LDR: Jangan Melihat dari Satu Sisi

LDR: Jangan Melihat dari Satu Sisi

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Mungkin kita pernah membaca sebuah kalimat dengan bunyinya: Jangan melihat dari satu sisi. Belum pernah baca? Lah, kamu barusan ‘kan sudah baca juga. Hehe…

Jangan melihat dari satu sisi memang sebuah persepsi yang mestinya perlu kita bentuk dalam diri. Apalagi secara kodrati, kita ini dilengkapi dengan dua mata. Mungkin kita bisa melihat dari satu mata saja layaknya bajak laut itu, tetapi itu kurang sempurna.

Btw, kamu tahu nggak kenapa bajak laut kok ditutup matanya satu? Apakah karena luka di matanya hingga ditutupi? Ternyata tidak juga lho!

Menurut sebuah video yang pernah saya lihat, bajak laut menutup matanya satu itu untuk tujuan berperang atau bertarung. Lho, kok bisa, Mas? Ya, bajak laut itu mengantisisapi, halah, mengantisipasi pertarungan di tempat gelap.

Kita pasti tahu bahwa mata ini butuh adaptasi ketika masuk ke tempat gelap. Begitu pula, dari tempat gelap ke tempat terang. Apalagi saat tahu habis gelap terbitlah terang. Itu RA Kartini, Gaes!

Baca Juga: Tong Kosong Nyaring Bunyinya [Ternyata Ada Hubungannya dengan Ayam dan Kura-kura]

Bajak laut yang matanya sudah ditutup satu, tentu berada dalam kondisi kegelapan yang cukup lama. Nah, saat pertarungan masuk ke wilayah gelap atau ruang tertutup misalnya, maka dia bisa langsung membuka matanya, lalu seketika sudah menyesuaikan dengan kondisi di tempat tersebut. Akhirnya, dia pun bisa menang. Itu ya kalau dia bisa bertarung lho.

Nah, bajak laut yang model seperti itu memang cuma ada di film. Apakah di dunia nyata tidak ada sama sekali? Terus terang, saya tidak terlalu tahu ya. Sebab setahu saya, bajak itu cuma di sawah, bukan di laut. Masa bawa kerbau ke laut biar jadi bajak laut?

Dua Sisi

Setiap manusia tentulah tidak cuma tersusun dari satu materi. Ada hal-hal lain yang menjadikan manusia seperti sekarang. Itu bisa dilihat dari latar belakang, latar depan, bahkan latar samping.

Hal-hal yang dia lihat, didengar, dirasakan, itu juga membuat si manusia makin berkembang. Bisa jadi pendidikannya mulai dari TK, SD, seterusnya sampai SMP dan SMA. Ditambah dengan kuliah di perguruan tinggi. Ditambah juga dengan kuliah subuh kalau pas nonton TV.

Jadi, setiap dari kita dibekali dengan ilmu dan kemampuan yang memang berbeda-beda. Mirip dengan hewan, lah. Tidak mungkin ‘kan ikan diajari terbang, kecuali ikan Indosiar. Tidak bisa juga kita ajari burung berenang, kecuali burungnya penyelam. Eh.

Itu kalau dilihat dari sisi manusia. Bagaimana dengan sisi yang lain? Saya ambil contoh, buku misalnya. Menurut kamu, sebuah buku itu dikatakan bagus atau tidak tergantung dari apa sih?

Mungkin dari gambar desainnya, penulis, penerbit, beberapa kalimat yang ada di sampul, sampai dengan harganya. Semuanya memang menjadi pertimbangan seseorang dalam memilih sebuah buku. Kecuali buku nikah. Kalau itu sih, tidak perlu dilihat siapa penulis, penerbit, atau malah harganya. Intinya, si dia sudah mau sama kamu, hohoho..

Dua Jenis

jangan-melihat-dari-satu-sisi-1

Menurut pengertian yang ada, buku itu menjadi dua, yaitu: fiksi dan nonfiksi. Fiksi meliputi: novel, cerpen, hingga puisi. Sedangkan nonfiksi ya meliputi: biografi, esai, opini atau resensi.

Kalau fiksi, maka itu dapat diartikan yang ditulis di dalamnya adalah khayalan. Fantasi. Mungkin tidak betul-betul terjadi di dunia nyata.

Baca Juga: Betulkah Blokir Kontak Membuat Nyaman di Otak?

Meskipun kisah yang tidak nyata, ternyata masih banyak juga yang menggemari buku fiksi. Salah satunya memang saya. Di rumah saya, ada lebih dari 20 buku karangan Tere Liye. Saya memang menggemari karya-karyanya yang bisa menampilkan sudut pandang yang tidak biasa. Tentu, karena bestseller juga, saya yakin buku-buku itu pasti bagus.

Nah, buku fiksi ada yang bagus, ada juga yang tidak. Kalau yang tidak, misalnya ceritanya tentang sihir, horor, termasuk dalam hal ini adalah pergaulan anak muda yang bebas, laki-laki dan perempuan. Sampai pacaran begitulah.

Yang bagus? Oh, banyak juga. Laskar Pelangi itu masih bisa dikatakan bagus sampai sekarang. Begitu juga dengan novel-novelnya Habiburrahman el Shirazy atau Kang Abik. Novel-novel itu mampu menghadirkan suasana yang adem, nyess, dan tidak lupa nilai-nilai positif di dalamnya.

Generalisasi

Seperti tadi yang saya katakan, karya fiksi itu ada yang bagus, ada juga yang tidak, maka akan menjadi salah ketika dianggap jelek semua atau bagus semua. Memang sih, ada yang mengharamkan karya fiksi itu, sehingga lebih bagus dihindari. Namun, si pembuat cerita juga punya motivasi tersendiri. Misalnya, dia ingin juga berdakwah. Kalau dengan cerita, dirasa lebih bagus dan lebih menyentuh, maka dia akan menempuh jalan itu.

Mestinya orang yang langsung mencap jelek semua karya fiksi itu perlu dinasihatkan untuk jangan melihat dari satu sisi saja. Apalagi buku fiksi itu bagian dari dunia literasi. Bisa menambah perbendaharaan kata, kemampuan imajinasi, cara meramu cerita agar menarik, dan lain sebagainya.

Ketika seseorang membaca beberapa buku fiksi, maka bisa lho, dia membuat cerita yang menarik dari kisah nyata. Tadi, yang melarang atau mengharamkan itu karena kandungan fiksinya atau bohong-bohongnya. Lalu, bagaimana jika kisah itu betul-betul terjadi? Apakah bisa orang yang belum pernah membaca karya fiksi sama sekali, lalu bisa membuat karya yang bagus? Kok saya rasa, hal itu tidak mungkin. Akan sangat sulit.

Oh, ya, cerita juga bagus ditampilkan untuk jualan lho! Menggunakan metode storytelling, membuat jualan serasa tidak jualan. Hanya modal cerita-cerita tentang suatu produk, eh, pembaca bisa merasa tidak dijuali.

Tentunya, menulis cerita itu butuh bahan. Butuh referensi. Salah satunya memang dengan membaca karya-karya fiksi. Dan, ingat, jangan langsung dicap jelek semua. Mestinya yang mengatakan jelek itu membaca dulu sampai selesai. Apa isinya? Bagaimana jalan ceritanya? Masa hanya lihat kaver sama tulisan di depan dan belakangnya, terus dibilang jelek?

Teman saya pernah mengatakan, dia pernah membaca sebuah buku dengan judul “Tangan di Atas Lebih Baik daripada Tangan di Bawah”. Dia mengira, itu buku membahas sedekah.

Ternyata, setelah dibaca, buku itu tentang sebuah komunitas bisnis. Ya, memang ada sih komunitas bisnis Tangan di Atas atau TDA. Dia merasa “terjebak”. Antara judul dengan isi bisa berbeda. Nah, itu adalah bukti bahwa buku itu memang harus dibaca sampai selesai, baru bisa diambil kesimpulan bagus dan tidaknya.

Kesimpulan

Ustadz Armen Halim Naro, rahimahullah, pernah menjawab sebuah pertanyaan yang menyangkut HAMKA. Beliau mengatakan bahwa HAMKA itu bukan termasuk pengikut sunnah, kira-kira begitulah. Tapi, beliau mengatakan juga bahwa tidak ada anak sekarang yang bisa seperti HAMKA.

Nyatanya, HAMKA juga memiliki novel dengan judul “Di Bawah Lindungan Kabah” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wiljk”. Untuk lebih jelas tentang HAMKA, silakan cari sendiri di internet ya!

Tadi disebutkan di judul tentang LDR dan jangan melihat dari satu sisi. Apa arti LDR di situ? Saya tulis di sini, LDR adalah Lihat, Dibaca, Rasakan. Sebuah buku akan sulit dinyatakan bagus dan tidaknya, kalau LDR tidak diterapkan.

Termasuk dalam hal ini, adalah dengan pasangan halal kita. Baik suami maupun istri, tidak bisa dinyatakan bagus dan tidaknya kalau tidak dengan LDR. Apalagi yang memang menjalani hubungan LDR. Kalau yang ini aslinya LDR, Long Distance Relationship. Wuih, berat!

Baca Juga: Aku Bukanlah Pelakor [Diangkat Dari Kisah Nyata]

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.