Seloowwww Aja dalam Pendidikan Anak

Seloowwww Aja dalam Pendidikan Anak

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Membaca sebuah artikel di sebuah media online, saya rasa ada benarnya juga. Tentang kehidupan sekarang yang maunya serba cepat dan segera terjadi.

Kalau dengan kehidupan kamu sendiri bagaimana? Saya juga mengalami hal yang sama, meskipun tidak semua aspek sih. Paling terasa memang hari Senin. Sebab, pada hari inilah saya apel pagi di kantor. Apel jam delapan pagi. Biasanya, saya merasa kewalahan, terburu-buru, mempersiapkan perlengkapan ke kantor, mengurus anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Teman saya pun begitu. Apalagi dia bisa dianggap single parent di sini. Suaminya ada di luar provinsi, jauh banget. Anaknya tiga, sementara dia juga sedang hamil anak keempat. Selalu merasa repot kalau hari Senin dan kadang hari-hari lainnya. Kalau sampai terlambat apel, apalagi tidak ikut, maka akan dilaporkan ke kantor wilayah yang lebih tinggi. Makin sering bolos apel, bisa kena sanksi.

Memang, kehidupan saya tidak seperti orang Jepang yang sudah dari sononya serba cepat. Jalan mereka cepat karena sangat menghargai waktu. Di sana, apa ya istilahnya, waktu adalah pedang, waktu adalah uang, atau semacam itulah. Waktu tidak boleh dilewatkan begitu saja. Makanya, keterlambatan kereta api di Jepang tidak sampai menit, apalagi jam. Hanya terlambat sekian detik. Luar biasa bukan?

Sedangkan di Indonesia, waktu adalah jam. Yang dipakai pun jam karet. Selalu saja molor. Hampir tidak ada kegiatan yang tepat waktu di sini. Undangan disebutkan jam 8, belum tentu dimulai jam 8. Yang ada biasanya para peserta baru berkumpul jam 8. Lha terus mulainya kapan?

Nikmat yang Buru-buru

pendidikan-anak

Dalam artikel yang saya baca tersebut, kondisi cepat salah satunya adalah makan. Ya, makan ‘kan itu idealnya ditelan, eh, dikunyah sebanyak 33 kali bukan? Tapi sekarang, siapa coba yang sampai hitungan begitu? Mungkin baru hitungan 5 atau 10, sudah ditelan. Buru-buru sekali dan terkesan tidak menikmati makanan tersebut. Padahal, Subhanallah, betapa banyak orang butuh makan, sedangkan di sini makan terburu-buru. Kalau saking terburu-burunya, akhirnya disisakan.

Selain urusan makan, juga urusan pekerjaan atau belajar, lah. Mahasiswa contohnya. Gara-gara menunda-nunda, akhirnya jadi dipadatkan dalam satu malam. Tugas kuliah, belajar untuk ujian tengah semester maupun akhir, harus dilakukan buru-buru dan cepat karena besoknya mau dikumpulkan. Memang sih, mahasiswa tersebut bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Secepat Flash. Tapi ‘kan, kemampuan terbaiknya justru karena menunda-nunda pekerjaan itu, makanya jadi buru-buru.

Dalam lalu lintas misalnya, kamu juga bisa melihat. Orang buru-buru di jalan, mengebut, tanpa terlalu mempedulikan orang lain. Paling terlihat saat di lampu merah. Belum muncul hijau, sudah klakson sana-sini. Itupun keras pula. Dan, saat macet. Sudah tahu macet, yang di depan tidak bisa melaju barang satu senti, eh, klakson terus. Kan yang ada justru tambah stres.

Apalagi ya yang dilakukan serba buru-buru? Oh, ya, dalam dunia pekerjaan ada istilah “tiba masa, tiba akal”. Ini juga biasa dilakukan secara cepat dan serba mengebut. Pekerjaan sebelumnya yang tidak dipersiapkan dengan baik, justru menemukan jawabannya di menit-menit terakhir. Deadline sudah dekat, sanksi ada di depan mata, dan langsung dilakukan dengan sangat terburu-buru.

Termasuk ya, dalam urusan menulis sih, hehe. Ada deadline, baik itu lomba maupun setor link. Apalagi kalau hari Ahad. Wah, itu selain hari mencuci nasional, juga hari panik nasional. Sebab, kalau sampai lewat dari hari Ahad, alamat setor Biskuat. Eh!

Dalam Dunia Pendidikan Anak

Nggambleh sampai di sini, ternyata saya belum menyentuh inti dari tulisan ini. Sesuai niche blog ini yang lebih ke arah parenting, akan dibahas tentang pendidikan anak. Apakah ada orang tua yang merasa harus serba cepat dalam mendidik anak? Oh, banyak. Paling terasa saat masa pandemi yang lalu. Saat belajar online. Di situlah sumber kesusahan bagi orang tua dan anak.

Saya masih ingat ada cerita-cerita tentang orang tua yang memukul anaknya karena tidak paham-paham juga saat belajar daring. Bahkan, ada anak yang sampai meninggal karena tidak hanya dipukul, tetapi juga ditendang. Padahal anak tersebut memang butuh waktu untuk paham, tetapi orang tua yang tidak sabar, inginnya serba instan.

Masa-masa seperti itu memang saya rasakan juga. Mengajar anak saya yang pertama, waktu itu kelas 2 SD. Saya merasa stres duluan karena materinya termasuk berat untuk ukuran anak SD. Namun, harus tetap diajarkan. Tugas muncul setiap hari melalui Whatsapp. Saya harus meluangkan waktu lebih banyak untuk mengajari anak tersebut. Dan, memang susah jika hanya belajar online. Sebab, tidak semua orang tua punya bakat jadi guru. Yang ada, kalau sudah emosi, ya, anak siap-siap kena getahnya.

Perlu diketahui, bahwa pendidikan anak itu adalah sebuah proses yang sangat panjang. Hasil yang dirasakan pun tidak bisa instan. Dari sejak dalam rahim, lahir, mulai tumbuh besar, remaja, hingga dewasa, semuanya memang by process. Kalau orang tua menghendaki cepat, maka hasilnya belum tentu langsung dapat. Santai saja, selowww saja. Nikmati prosesnya, karena menjadi orang tua itu pada dasarnya menyenangkan. Ini teorinya lho, hehe..

Saya teringat dengan sebuah cerita. Seorang ibu menghadapi anaknya yang nakal luar biasa. Kalau tidak salah, sampai mabuk, merokok sudah pasti, dan kenakalan remaja lainnya. Dia juga sering dibentak oleh anaknya, intinya anak tersebut memang susah diatur. Keluar pagi pulang malam dalam keadaan yang teler. Nah, orang tua pada umumnya akan merasa yang jengkel, marah, dan rasanya ingin mengamuk saja ke anak yang seperti itu.

Namun, ibu itu berbeda. Mengetahui anaknya brengsek, dia selalu bangun malam. Mendoakan anaknya secara khusus sambil beristiqfar. Mungkin memang anak seperti itu karena kesalahannya yang dulu.

Terus tiap malam, dia meminta kepada Allah. Tentunya sambil menangis dan sangat mengharapkan pertolongan dari Allah. Wajar kok saat salat malam, menangis tanpa bisa dicegah. Sebab, suasananya Masya Allah, antara dia dan Allah, seakan-akan tidak ada manusia yang lain.

Sering ibadah malam, ditambah dengan ibadah-ibadah lainnya, justru tidak mengubah sifat anak, atau minimal belum. Barulah, ketika ibu itu meninggal, si anak menjadi sadar dan betul-betul sadar. Selama ini dia melakukan kesalahan. Bukan hanya kesalahan kecil, melainkan sangat besar. Makanya, dia ingin kembali menjadi orang baik. Kembali menjadi anak yang benar. Walaupun ibunya sudah meninggal, ternyata doa-doa sang ibu selama ini terkabul juga. Alhamdulillah.

Terburu-buru Tidak Selalu Bermutu

pendidikan-anak-2

Dari cerita tersebut, semoga bisa diambil hikmahnya. Kita sebagai orang tua sering membaca buku tentang parenting, seminar menjadi orang tua yang bahagia, mendengarkan podcast dari para pakar psikologi, tetapi kok anak kita belum berubah? Keluarga kita masih begitu-begitu saja?

Kalau sudah seperti itu, seloww aja, santai saja. Itu yang dinamakan dengan proses. Insya Allah, akan indah pada saatnya nanti jika yang kita lakukan memang kebaikan. Allah saja menciptakan bumi dan langit dalam enam masa kok. Bisa saja Allah langsung menciptakan cling, terus jadi. Namun, dari penciptaan langit dan bumi itu, kita harus mengerti bahwa tidak selamanya yang kita inginkan langsung dikabulkan. Tidak selamanya yang kita usahakan akan terwujud.

Anak adalah investasi masa depan. Tidak hanya masa depan di dunia ini, tetapi masa depan yang lebih di depan, yaitu: di akhirat. Pola pendidikan anak yang terburu-buru cenderung tidak akan cocok dengan kondisi sekarang. Bayangkan jika orang tua terlalu terburu-buru dalam mendidik anak hingga sering melakukan kekerasan agar tujuannya tercapai, maka anak akan lari. Kalau anak sudah lari, maka pelampiasannya banyak. Bisa ke game online berbau judi, rokok, pornografi, seks bebas, hingga narkoba. Hayo, pilih mana? Pasti tidak ada yang mau dipilih bukan?

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

2 Comments

  1. Aku adalah produk buru-buru dan akhirnya stress karena masuk SD di usia 5 tahun 6 bulan.

    Makanya gak mau buru-buruin ke anak, sloww aja. Dia belum bisa naik sepeda di usia 10 tahun ya gakpapa, diajarin lagi.

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.