Lebih Jelas yang Mana, Cermin Kamar Tidurmu atau Anak Cerminan Orang Tua?

Lebih Jelas yang Mana, Cermin Kamar Tidurmu atau Anak Cerminan Orang Tua?

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Ibarat peribahasa, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Itu baru ibarat, belum itimur. Namun, apakah yang dimaksud dengan anak cerminan orang tua?

Sebuah cermin memang punya tugas untuk memantulkan bayangan kita secara terbalik. Cermin ini biasa dipasang di kamar tidur, kamar mandi, kamar tengah atau dapur? Ada yang pasang cermin di dapur?

Kebutuhan Untuk Selalu Prima

Biasanya, yang suka berdiri di depan cermin itu siapa sih? Setahu saya, rata-rata perempuan. Mereka selalu ingin tampil cantik di manapun berada. Makanya, make up atau kosmetik dicek terus. Oleh karenanya, selalu ingin mencari cermin. Kalau tidak ada cermin, kaca mobil atau kaca spion orang bisa dijadikan cermin tuh.

Baca Juga: Sehat Q, Media Informasi Digital Lengkap Untuk Sehat A Sampai Z

Hal itu memang tidak salah. Sebab, menampilkan diri selalu bagus memang normal. Kalau penampilan kita kucel, kusut, bahkan ada tahi mata, kesannya jorok ‘kan? Apalagi kalau besar kotoran di sudut mata begitu? Dalam pikiran kita, ini orang sudah mandi atau belum?

Sekarang Tentang Anak

Peribahasa buah tidak jatuh jauh dari pohonnya itu memang menandakan sifat anak yang tidak jauh juga dari orang tuanya. Anak cerminan orang tua. Ambil contoh saja, jika orang tuanya dalam hal ini adalah ayah perokok. Maka, si anak cenderung akan meniru. Meskipun si ayah melarang anaknya merokok, ini aneh juga. Dia sendiri yang melakukan, kok anaknya tidak boleh?

Contoh lainnya adalah kebiasaan pakaian. Tadi ayah, sekarang ibu. Bagaimana pakaian ibu, maka si anak juga akan meniru. Tentunya, anak perempuan lho ya!

Ibu yang tampilannya seksi, maka anak perempuannya menganggap bahwa itu adalah pakaian terbaik. Atau minimal pakaian baik, lah. Mungkin dalam rumah, it’s oke. Tapi, tidak jarang juga dipakai di luar rumah. Dalam konteks lain, tetap di dalam rumah, tetapi diupload di media sosial.

Ada artis yang seperti itu. Dari usianya sudah tidak muda lagi, bahkan sudah tidak balita lagi. Ya iyalah! Si ibu tersebut memakai pakaian yang seksi dan menampilkan auratnya. Anak di sebelah pola pakaiannya juga mirip, tidak jauh berbeda. Dari ayah yang merokok atau ibu yang terbuka auratnya, jelas menandakan anak cerminan orang tua. Apalagi jika ayah dan ibu tersebut memang berjodoh sekalian. Klop.

Keranjang Bambu

Kali ini ada cerita tentang keranjang bambu. Ini bukan keranjang bambu yang dipakai jualan itu dan dipasang di sisi kanan dan kiri motor. Istilah Jawanya adalah kronjot.

Ada sebuah keluarga dengan satu suami, satu istri, satu anak laki-laki dan seorang kakek tua. Memang ada ya kakek muda? Bisa jadi sih kakek muda, asal ketika menikah dahulu tidak dalam usia yang puluhan. Belasan tahun sudah menikah, maka kemungkinan ketika cucunya lahir nanti, dia belum terlalu tua.

Namanya seorang kakek, pastilah berbeda dengan kakak. Kakek itu meminta yang aneh-aneh kepada si istri. Ternyata, kakek tersebut adalah mertuanya, berarti ayah dari laki-laki beristri tersebut.

Istri terus mengeluh kepada suaminya.

“Sayang, kenapa bapakmu itu makin merepotkan saja dari hari ke hari?”

“Begitu ya, Honey? Memang sih aku juga merasa begitu.”

Rupanya kegalauan istri memang bersambut. Anak sendiri merasa repot dengan orang tuanya. Disusunlah rencana untuk menyingkirkan kakek tua tersebut dari rumah. Ini disingkirkan bukan karena kompetisi audisi di tivi itu lho. Namun, memang betul-betul agar kakek tua tidak lagi tinggal di situ.

Diajak Rekreasi

Caranya bagaimana agar kakek tua bisa terbuang? Apakah dimasukkan ke dalam karung, lalu dibawa dengan sepeda motor? Wah, kalau itu sih membuang kucing di pasar namanya! Herannya, beberapa hari kemudian, kucing itu bisa balik lagi ke rumah. Itu kok bisa ya? Kira-kira menurutmu apa penyebabnya? Padahal, antara pasar dengan rumah lumayan jauh.

Baca Juga: Membeli Buku Bajakan, Termasuk Terbitan Mizan, Entah Apa yang Merasukimu, Kawan?

Kakek tersebut direncanakan akan diajak jalan-jalan. Si laki-laki beristri sudah mengatakan kepada ayahnya untuk pergi rekreasi besok.

“Yah, besok kita pergi jalan-jalan ya. Ayah siap-siap saja pagi-pagi.”

Si kakek mengangguk saja. Menurut saja. Toh, mungkin dalam hatinya, dia sudah tahu rencana anaknya sendiri. Mungkin dia sendiri juga bingung. Dia ingin hidup dengan normal dan tidak banyak berbuat ulah. Namun, sungguh sedemikian sulit untuk usianya sekarang. Masa tua yang dipenuhi kelemahan dan kepayahan, susah betul dikendalikan.

Mulai Menjalankan Rencana

Pagi hari, laki-laki beristri satu dan sepertinya tidak akan menambah lagi itu, sudah bangun. Diapun membuat bambu-bambu dan dijadikan keranjang. Anak laki-lakinya muncul.

“Ayah, lagi bikin apa?”

“Oh, ini lagi bikin keranjang bambu kok.”

“Keranjang bambu? Buat apa, Ayah?”

“Ayah mau ajak kakekmu jalan-jalan, Nak. Mungkin dia merasa bosan di rumah.”

“Bosan di rumah? Gini aja deh, Yah, saya minta keranjang itu tidak usah dipakai. Simpan saja di rumah.”

“Lho, kenapa, Nak? Keranjang ini mau dipakai buat gendong kakekmu jalan-jalan. Rekreasi.”

“Keranjang itu mau saya pakai nanti kalau Ayah sudah tua seperti kakek. Akan saya pakai buat gendong Ayah dan menaruh Ayah di tempat rekreasi seperti kakek itu.”

JEGLERR!!! Muncul petir di malam hari. Eh, tunggu, ceritanya ini ‘kan di pagi hari. Jadi, lebih tepatnya petir di pagi hari.

Rupanya, tanpa disangka, tanpa diduga, tanpa dinyana, anak laki-laki mendengar pembicaraan kedua orang tuanya mengenai rencana jahat membuang kakek bertajuk rekreasi. Anak laki-lakinya mempunyai rencana untuk membalas perlakuan bapak sendiri.

Belajar Menjadi Detektif

Kalau sudah yakin bahwa anak cerminan orang tua, maka perlu dilihat sikap anak apabila berbeda dengan orang tua. Misal begini, orang tuanya itu dulunya pernah jadi pemarah. Apa saja selalu jadi bahan kemarahan. Bahkan sering pula timbul pertengkaran suami istri. Anak-anak menyaksikan dengan jelas pertarungan ayah dan ibunya yang mirip UFC. Wah, ngerinya!

Anak-anak yang mendapatkan contoh seperti itu, kemungkinan besar akan mengikuti sikap dan perilaku orang tuanya. Jadi, orang tua sendiri jangan kaget apabila anaknya membantah, berteriak, berperilaku kasar, sampai memukul teman mainnya. Jangan-jangan orang tua memang yang memberikan teladan seperti itu.

Namun, andaikata orang tuanya ramah, baik hati, murah senyum, sopan dan sikap-sikap lainnya, sementara anaknya sering jengkel, emosi, melempar barang, bahkan sampai berbicara kotor atau jorok, maka orang tua jangan kaget dulu. Jangan marah dulu! Coba tanyakan kepada anak tersebut, “Nak, tadi Ayah dengar Adik bicara kotor. Itu belajar dari siapa ya, Nak?” Atau “Adik dengar kata itu dari mana?”

Dari situ, orang tua bisa menelusuri, selama ini anak itu bergaul dengan siapa saja? Di antara pergaulan tersebut, yang manakah pengaruhnya paling kuat? Jadi, dari situ, orang tua memang harus waspada dan hati-hati terhadap orang yang memberikan pengaruh buruk terhadap anak.

Kesimpulan

Menjadi orang tua memang sangat tidak mudah. Apalagi di tengah jaman now yang semakin menggila ini. Namun, bukan berarti harus berhenti jadi orang tua bukan? Anak-anak sudah ada beberapa, sebagian sudah mulai besar, masa orang tua langsung menyerah begitu saja?

Kenyataan bahwa anak cerminan orang tua itu susah untuk disangkal. Karena dari mana lagi anak lahir kalau buka dari orang tuanya. Ya ‘kan?

Namun, jangan cuma darah dan dagingnya saja yang dipikirkan bahwa anak dari orang tua. Sifat, perilaku, kepribadian dan orientasi hidup bisa sebelas dua belas antara anak dengan orang tua.

Baca Juga: Bayar Sekarang Atau Nanti?

Sumber: Darun Najah
Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.