nomor telepon yang bisa dihubungi (percuma dong kasih nomor HP, tetapi tidak bisa dihubungi), pekerjaan, pendidikan terakhir dan lebih joss lagi, karya yang pernah dibuat.
- Proposal selesai. Boleh juga ditambahkan dengan satu bab sampel kata Edi. Satu bab tersebut sudah bisa terlihat kok gaya bahasa kita dalam menulis. Apakah dalam penulisan, kita masih banyak salah tulis? Salah pencantuman ejaan. Atau salah literasi yang mana? Asal jangan salah memilih jodoh saja.
Original, Bukan KW
Pastilah, karya yang orisinal itu lebih disukai oleh penerbit. Apalagi yang mengangkat masalah baru atau belum pernah dibahas oleh orang lain. Boleh juga terinspirasi ide orang lain, tetapi penyajiannya harus dengan gaya bahasa kita sendiri.
Penerbit akan melakukan cek plagiasi namanya. Apakah naskah kita itu sama persis dengan orang lain? Untuk melakukannya, bisa dengan software khusus. Cari di Google banyak kok!
Sumber. Apa ini? Apakah dari sumber mata air pegunungan? Waduh, malah bahas air minum dalam kemasan!
Maksud sumber di sini adalah sumber kita menulis buku. Mungkin dari berbagai referensi buku orang lain. Atau catatan-catatan ringan orang lain dalam blog pribadi mereka. Atau dari internet. Cantumkan saja semuanya jika memang dari situ mengambil bahannya.
Itu untuk karya nonfiksi. Sedangkan jika naskah fiksi, tidak perlu ada sumber. Padahal, menurut saya sih, meski fiksi, tetap harus observasi. Ini agar karya tersebut lebih kuat maknanya.
Baca Juga: Perlu Cara Cerdas Pakai Media Sosial, Karena Sejatinya Kita Memang Cerdas
Akan tetapi, itu kembali ke penulis sendiri. Ada juga penulis yang banyak referensinya. Saya ambil contoh saja, novel Tere Liye yang berjudul “Negeri Para Bedebah”.
Tere mencari referensi dari berita-berita ekonomi. Hal itu dituangkan menjadi sebuah petualangan seru seorang perencana keuangan yang bernama Tom. Tentang mafia yang menguasai sebuah negeri. Jaringan atau sindikat para bos yang lebih daripada tajir melintir karena mereka menguasai satu negara, bahkan presiden pun bisa dikuasai.
Mungkin hal itu terjadi juga di dunia nyata. Hanya kita memang tidak tahu persisnya. Apalagi dunia mafia. Yang lebih kita tahu adalah makanan bakpia. Kalau yang ini sih, bakpia pathuk Jogja yang terkenal rasanya. Malah sekalian promosi di sini. Haha…
PD Aja Lagi
Saya lupa, subjudul yang di atas ini dari iklan apa ya? Mungkin kamu yang lebih tahu.
PD itu lebih berat artinya ke percaya diri, meski bisa juga sih pakaian dinas. Narasumber pada resume ini menyebutkan contoh Andrea Hirata yang tidak terduga, tanpa ada CV, bisa membuat buku dengan judul “Laskar Pelangi” yang sangat fenomenal!
JK Rowling juga begitu. Naskah bukunya “Harry Potter” ditolak oleh banyak penerbit. Dan, mungkin masih banyak contoh lainnya para penulis yang pertama kali diremehkan, dipandang sebelah mata. Tentu, dipandang sebelah mata di sini artinya tidak dianggap berpeluang atau berpotensi, bukan berarti kelilipan mata atau kemasukan debu.
Penulis yang ingin berhasil, maka jangan cuma dibayangkan indah-indahnya saja. Mendapatkan royalti banyak, sampai terkenal di mana-mana. Bukan itu yang semestinya dicari pertama. Keinginan untuk berbagi manfaat, itulah yang mesti menjadi faktor pendorong seseorang jadi penulis dan menyalurkan naskahnya ke penerbit.
Untuk menjadi orang berhasil, butuh yang namanya kegagalan. Seorang motivator bisnis pernah mengatakan: Habiskan jatah gagalmu. Jadi, mungkin kita harus menempuh gagal 30 kali, baru jadi penulis yang berhasil. Maka, habiskan saja jatah 30 kali tersebut. Insya Allah, setelah 31, akan diterima. Dan, untuk ke-32, gagal lagi. Kasihan benar ya.
Menjadi penulis dan penerbit buku di negara yang tidak suka baca buku, itu memang perjuangan luar biasa. Apalagi di tengah derasnya gawai. Orang lebih memilih mencari informasi dari genggaman saja. Bahkan, lebih sering genggam HP, daripada genggam tangan istri. Hayo, mengaku..!
Kesimpulan
Tetap harus semangat. Tidak boleh pantang menyerah. Menjadi penulis adalah pekerjaan yang mulia. Asal, yang ditulis juga sesuatu yang mulia.
Penerbit Andi dengan alamat email [email protected] siap untuk menerima naskah-naskah kamu. Siapa tahu diterima bukan? Siapa tahu diterbitkan bukan? Kalau berhasil diterbitkan, boleh saja kamu menraktir penulis resume ini. Tidak meminta, hanya mengingatkan kewajiban saja.
Dan, membaca resume ini semoga jadi mengenal jodoh literasi. Penulis dan penerbit tetap akan seterusnya saling membutuhkan. Keduanya diperlukan untuk semakin menggalakkan literasi di negeri ini. Jangan dibuat terlalu galak, asal kehadiran buku semakin diterima di negeri ini, bahkan sampai di sudut-sudut rumah, demi membangun generasi masa depan yang cinta buku, cinta baca, cinta menulis dan tentu saja semuanya terangkum dalam cinta literasi.
Baca Juga: Menulis Untuk Media Massa: Antara Kondisi Krisis dan Semangat Untuk Terus Eksis
Selalu mantaaaap… mas Rizky memang penulis yg ngetrend…
Alhamdulillah, semoga sukses juga Bu.
Sudah mampir pak ketua, sayang royal jellynya habis,,, sukses
Waduh, harus beli lagi nih! 😅
Seperti biasa tulisan pak Rizki selalu keren. Maksud dan tujuannya selalu sampai pada si pembaca. Sukses terus pak.
Salam literasi
Alhamdulillah, makasih Bu. Ditunggu kunjungan berikutnya.