[Penting Untuk Setiap Orang Tua] 7 Kiat Pembentukan Karakter Anak dalam Keluarga

[Penting Untuk Setiap Orang Tua] 7 Kiat Pembentukan Karakter Anak dalam Keluarga

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Bicara tentang pembentukan karakter anak dalam keluarga tentunya membutuhkan tahap-tahap tertentu. Sebelum membahasnya, ada baiknya kita bahas tentang tumbuh kembang anak.

Apakah itu tumbuh kembang anak? Apakah diibaratkan seperti kembang yang tumbuh? Bisa juga seperti itu. Kembang atau bunga yang disirami dan dipupuk dengan tepat, mampu menghasilkan bunga yang indah serta sejuk dipandang mata. Apalagi ditambah dengan bunga yang wangi, alangkah indahnya kita memilikinya di dalam rumah sendiri.

Bukti Cinta Suami Istri

Ketika masih jomblo, apa yang kamu rasakan? Selain merasa kesepian dan kesedihan yang berkepanjangan, entah berapa kilometer juga, juga menerima bully dari orang-orang terdekat. Ini biasanya lho ya! Kalau bukan dari mereka yang notabene adalah keluarga, juga dari teman-teman terdekat. Tidak hanya dari orang yang dikenal, tetapi juga dari media sosial. Lengkap deh!

Hal itu Insya Allah akan berubah ketika kamu sudah menikah. Sudah memiliki suami maupun istri. Menemukan dan memiliki pasangan yang halal plus legal membuat hati menjadi lebih tenang. Tidak lupa juga bahagia menjalani hari-hari.

Salah satu bukti kebahagiaan itu adalah hadirnya si buah hati. Ini betul-betul menjadi tanda kebahagiaan yang amat besar bagi suami istri tersebut. Suami merasa – maaf – kejantanannya terbukti dan teruji, begitu juga istri yang menerima benih dari suami, berhasil juga. Suami istri itu bahagia, keluarga besarnya juga.

Baca Juga: [Temukan di Sini] 9 Alasan Bosan dengan Pasangan

Kebahagiaan itu akan menjadi lebih besar lagi setelah anak dinanti-nanti dalam waktu cukup lama. Ada juga lho yang menyiapkan program kehamilan khusus. Mungkin harganya mahal, mungkin juga tidak murah. Lho, sama saja. Pada intinya, tujuannya adalah mendapatkan keturunan yang nanti bisa meneruskan perjuangan hidup ayah dan ibunya.

Tumbuh Kembang Anak

Seperti tadi yang sudah saya tulis, tentang tumbuh kembang anak, ini yang perlu dibahas terlebih dulu sebelum tips atau kiat pembentukan karakter anak dalam keluarga. Ada tanggung jawab orang tua untuk memberikan sesuatu yang terbaik sejak anak masih dalam kandungan. Tentunya, sesuatu tersebut adalah nutrisi yang tepat. Selain berwujud makanan, juga dalam bentuk kondisi kejiwaan atau psikologis.

Mari kita lihat ketika anak di dalam kandungan ibunya. Ternyata, bayi tersebut sudah bisa merasakan sentuhan. Tidak mungkin tangan orang tua langsung menyentuh ke janin. Tentu, harus lewat perut ibu yang hamil tersebut. Boleh ketika ibunya masih tertutupi kain atau pakaiannya, boleh lebih daripada itu. Kalau ini sih, sudah urusan suami istri masing-masing.

Selain sentuhan, janin yang usianya empat bulan sudah bisa mendengar suara. Makanya itu, jika ingin membentuk anak penghafal Al-Qur’an, maka inilah mulai kesempatan. Ibunya bisa mendengarkan rekaman murottal. Selain itu, ibunya sendiri yang mengaji untuk anaknya. Nah, apakah ibunya sudah lancar membaca Al-Qur’an atau belum nih?

Emosi Perlu Dijaga

Ibu dan janinnya jelas terhubung karena berada dalam satu tubuh. Oleh karena itu, segala emosi yang muncul pada diri ibunya, seperti: bahagia, galau, marah, stres, dan emosi lain itu bisa pula dirasakan oleh janin.

Tidak cuma itu lho, Ayah dan Bunda, emosi yang diterima oleh si janin itu mampu memberikan pengaruh untuk pembentukan watak dan sifat anak. Hem, harus hati-hati juga kalau begini! Jangan sampai ibunya pemarah, anaknya nanti ikut-ikutan jadi pemarah? Pasti rumah terasa di neraka kalau lebih dari satu orang suka marah-marah.

Jadi, betul-betul seorang ibu hamil harus menjaga emosinya. Jangan sampai berlebihan. Mungkin ada masanya muncul emosi itu, misalnya ketika anak yang lebih besar mengotori rumah atau membuat barang-barang berantakan. Namun, jangan terlalu larut dalam emosi tersebut ya, Ayah dan Bunda. Ingat, sedang hamil lho!

Melalui Tangisan

Mana mungkin bayi yang baru lahir langsung tertawa dan bilang, “Assalamu’alaikum!” Kalau ada begitu, pastilah gempar. Meskipun tidak sampai gempar bumir. Ini sih bencana alam. Hehe..

Tangisan. Hanya lewat itulah seorang bayi berkomunikasi dengan orang tua atau keluarga lainnya. Namun, coba dicermati. Ternyata, tangisan bayi pun bisa berbeda-beda. Mungkin dari lamanya menangis, nada suara, tinggi rendahnya atau waktunya. Orang tuanya perlu peka untuk urusan ini.

Mulai Bicara

Sebenarnya tangisan pun bentuk bicara. Barulah pada umur 9 bulan, anak berlatih mengucapkan suku kata yang sederhana. Pada usia 2 tahun, mampu bicara dalam kalimat singkat. Lebih sempurna lagi ketika anak usia 3 tahun lebih.

Komunikasi yang mulai jelas antara anak dan orang tua, maka ini menjadi semacam warning kepada orang tua itu sendiri. Anak adalah peniru yang kuat. Makanya, orang tua harus memberikan teladan yang baik di depan anak-anaknya.

Baca Juga: Betulkah Blokir Kontak Membuat Nyaman di Otak?

Ah, sebenarnya berperilaku baik itu juga bermanfaat bagi diri orang tua sendiri kok. Mau marah terus, jengkel terus, galau terus, lama-kelamaan bisa merusak jiwa orang tua tersebut. Lebih baik perbanyak senyum, bahagia, ceria, dan sifat-sifat lainnya. Kalau hidup bahagia, bukankah itu berpeluang untuk umur panjang? Setuju nggak nih?

Sebelum melangkah, sebenarnya untuk pembentukan karakter ini, siapa yang harusnya lebih dominan? Siapa yang harusnya lebih bertanggung jawab? Ternyata, ada pada sosok ayah. Seperti apa penjabarannya? Boleh simak video yang satu ini ya!

Sekarang kita masuk ke kiat pembentukan karakter anak dalam keluarga. Ada 7 tipsnya sesuai judul.

1. Contoh yang Baik

Ini yang menjadi pijakan untuk pembentukan karakter anak dalam keluarga. Siapa lagi yang dicontoh pertama kali oleh anak selain dari orang tua? Contoh yang baik dalam pendidikan anak adalah rumah yang hangat, tanpa perlu pakai pemanas ruangan. Selain itu, penuh dengan kasih sayang.

Bagaimana caranya? Mudah saja. Biasakan untuk mengungkapkan rasa cinta dan sayang melalui lisan. Katakan, “Nah, Abi sayang sama kamu.”

Atau “Umi cinta banget deh sama Kakak.”

Kalimat-kalimat cinta yang sederhana, tetapi akan membekas cukup lama di hati anak. Lha wong antarsuami istri saja bisa saling sayang-sayangan kok, masa untuk anak sendiri tidak? Padahal kalimatnya juga tidak jauh berbeda ‘kan?

Lisan sudah, berikutnya adalah tindakan. Salah satu yang terlihat jelas adalah memberikan pelukan. Ini bentuk perhatian yang luar biasa antara orang tua dan anak. Kontak fisik dan batin yang benar-benar menempel. Sekilas, itu adalah bertemunya fisik orang tua dan anak. Namun, jauh daripada itu, adalah bertemunya hati di antara mereka. Ya, bukankah hati anak berasal dari orang tua? Bukankah anak adalah darah daging orang tua? Ya ‘kan? Ya, dong!

Oh, ya, ketika ada masalah suami dan istri, usahakan untuk membicarakannya berdua saja di dalam kamar. Jangan sampai anak tahu! Nanti, ketika anak dengar, malah dia bilang begini, “Jadi, begini, Ayah dan Bunda. Masalah kalian itu sebenarnya gampang. Saya tuh menyarankannya begini, bla, bla…”

Nah, orang tua mana yang tidak pusing kalau anaknya seperti ini? Hehe…

2. Coba Sendiri

Buat anak kok coba-coba? Masih ingat tagline iklan ini? Kalau tidak salah, Caplang ya? Betul tidak?

Dari kalimat itu, terlihat bahwa produk untuk anak memang tidak boleh sembarangan. Namun, dalam makna kalimat yang lain, anak memang perlu diberikan kesempatan untuk mencoba sesuatu yang baru.

Masalah yang timbul adalah seringkali orang tua tidak memberikan kesempatan itu. Semuanya diambil alih oleh orang tua. Contohnya: makan sendiri. Masih ada lho, anak-anak disuapi terus padahal usianya sudah bukan balita lagi. Kalau anak makan sendiri, orang tua mencegah agar tidak berantakan. Nasi terhambur ke mana-mana. Sayur tumpah. Air minum tergenang di lantai dan sebagainya.

Padahal, namanya juga baru belajar. Apa langsung lancar begitu? Jelas tidak. Tangan anak masih belum terlalu terlatih untuk makan sendiri. Namun, justru harus diberikan kesempatan belajar agar dia bisa mengeksplorasi tumbuh kembangnya.

Pembentukan karakter anak dalam keluarga juga perlu dilakukan ketika anak menangis meraung-raung. Istilahnya adalah tantrum. Anak yang sedang dalam kondisi begini biasanya karena meminta sesuatu, tetapi tidak langsung dituruti orang tuanya.

Apabila orang tua mengatakan, “Ya, sudah, nanti kita beli mainan ya!” Anak tersebut akan merasa perjuangannya berhasil. Besok-besoknya lagi, jika dia minta sesuatu, bisa kok pakai cara yang sudah terbukti manjur tersebut. Orang tua yang tidak tegaan akan terus menjadi sasaran empuk anak demi mendapatkan sesuatu yang sangat diinginkan anak.

Apa cara terbaiknya ketika anak tantrum sih? Apakah harus dihentikan begitu? Mungkin ada orang tua yang langsung seakan-akan jadi pemadam kebakaran. Menyemprotkan air ke anak yang sedang “panas”. Apalagi jika anak tersebut tantrum di depan banyak orang. Ketika di suatu acara misalnya. Orang tua tidak mau malu, makanya berkata memberikan janji, “Ya, habis ini kita pulang, beli robot-robotan ya!”

Kalau seperti itu terus, maka anak akan selalu harus dituruti permintaannya. Ujung-ujungnya nanti anak jadi manja. Jika tidak dipenuhi akan mengamuk. Hem, apakah kasus pembunuhan orang tua oleh anaknya sendiri karena minta motor, apakah dahulu ketika masa kecilnya selalu dituruti ya? Entahlah, bisa jadi. Anak manja semuanya harus tersedia, meskipun orang tua sebenarnya tidak mau atau kurang mampu.

Bila anak sedang tantrum, maka dibiarkan saja sampai reda sendiri. Anak butuh pelampiasan perasaan jengkel dan marahnya. Orang tua juga perlu bilang ke anak, bahwa solusinya akan disampaikan asalkan anak mau tenang dulu. Dalam tahap ini, maka anak bisa cepat berhenti dan bertanya-tanya, kira-kira solusinya apa ya? Apakah tetap dibelikan mainan sesuai janji orang tuanya tadi? Apakah ganti mainan lain? Atau apa?

Berikan anak waktu jeda untuk menangis dan menjadi tantrum tersebut. Diawasi saja, selama tidak berbahaya bagi anak, maka tetap harus dibiarkan.

Oh, ya, takut terlupa. Anak yang mencoba sesuatu yang baru atau menemui masalah baru, biarkan dia mencari solusi jitunya. Melatih anak untuk berpikir kritis terhadap permasalahan yang dihadapinya. Jangan langsung katakan kepada si anak, “Wah, masa gitu saja gak bisa?!” Itu jelas mengganggu perkembangan psikologis anak.

3. Kenyang dengan Peraturan

Katanya, peraturan itu dibuat untuk dilanggar ya? Mungkin itu terjadi di tempat lain, tetapi untuk di keluarga kita, lebih bagus jangan sampai terjadi! Sebab, keluarga adalah rumah kita sehari-hari. Tempat kita menghabiskan waktu lebih banyak. Iya ‘kan?

Peraturan dalam rumah jangan cuma sekadar dibuat saja, tetapi harus konsisten dilaksanakan. Misalnya: harus merapikan mainan setelah bermain. Boleh menonton TV dengan durasi waktu tertentu setelah PR beres. Eh, kalau PR ini memang terus ada karena sekolah masih online. Kapan ya bisa kembali normal seperti sebelum ada corona?

Adanya peraturan yang tegas, maka anak akan belajar bahwa disiplin itu ternyata bisa membuat hidup lebih terarah. Tentunya hal ini memerlukan pemahaman dari orang tua untuk menyampaikannya ke anak. Dengan demikian, pembentukan karakter anak dalam keluarga akan terjadi.

4. Bonding Time dan Pengertiannya

Bonding time? Apa artinya waktu buat meluruskan rambut? Kalau itu sih namanya rebonding time. Bonding time itu adalah waktu khusus dari orang tua untuk si anak. Ya, benar-benar untuk si anak, bukan untuk yang lain.

Meskipun kita sebagai orang tua memang setiap hari bertemu anak di rumah, tetapi apakah setiap saat ada waktu khusus buat mereka? Belum tentu bukan? Bahkan dalam 24 jam sehari di rumah sekalipun, belum tentu bisa betul-betul mencurahkan waktu untuk anak. Yang ada, mungkin lho ya, biasanya main HP, main game online atau nonton yang tidak jelas.

Jika untuk orang lain ada waktu, sementara untuk anak sendiri kok tidak? Ini yang jadi pertanyaan besar buat orang tua. Sementara, kita berharap banyak kepada anak-anak untuk menjadi penerus di masa depan, tetapi untuk waktu belum tentu maksimal. Jangan dulu bicara kualitas, jika kuantitas juga belum tercapai.

Pentingnya bonding time lebih khusus pada anak usia 6 sampai 15 tahun. Lalu, apa tujuan dari bonding time ini? Ternyata, agar lebih dekat, komunikasi yang lebih baik dan keterbukaan anak kepada orang tua serta tidak ada ketakutan maupun kecanggungan anak mengungkapkan perasaannya kepada orang tua.

Dalam proses pembentukan karakter anak dalam keluarga, maka anak mesti dibuat nyaman agar plong cerita ke orang tuanya. Bisa anak menceritakan kegiatan rutinnya di sekolah, hobi paling gressnya, maupun sampai curhat yang menjurus. Bayangkan jika anak salah tempat curhat, hem, akibatnya bisa merugikan anak dan keluarganya sendiri.

5. Negosiasi dengan Anak

Walaupun anak kita masih balita, tetapi bagus juga lho untuk berdiskusi dengan mereka demi pembentukan karakter anak dalam keluarga. Diskusi maupun negosiasi bisa dilakukan dengan anak setelah anak tersebut berhenti menangis, atau berhenti tantrumnya. Apakah yang dimaui oleh anak? Nah, dari situ, orang tua bisa mempertimbangkan, masih mau menuruti atau tidak? Atau diganti dengan sesuatu yang lain?

Baca Juga: 5 Cara Pinter Atasi Minder

Diskusi dengan anak tercinta bertujuan untuk menghasilkan win-win solution. Saking penting diskusi ini, maka usia anak tidak terbatas untuk melakukannya dengan orang tua. Bagus juga, untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang kondisi kekinian. Orang tua dapat ikut meluruskan isu-isu yang anak belum terlalu paham.

Dalam kaitannya dengan pembentukan karakter anak dalam keluarga, maka anak akan dilatih untuk berkomunikasi dengan benar. Tidak cuma itu, ketika ada kritik dan saran, anak jadi menerima.

6. Ucapan Tolong, Maaf, dan Terimakasih

Sopan santun. Itulah dua kata yang juga sangat penting diajarkan kepada anak. Ketiga kata tersebut bagus sekali untuk menjadi ciri khas dalam ucapan-ucapan anak kita.

Kata “tolong” dipakai untuk memberi perintah kepada orang lain. Contohnya, “Dik, tolong, Dik, ambilkan kakak mainan di atas kursi itu ya!”

Kalau kata “maaf” jelas dipakai ketika anak berbuat salah, baik itu kepada orang tua maupun saudara kandungnya. Sedangkan “terima kasih” sebagai tanda syukur anak atas kebaikan orang lain. Ah, pokoknya, tiga kata ini joss banget, lah!

7. Ada Bersama Anak

Siapa sih orang yang tidak pernah berbuat salah? Mau orang dewasa, mau anak-anak tetaplah ada kesalahan. Minimal sekali dalam hidup, pastilah ada kesalahan itu.

Untuk anak-anak, mereka yang sering bermain atau berperilaku aktif lainnya, juga tidak luput dari kesalahan. Misalnya, memecahkan piring dari atas meja. Merusak benda-benda perabotan lainnya. Itu wajar bukan? Apakah anak-anak itu selalu salah? Oh, belum tentu. Bisa jadi orang tuanya sendiri yang salah. Siapa suruh punya perabotan banyak-banyak? Hohoho…

Wajar jika orang tua merasa marah, jengkel ataupun kecewa kepada anaknya yang berbuat kesalahan tersebut. Dimarahi pun masih terhitung wajar juga. Namun, marah yang bagaimana dulu ini? Apakah sampai marah dengan memasang muka yang luar biasa mengerikan? Ditambah dengan kata-kata kasar kepada si anak, bahkan dengan hinaan untuk mereka: Goblok, tolol atau bodoh? Begitu?

Untuk langkah terakhir ini dalam pembentukan karakter anak dalam keluarga memang gampang untuk dikatakan. Ya, sebenarnya semua kiat di atas memang gampang dikatakan, mudah untuk dibaca dan mudah juga untuk dishare. Hehe…

Tapi, melakukannya? Apakah segampang dan semudah itu?

Dalam hal ini, memang sosok orang tua yang memegang peranan penting. Itulah mengapa yang bisa menikah itu adalah orang yang sudah dewasa. Sebab, mereka mampu berpikir logis dan tidak sepenuhnya mengandalkan perasaan. Kalau anak berbuat kesalahan, lalu pakai perasaan terus, maka anak akan tersiksa. Dia akan mendapatkan serangan dari orang tuanya, baik lisan maupun perbuatan.

Agar bisa dalam proses yang baik untuk pembentukan karakter anak dalam keluarga, maka janganlah orang tua seakan-akan meninggalkan anak. Atau membiarkan anak menghadapi kesalahan tersebut seorang diri. Carilah solusi dari orang tua untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Jelaskan dengan sebaik-baiknya kepada si anak untuk sebisa mungkin tidak melakukan perbuatan yang sama.

Tapi, hey, tunggu! Jika anak melakukan kesalahan yang sama, orang tua juga mesti siap. Orang tua pun berpikir, jangan-jangan dia sendiri juga sering begitu? Kesalahan pada orang tua di masa lalu bisa terulang-ulang lagi. Misalnya, marah-marah. Itu ‘kan perbuatan yang kurang tepat. Apakah sering dilakukan? Nah, jika sering, maka itu berarti mengulang-ulang kesalahan yang sama.

Baca Juga: 10 Perkataan yang Merusak dan Meruntuhkan Dunia Anak

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.