Kisah ini adalah kisah nyata tentang pengasuhan anak. Tentang seorang ayah bernama Ridwan, sebut saja begitu, dengan anak laki-lakinya yang bernama Suprapto, sebut saja begitu.
Setelah dipikir-pikir, kok malah kurang cocok ya? Masa anaknya punya nama lebih terlihat tua dibandingkan bapaknya? Makanya, saya ganti saja, yang bapaknya bernama Ridwan, anak laki-laki bernama Iwan. Nah, sepertinya ini cocok. Kalau kamu mau ganti nama juga boleh, maksudnya nama kamu sendiri!
Kemarahan
Marah adalah sifat dasar yang pastinya ada di setiap manusia. Sifat ini biasanya berbentuk keburukan dan mendatangkan efek yang tidak bagus bagi orang lain. Apalagi dalam keluarga, semacam keluarga Pak Ridwan ini, kemarahan pun terjadi pada hari itu. Tidak perlu disebutkan hari apa itu dan tanggal berapa, termasuk jam berapa. Soalnya masih disembunyikan. Yang jelas, kisah seputar pengasuhan anak ini memang nyata terjadi seperti yang saya tulis di awal.
Iwan adalah anak yang masih SD. Kelasnya juga tidak perlu saya sebutkan, yang pasti dia belum kuliah. Dia sedang bercanda dengan adiknya yang juga laki-laki. Canda-canda begitu khas anak kecil. Namun, candaan itu berujung kepada pertengkaran. Iwan dan adiknya bertengkar. Saat bertengkar itu, Iwan emosi. Dia pun mengucapkan kata-kata kotor, “Bapakmu kont**!”
Nah, saya berikan dua bintang sebagai sensor. Meskipun ini blog saya, tetapi tetap saya sensor dong. Soalnya, khawatir juga ada yang baca anak kecil, meskipun yah, anak kecil sekalipun pasti tahu itu apa yang disensor, termasuk Iwan.
Ridwan yang sedang makan langsung sangat emosi mendengar perannya dihina. Dia tidak terima dikatakan kotor dan jorok oleh anaknya sendiri. Ketika itu, Ridwan sedang menjahit kancing baju Iwan. Saking emosinya, dia lempar begitu saja gunting! Ya, gunting besar yang dipakai untuk memotong benang, dilemparkan langsung ke arah Iwan. Kena? Oh, tidak! Gunting itu meleset dan tidak mengenai sama sekali kulit Iwan.
Tidak cukup gunting, Ridwan pun melempar gabus. Masih kurang puas, tas Iwan yang isinya beberapa buku, mungkin masih ada di dalamnya Al-Qur’an, dilempar pula ke Iwan. Sepertinya, Ridwan memang ingin melumat anaknya sendiri gara-gara sebutan tadi. Iwan dilempari sampai tiga kali membuat dia menangis. Akan tetapi, tidak berlangsung lama karena mungkin dia rasa, jika menangis, akan semakin dimarahi dan dilempar lagi.
Ketika Sudah Reda
Kemarahan Ridwan makin lama makin reda. Kini, dia merasa lebih tenang dan sejuk kembali. Namun, hasil kemarahan ke anaknya tersebut masih menempel dan menancap di pikirannya. Apalagi dia tadi sudah melempar gunting ke arah anaknya.
Pertanyaannya sama dengan yang kamu pikirkan, bagaimana jika gunting itu mengenai kepala Iwan? Bagaimana jika menancap di matanya? Bagaimana jika menusuk tubuhnya? Sudah pasti akan mengeluarkan darah. Sudah pasti akan membuat Iwan makin kesakitan. Bahkan bisa jadi akan berujung di kepolisian.
Kalau sudah masuk di ranah kepolisian, waduh, maka akan terganggu segalanya! Ya, pekerjaannya, ya, kehidupan sehari-harinya. Istrinya pun akan menderita karena sendirian mengasuh anak. Begitu pula orang tua Ridwan. Pasti malu jika sampai anaknya bermasalah dengan hukum hingga berujung kepada penjara. Siapa juga yang mau dipenjara ya? Kecuali yang mau dipenjara adalah penyanyi Raffa Affar dengan liriknya: dipenjara…
Nah, Ridwan bersyukur kepada Allah, tidak sampai seperti itu, tetapi seandainya terjadi, bagaimana nasibnya nanti? Anaknya sendiri kok diperlakukan seperti binatang saja? Cara pengasuhan anak model apa itu? Hanya karena sebutan yang jelek sekali saja, anak itu harus menerima tiga kali serangan. Coba, tidak adil bukan? Iwan hanya mengatakan sekali, tetapi Ridwan melempar dengan gunting, gabus, dan tas sekolah yang berisi buku-buku. Sepertinya pun Ridwan ingin menghantamkan kursi tamu yang terbuat dari plastik ke kepala anaknya. Waduh, waduh!
Masihkah Ada?
Kasus semacam itu, apakah masih terjadi sampai saat ini? Jelas masih terjadi. Yang muncul di berita-berita saja sudah banyak, apalagi yang tidak sempat diberitakan.
Ada sebuah kasus yang saya kutip dari Kompas.com. Tentang seorang anak yang rumahnya di Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat. Dia dipukuli oleh ayahnya gara-gara tidak mengerjakan PR. Kejadiannya pada tanggal 4 Desember 2020 yang lalu. Tanggal itu adalah tanggal keterangan kepada pers oleh Kanit Reskrim Polsek Pondok Gede, Iptu Santri Dirga. Rupanya, kejadian itu juga bersamaan dengan pembelajaran online ketika masa pandemi. Oh, ternyata masih masa belajar online.
Masih pada berita link yang sama, LH, seorang warga Desa Cipalabuh, Kabupaten Lebak, Banten, menganiaya putrinya KS, yang baru berusia 8 tahun, hingga tewas pada akhir bulan Agustus tahun 2020 yang lalu juga. Perempuan berusia 26 tahun tersebut sampai menganiaya karena kesal anaknya yang susah diajari saat belajar online.
LH telah mencubit, memukul dengan tangan kosong, sampai memakai gagang sapu. Korban yang duduk di bangku SD kelas 1 itu dipukul di bagian belakang kepala sebanyak tiga kali, padahal si anak sudah tersungkur lemas di lantai.
Si suami LH alias IS yang berusia 27 tahun, memarahi istrinya saat kejadian. Akan tetapi, semuanya sudah terlambat. Anak itu sudah meninggal dunia karena tidak tahan dengan penganiayaan ibu kandungnya sendiri. Subhanallah.
Orang tua “gila” itu menguburkannya di makam TPU Gunung Kendeng, Kecamatan Cijaku, Lebak. Tujuannya tentu saja untuk menghilangkan jejak. Korban dikubur bukan dengan kain kafan, melainkan masih dengan pakaian lengkap. Ternyata, terbongkar juga dua pekan setelahnya. Hal itu karena ada kecurigaan dari warga sekitar. Kok ada gundukan tanah yang masih baru di TPU tersebut? Padahal tidak ada acara pemakaman sebelumnya mungkin begitu.
Kalau sudah meninggal dunia seperti itu, apakah ibunya sudah puas? Apakah model pengasuhan anak seperti itu yang diinginkan oleh si ibu? Ibunya sudah merasa bahwa anak tersebut berhasil dalam belajarnya? Entah apa yang ada di pikiran si ibu sampai tega berbuat semacam itu?!
Masuk Dapur Rekaman
Zamannya kontes nyanyi-nyanyian, banyak ‘kan anak yang ikut jadi peserta? Mereka mengadu bakat sebagai penyanyi demi mendapatkan hadiah dan bisa nanti menjadi artis. Terus masuk dapur rekaman, istilahnya begitu. Kalau sudah jadi artis, maka orang tuanya akan bangga. Anaknya bisa terkenal sampai ke seluruh Indonesia. Padahal, yang namanya artis karbitan itu pasti tidak akan bertahan lama. Seseorang menjadi artis pasti butuh proses yang panjang, bertahun-tahun, dan tentu saja melelahkan.
Bicara mengenai dapur rekaman, tidak hanya untuk suara saja, melainkan juga video. Mungkin harapannya anak tidak hanya jadi penyanyi, tetapi juga bisa berakting. Mungkin nanti bisa main film atau sinetron. Pokoknya, bagaimana caranya agar si anak itu diperas terus badannya demi mendatangkan cuan bagi kedua orang tuanya.
Ternyata, kalau dari segi istilah, dapur rekaman, hal itu juga berlaku untuk semua anak, terutama anak yang mengalami kekerasan, baik fisik maupun mental. Baik serangan yang mendarat di tubuh mereka maupun kata-kata orang tua atau siapapun yang sampai ke hati anak-anak tersebut. Dapur rekaman itu ada di otak anak-anak. Dan, hal yang harus diingat oleh siapapun adalah anak merekam semuanya seumur hidupnya.
Orang tua yang mengatakan anaknya nakal, tidak pernah mau menurut, padahal orang tua itu hanya bicara dengan orang tua lainnya, misalnya ibu dengan ibu lainnya, ternyata justru tetap direkam anak kalau dia sempat mendengar.
Begitu juga jika anak pertama yang sering disalahkan. Anak sulung yang pertama menemani orang tua ternyata malah sering dihina, direndahkan, dan dibanding-bandingke (kayak lagu) dengan adiknya. Begitu lahir adiknya, si kakak jadi terlupakan. Ucapan jelek orang tua kepada si sulung tetap terdengar dan masuk ke dapur rekaman di kepalanya. Sekali lagi, seumur hidup, tidak akan terlupa.
Orang tua perlu mengetahui bahwa setiap kata, amarah, ketidakpuasan kepada tingkah laku anak, semuanya akan direkam oleh si anak. Mungkin orang tuanya menganggap anak belum tahu, belum mengerti, tetapi tetap bisa direkam. Anak itu punya perasaan, punya hati, dan punya pikiran. Anak bukanlah robot mainan yang tidak bisa mendengar dan tidak tahu apa-apa.
Saya mengutip sebuah buku yang saya resensi pekan lalu, judulnya Maukah Jadi Orang Tua Bahagia? karangan dr. Aisah Dahlan, CHt, CM.NLP. Pada halaman 198, disebutkan jika orang tua langsung teriak “Bodoh kamu!”. Apa efeknya? Ternyata, ada lompatan listrik di otak si anak. Jika lompatannya terlalu ekstrem, maka sambungan neuron akan menjadi hangus.
Terus, apakah bisa diperbaiki? Menurut pakar parenting terkenal ini, tidak bisa! Sebab, regenerasi sel-sel otak itu 200 tahun sekali. Walah. Tentu saja umur manusia sekarang tidak ada yang sampai selama itu.
Solusinya adalah menyambungkan neuron yang lain. Membuat sambungan-sambungan lain yang lebih baik dan meninggalkan yang rusak. Harapannya, dengan memberikan hal-hal yang baik, misalnya senyuman kepada anak, maka ada sambungan neuron baru yang lebih segar.
Menggunting Mata Rantai Pengasuhan Anak
Masih ingat zaman ospek ‘kan? Tiap tahun apa yang terjadi? Selalu saja ada kekerasan terhadap murid atau mahasiswa baru? Rupanya, hal itu terjadi karena diturunkan dari tahun ke tahun. Ospek menjadi ajang balam dendas, halah salah, balas dendam dari kakak tingkat/kelas kepada adik tingkat/kelasnya.
Kalau yang tidak ada ikatan keluarga saja bisa dibalas turun-temurun, apalagi yang memang dalam keluarga. Orang tua kepada anaknya. Begitu si anak jadi orang tua, seperti itu juga. Bisa lebih keras, bisa lebih kejam. Kalau seperti itu adanya, mau sampai kapan? Mau sampai Dajjal keluar? Atau sampai Nabi Isa alaihissalam turun kembali dari langit dan membunuh Dajjal?
Menggunakan kata gunting seperti di awal tulisan ini, maka metode pengasuhan anak yang menggunakan kekerasan memang harus dihentikan sekarang juga. Saya teringat dengan Ayah Edy, pakar parenting terkenal Indonesia. Beliau memang pernah mengalami pola pengasuhan anak yang tidak benar dari orang tuanya. Namun, beliau mengatakan bahwa itu sudahlah, sudah terjadi, sudah menjadi masa lalu. Saatnya memperbaiki yang ada. Saatnya menerapkan pola pengasuhan anak yang lebih baik. Selain itu, juga memaafkan kedua orang tua atas perilaku mereka yang salah.
Pola pengasuhan anak yang buruk harus segera digunting, agar tidak semakin menjalar dan turun-temurun. Kalau orang tua mewariskan yang jelek kepada anak, maka nantinya bisa jadi jelek kuadrat. Hal yang dikhawatirkan, si anak yang jadi orang tua nanti justru menambahkan bumbu-bumbu kejelekan. Orang tuanya dulu mungkin hanya memukul, eh, si anak sampai menganiaya, mungkin sampai membunuh juga. Naudzubillah min dzalik.
Namun, orang tua tetap harus optimus, eh, optimis dong! Tidak hanya yang jelek saja dibahas di sini, tetapi juga yang baik dan positif. Orang tua yang sering tersenyum kepada anak, memberikan penghargaan atas prestasi anak, meskipun penghargaan yang kecil. Orang tua yang memeluk anak sebelum berangkat sekolah dan tiba di rumah dari sekolah. Ditambah dengan waktu-waktu yang asyik dan berkualitas orang tua dan anak. Semua itu, ya, semua itu juga akan direkam oleh anak.
Pikiran anak itu seperti spons. Dia bisa menyerap apapun. Kalau pola pengasuhan anak dengan mengedepankan akhlak yang baik dan tidak melulu mengedepankan emosi, maka itulah yang terbaik. Rekaman anak yang dibawa selamanya itu juga akan tetap dalam kondisi baik.
Mungkin adalah sedikit yang buruk anak terima, tetapi menjadi orang tua yang sempurna itu sangatlah sulit. Yang bisa dilakukan adalah orang tua yang terus berusaha menjadi sempurna. Terlihat mudah ya? Ya, jika cuma mengetik memang gampang. Ibaratnya mengerjakan soal ujian nasional, dimulai dari yang mudah-mudah dulu. Lah, kalau semuanya sulit bagaimana, Mas? Berhenti saja jadi orang tua, hahaha…!
Diawal sudah mau protes kok nama anaknya nggak banget, sementara Bapaknya aja Ridwan. Eh dijelasin juga….sampai ngakak aku mba. Tapi belakangnya malah jadi melo, ya kadang sadar bawah cara pengasuhan kita nggak banget eh malah terulang.
Ya, Mbak, gak bagus kalau nama anak terlalu ketuaan, haha…