Penting Belajar Parenting Pakai IndiHome yang Tahan Banting

Penting Belajar Parenting Pakai IndiHome yang Tahan Banting

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Tahukah kamu tentang sifat kepo? Itu adalah sifat yang kita kenal sekarang sebagai rasa ingin selalu tahu kehidupan orang lain. Apakah kepo itu salah? Oh, tidak selalu begitu, Rudolfo!

Jawabannya, tergantung dari kepo ke siapa dan bagaimana? Kalau kepo ke semua orang, rasanya repot sekali dan kepala seperti mau pecah. Sedangkan kalau kepo hanya untuk hal-hal tertentu, maka bisa menjadi suatu motivasi.

Ada kepo yang mungkin menyebalkan. Misalnya, kok sampai sekarang belum nikah? Kok sampai sekarang belum punya anak? Sudah nikah kok masih tinggal sama orang tua? Dan seterusnya, sejenis dengan itu semua.

Bagi orang yang mendengarnya, buat apa sih tanya-tanya begitu? Kan risih juga, ya toh? Pertanyaan “kok sampai sekarang belum nikah” itu sangat banyak alasannya. Mungkin memang belum ketemu jodohnya. Sudah beberapa kali mencoba, tetapi juga tidak jadi-jadi. Atau, seperti alasan teman-teman saya, belum cukup uang panaik. Uang jenis ini menjadi syarat untuk menikah dengan perempuan Sulawesi, terlebih suku Bugis. Jumlahnya, wow fantastis!

Tentang Menikah

indihome-8

Diakui saja, ada alasan orang menikah supaya tidak dibully lagi. Bully ini memang mirip racun, tetapi tidak berdarah. Bisa disuntikkan secara langsung lewat mulut, maupun diserang melalui Whatsapp, utamanya di grup-grup.

Kalau orang menikah dengan alasan itu, agar tidak dibully lagi, ditambah dengan ikut-ikutan, atau hanya karena faktor umur, maka pondasi pernikahan itu bisa rapuh. Terlebih jika sudah memiliki anak nanti.

Saya pernah menonton beberapa video orang yang baru saja menikah, tetapi mengalami KDRT. Satu, sebuah video suap-suapan roti. Pertama seorang suami yang memberi ke istrinya. Terlihat romantis bukan?

Namun, saat istrinya balik memberi roti, lebih tepatnya menyuapi, terlihat maju mundur. Jadi apa tidak dikasih roti? Begitu dalam pikiran si suami. Eh, suaminya jadi jengkel setengah mati. Tiba-tiba, istrinya langsung digampar dengan tangan.

Video kedua, saat adu hitung-hitungan. Saya kurang jelas dan agak lupa itu hitung-hitungan apa? Suaminya kalah hitungan, langsung istrinya digampar juga, di depan hadirin. Subhanallah. Padahal itu baru saja menikah, kok langsung KDRT ya? Bagaimana nanti jika sudah selesai acara? Dan, hari-hari selanjutnya. Bukankah akan makin parah?

Padahal kata Salim A. Fillah, saya sering menyebutnya dengan Ustadz Salim, seorang pakar parenting Islam, menikah itu adalah ibadah terlama, bahkan jauh lebih lama daripada umur pasangan itu sendiri. Dimulai dari akad nikah dan diakhiri nanti ketika sudah menginjakkan kaki di surga.

Selama belum sampai di surga, suami istri akan bisa bertengkar, konflik, gontok-gontokan, bahkan gigit-gigitan. Akan tetapi, jika hubungan mereka tetap awet, tidak putus, maka itulah yang terbaik. Konflik itu sementara, sedangkan hubungan kita selamanya. Begitu kata penulis yang menikah di umur 20 tahun tersebut.

Oleh karena hubungan tersebut selamanya, kalau bisa seperti itu, tentunya butuh napas yang panjang. Ibaratnya lari maraton, maka napas harus berton-ton. Ada saatnya berjalan pelan-pelan untuk beristirahat sejenak, tetapi tidak boleh berhenti sama sekali. Atau yang lebih parahnya adalah berbalik ke belakang. No way!

Problem orang menikah yang akan dihadapi selanjutnya tidak hanya relasi mereka berdua, dengan orang tua masing-masing, tetapi juga dengan anak. Orang menikah itu juga ingin punya anak secara legal dan halal. Bandingkan dengan yang hamil di luar nikah, pasti ada ketakutan yang luar biasa, kecemasan yang amat sangat. Sampai akhirnya, hem, terpikir untuk diaborsi saja. Waduh! Teganya! Sedangkan hadirnya anak dari pasangan suami istri membuat keduanya jadi tambah bahagia dan cerah wajahnya. Alhamdulillah.

Setelah Punya Anak

indihome-9

Kalau hanya bangga-banggaan punya anak, hewan juga bisa punya anak. Bahkan, hewan bisa lebih banyak anaknya, tetapi bisa “sukses” dalam mengelolanya. Masa manusia kalah? Padahal punya akal pikiran dan daya inovasi yang lebih tinggi daripada hewan.

Problem dalam mengelola anak memang seputar ilmu. Apalagi kalau bukan ilmu parenting? Ilmu yang satu ini justru sering dianggap remeh oleh orang tua sendiri. Mereka merasa belajar parenting itu cuma membuang-buang waktu. Hanya membuang-buang uang. Alhasil, mereka tidak meluangkan kesempatan untuk mempelajarinya.

Contohnya, untuk membeli buku-buku parenting setiap bulan, kira-kira banyak atau sedikit? Ini tentu saja terkait dengan minat membaca orang Indonesia yang termasuk sangat rendah. Masa sih?

Kita lihat data yang ada saja. Menurut situs https://perpustakaan.kemendagri.go.id, miris memang karena Indonesia menempati rangking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi. Dalam kata yang lain, berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Dari mana hasil itu didapatkan? Rupanya dari survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019.

Kenyataan itu sesuai dengan pernyataan dari staf ahli Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Suhajar Diantoro pada Rapat Koordinasi Nasional Bidang Perpustakaan tahun 2021. “Tingkat literasi Indonesia pada penelitian di 70 negara itu berada di nomor 62.”

Menurut situs https://news.harianjogja.com, total jumlah bahan bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio nasional 0,09. Ini bisa diartikan, satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahun. Sementara itu, sesuai standar UNESCO, perlu minimal tiga buku baru untuk setiap orang setiap tahun.

Kalau makan sambal pakai terasi, pasti banyak orang yang suka. Namun, kalau membahas literasi, tidak banyak yang menyukainya. Membaca buku masih dikatakan sangat asing, lebih asing daripada makhluk asing di film-film yang berbahasa asing tersebut. Jangankan membeli buku, untuk membaca saja sedemikian sulit. Sedemikian berat. “Apa kata dunia?” Kata Naga Bonar yang apik diperankan oleh Deddy Mizwar tersebut.

Lucunya atau anehnya, jika kebutuhan lain akan lebih mudah untuk dipenuhi. Misalnya, hapenya rusak. Baru saja jatuh. Maka, akan selalu ada uang untuk memperbaikinya. Atau, jika harga perbaikannya hampir sama dengan beli baru, ya, beli baru saja lah yauw! Ngapain pusing? Tidak ada uang, ngutang!

Dari tingkat membaca yang rendah, berefek pada kurangnya semangat untuk mempelajari parenting lewat buku-buku. Terlebih persepsi belajar bagi banyak orang tua itu ya waktu di sekolah. Bila sudah lulus, tidak perlu lagi belajar. Buat apa, ya toh? Begitu menurut mereka. Buat apa lagi membeli buku, toh buku yang ada sudah membuat pusing. Apalagi kalau bukan buku tabungan mereka? Haha…

Padahal, ilmu parenting ini jangan dianggap main-main! Tidak hanya berlaku ketika anak masih kecil, tetapi juga sampai anak masuk SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, hingga mereka menikah juga nanti. Ya, kalau laku dan ada yang mau sih, hehe..

Jika orang tua tidak mendapatkan asupan gizi ilmu parenting, maka akibatnya bisa berbahaya. Baru saja kemarin sore, saya melihat ada anak perempuan yang dimarahi ibunya gara-gara si anak menangis. Padahal, lokasinya ada di masjid dan ibu itu di rumah samping masjid. Entah karena apa anak perempuan tersebut menangis, tetapi si anak jadi makin menangis karena digendong, lalu digoyangkan dengan cukup keras oleh sang ibu.

Saya sendiri juga tidak habis pikir. Kalau ada anak menangis, orang tuanya datang sambil marah-marah. Dia meluapkan amarahnya kepada si anak dengan cara mencubitnya. Tidak hanya itu, orang tuanya berteriak sambil berseru, “Diam! Bisa diam nggak? Kalau nggak bisa diam, awas kamu nanti!”

Hem, bagaimana mau diam? Justru dia tambah menangis karena dicubit perutnya. Tambah sakit kok disuruh diam? Ya, jelas menangisnya akan makin kencang. Tepuk jidat dulu, deh! Geleng-geleng kepala.

Banyak kasus atau kejadian saat ini yang muncul karena kurangnya ilmu parenting dari orang tua. Misalnya, kisah seorang anak perempuan yang didekati oleh seorang preman di sebuah halte bus. Anak perempuan tersebut awalnya berkata kepada si preman, “Minggir kamu! Jangan coba-coba dekati saya!”

Namun, preman itu tetap mendekati. Dia tidak berbuat yang menjurus asusila, hanya mengatakan, “Matamu adalah mata yang paling indah sedunia.” Begitu saja. Ya, hanya begitu saja.

Rupanya, kalimat dari preman itu terbayang dan terus terbayang oleh si gadis. Ketika berada di bus, di rumah, tetap tidak mau hilang. Dia merasa terbuai. Melayang-layang, terasa sampai ke langit ketujuh. Dia lihat matanya di cermin, benarkah matanya memang terindah sedunia? Wuih, ternyata benar!

Besoknya, dia menunggu bus di tempat yang sama. Bertemu dengan orang yang sama, siapa lagi kalau bukan preman yang kemarin? Dan, mereka pun mulai akrab. Hubungan kaku pada hari sebelumnya menjadi cair. Menjadi makin dekat. Makin intens. Sampai akhirnya, terjadilah yang seharusnya tidak terjadi.

Mengapa sampai gadis itu begitu tertariknya dengan si preman? Rupanya, menurut seorang tokoh parenting, hal itu bisa terjadi karena gadis tidak mendapatkan kalimat yang sama dari cinta pertamanya. Siapa cinta pertamanya? Dia adalah sang ayah. Ya, ayahlah yang seharusnya menjadi cinta pertama dari gadis tersebut.

Mungkin ayahnya sudah meninggal dunia. Mungkin ayahnya merasa kaku untuk memuji gadisnya, “Wah, anak Ayah cantik sekali! Seperti bidadari dari surga!”

Atau bisa dengan kalimat lain, “Ayah akan terus mencintai kamu, Nak! Katakan saja ke Ayah, siapa laki-laki yang berani ganggu kamu, akan Ayah lumat.” Kira-kira seperti itulah, hehe…

Kriteria pendidikan yang berhasil dari seorang ayah kepada putrinya salah satu contohnya: ketika anak perempuannya belum menikah. Ayahnya ‘kan otomatis bertanya, “Nak, banyaknya laki-laki yang kenal sama kamu, kok kamu nggak mau sama salah satu di antara mereka buat jadi suamimu?”

Jawaban anak tersebut, “Nggak, Yah. Saya nggak mau. Soalnya nggak ada yang kayak Ayah!”

Pada dasarnya, perempuan itu suka dipuji dan memang rindu untuk terus dipuji. Ketika pujian atau sanjungan tidak didapatkan dari yang seharusnya, maka dia bisa saja mendapatkan dari orang lain yang pandai memanfaatkan situasi. Makanya, banyak sekali gadis yang mau menyerahkan kehormatannya kepada laki-laki asing sebab hatinya sudah tersentuh. Sudah dikuasai. Seperti lagu lawasnya Ari Lasso: Sentuhlah dia tepat di hatinya. Dia akan jadi milikmu selamanya.

Hal-hal seperti itu cuma ada di ilmu parenting. Problem anak nakal, pada dasarnya si anak haus kehadiran orang tua. Mungkin orang tuanya sibuk bekerja. Alasannya sih bekerja itu demi anak, tetapi kok malah melalaikan anak? Berangkat sebelum anak terbangun dan pulang setelah anak tidur. Terus, kapan ketemunya?

Saya memang tidak menyalahkan yang punya pola kerja semacam itu. Sebab, teman-teman saya di Jakarta pun mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda.

Ketika saya ke sana, saya tanyakan, “Jam berapa pulang, Pak?”, dia malah tertawa. Mungkin saking kurangnya waktu untuk pulang. Mau pulang, macet. Mau pulang, masih banyak pekerjaan di kantor.

Sosok ayah mungkin tidak ada waktu secara kuantitas kepada anak, tetapi bisa secara kualitas. Menyempatkan menelepon, atau video call sekadar bertatap wajah, meskipun dalam jarak yang jauh.

Sebenarnya, tidak ada anak yang nakal. Hanya anak yang kurang perhatian atau mengalami pola asuh yang salah. Bisa jadi, ayahnya terlalu otoriter di rumah. Sering melakukan kekerasan kepada anak.

Fenomena zaman dulu saat sang ayah melepaskan tali pinggang atau sabuknya, lalu anaknya sendiri dicambuk. Kiranya, yang begitu-begitu sudah tidak boleh ada. Makin anak dikerasi, maka dia akan makin melawan. Justru orang tua akan mendapatkan imbasnya nanti lebih besar di masa yang akan datang dan sama sekali tidak terduga.

Apalagi sekarang muncul yang namanya generasi strawberry. Saya membawakan materi tentang jenis generasi tersebut di ceramah tarawih pada Ramadan yang lalu. Tempatnya di masjid tidak jauh dari rumah saya. Saya melemparkan wacana semacam itu dijawab dengan sedikit tertawa oleh sebagian jamaah. Terkesan lucu, tetapi sebenarnya memang ada dan memang betul-betul terjadi.

Strawberry adalah buah yang lembek. Gampang terjatuh dari pohonnya. Begitu pula generasi strawberry. Gampang sekali terkena imbas dari faktor luar. Hal itu terjadi karena pengaruh gadget atau gawai dalam istilah bahasa Indonesianya.

Fitur gawai dengan dunia media sosialnya, sangat mudah dalam berbagai fasilitasnya. Misalnya: tidak suka dengan chat teman sendiri, tinggal blokir. Tidak suka dengan postingan teman juga, tinggal unfollow atau membatalkan subscribe. Bahkan melaporkan sekalian postingan tersebut. Agar postingannya terhapus, agar akunnya tumbang.

Begitu mudahnya dunia media sosial kita dengan fitur semacam itu. Bahkan, YouTube juga menampung aspirasi penontonnya yang tidak suka, walaupun tidak ditampilkan lagi berapa jumlahnya seperti dulu.

Akhirnya, fitur tersebut membekas dan tertinggal di pikiran anak-anak zaman sekarang yang lebih dikenal juga dengan anak-anak jaman now. Mereka sangat mudah tersulut emosinya.

Ada anak menghilangkan nyawa orang tuanya gara-gara tidak dibelikan HP atau motor. Ada anak membakar rumah orang tuanya karena tidak dibelikan barang yang diminta. Mereka inginnya cepat, harus segera ada di depan mata, mirip dengan kantong ajaib Doraemon. Harus serba instan. Padahal, membuat mie instan saja tidaklah instan, betul tidak?

Itulah efek mengerikan dari kurangnya ilmu parenting pada orang tua. Mereka juga tidak serta-merta menyerahkannya kepada pihak sekolah. Misalnya, orang tua yang memasukkan begitu saja anaknya ke pesantren. Ya, pesantren memang bagus sih, tetapi sejatinya mendidik yang lebih utama itu ada pada diri orang tua. Waktu di sekolah masih kalah dibandingkan dengan waktu anak di rumah bersama orang tua. Dan, tentu saja, yang memiliki anak itu memang orang tua, bukan guru-gurunya di sekolah.

Sampai di sini, masihkah ada orang tua yang belum sadar tentang pentingnya ilmu parenting? Atau, apakah orang tua sekarang itu menjiplak saja dari pola pendidikan orang tuanya juga?

Saya ingat perkataan Ayah Edy, seorang pakar parenting terkemuka di Indonesia. Beliau mengakui bahwa orang tuanya memang tidak sempurna dalam mendidik dirinya dulu. Ada pola-pola asuh yang salah. Namun, beliau tidak mau meneruskan ke anak-anaknya yang sekarang. Sejatinya, pola asuh pendidikan yang salah itu ibarat mata rantai virus corona. Akan terus menyebar dan sulit untuk dihentikan jika tidak ada usaha yang maksimal.

Mengerikan jika pola asuh yang identik dengan kekerasan terus diterapkan sekarang. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan dari orang tuanya sendiri, akan menyimpan di memorinya.

Suatu saat nanti, jika mereka sudah menjadi orang tua, bisa begitu juga. Balam dendas, eh salah, balas dendam! Lah, lalu kapan akan berhenti? Sampai kapan pola asuh yang salah itu akan distop?

Orang tua perlu sadar bahwa anak-anak adalah peniru yang hebat. Saya katakan, bahkan mereka adalah peniru yang sangat hebat! Apapun pola kehidupan orang tua akan ditiru oleh anak, mau itu positif maupun negatif. Makanya, aneh dan janggal, ketika sang ayah menonton sepakbola, ibunya menonton sinetron atau malah infotainment, sementara anaknya disuruh belajar.

Ini juga berlaku bagi keluarga muslim. Orang tuanya tidak punya semangat untuk menghafal Al-Qur’an, tetapi ingin anaknya menjadi hafidz Qur’an yang hafal 30 juz. Tepuk jidat dulu. Ya, walaupun bisa saja, tetapi akan lebih besar pengaruhnya bagi anak kalau orang tuanya juga punya keinginan jadi penghafal Al-Qur’an. Semaksimalnya.

Melihat begitu pentingnya ilmu parenting, bisa dikatakan parenting is penting, lalu bagaimana pola belajarnya? Bagaimana cara terbaiknya? Cara yang disesuaikan dengan kondisi orang tua milenial. Baik, jawabannya adalah dengan mengandalkan yang selama ini terus menyelimuti kehidupan kita. Itu adalah internet.

Problem yang Ada

Internet memang tidak bisa dilepaskan dari manusia masa kini. Bahkan, seandainya tidak pakai internet selama sehari saja, rasanya seperti 24 jam, hehe. Sama saja ya? Hem, lebih tepat rasanya, sehari tidak pakai internet, bisa seperti sebulan.

Alangkah ketergantungan kita kepada internet, pantas kita jadi sangat emosi waktu sinyal internet mengalami gangguan. Beberapa kali hal itu terjadi, apalagi dari operator seluler. Untuk menggunakan Whatsapp saja terasa setengah mati. Jangankan centang biru, menuju centang abu-abu saja masih loading terus. Meskipun yah, ketika nanti sudah centang biru, cuma diread, tidak dibalas-balas juga, hohoho..

Membuka Facebook juga terganggu. Begitu pula Instagram yang menjadi saudaranya. Untuk melihat gambar sudah begitu sulit, apalagi menonton video. Mereka pun berusaha untuk meluapkan kekesalannya. Menulis status di Facebook, walaupun itu sulit, tetapi tetap berusaha dilakukan.

Internet menjadi tempat yang apik untuk meluapkan perasaan. Saya ingat seorang istri, dia teman saya, begitu pula dengan suaminya. Perempuan tersebut mengeluh di Facebook tentang kebiasaan suaminya yang merokok terus.

Dalam hati saya ingin tertawa sambil ingin mengatakan, “Lah, salahmu sendiri punya suami perokok! Dulu kenapa mau dinikahi oleh seorang perokok!” Namun, tidak saya katakan begitu, cukup di hati saja.

Alhamdulillah, mungkin karena doa-doanya, suaminya benar-benar berhenti merokok. Meskipun yah, disalurkan ke hal lain saat hasrat ingin merokok itu muncul, yaitu: lewat makanan. Alhasil, suaminya malah seperti hamil lima bulan! Yah, setidaknya betul-betul berhenti merokok deh. Perkara obesitas, nanti dipikirkan efek negatifnya di kemudian hari.

Nah, oleh karena internet itu dipakai untuk meluapkan perasaan, seperti kisah teman saya di atas, maka bisa dipakai juga untuk hal-hal lain. Apa saja bisa kok pakai internet. Sarana tersebut dapat juga dijadikan untuk belajar. Lho, belajar apa? Ya, belajar parenting, lah! Masa belajar memperbaiki pesawat terbang di sini?

Hal itu pula yang saya alami. Kesukaan saya belajar parenting memang sejak muda, cieh, muda. Sejak masih kuliah, saya sudah membaca cukup banyak buku parenting. Waktu itu saya masih di Jogja, kota kelahiran saya. Sekarang sudah tinggal di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, tempat saya mencari nafkah untuk istri dan anak-anak.

Prinsip saya waktu itu, saya harus lebih baik daripada orang tua saya. Menurut Ustadz Dr. Firanda Andirja, orang tua zaman dulu menerapkan pola pendidikan yang seperti itu karena memang ilmunya terbatas. Bukannya tidak mau belajar tentang parenting, tetapi sumbernya sangatlah sedikit.

Mau baca buku, menghadiri seminar, bahkan mengikuti pelatihan online lewat Zoom belum ada sama sekali. Jadinya, mereka menerapkan pola asuh yang lebih tepat berdasarkan insting saja. Kalau keras, ya, keras banget.

Sebagai seorang anak yang baik dan sekarang sudah menjadi orang tua juga, maka tidak ada hal yang lebih baik selain memaafkan mereka. Mendoakan mereka agar diampuni dosa-dosanya dan diangkat derajatnya. Bukankah tidak ada orang tua yang sempurna, betul ‘kan, selain para nabi dan rasul?

Belajar parenting bisa melalui buku. Kalau saya sih memang menyukai bacaan sejak kecil, tetapi bagaimana dengan orang tua yang tidak suka membaca buku? Ini tidak serta-merta disalahkan orangnya yang tidak mau baca buku lho, karena masih ada sarana lain. Bisa lewat gambar maupun video. Yang disebutkan terakhir ini memang dirasa lebih baik, memuaskan dari segi visual sekaligus auditori sekaligus.

Namun, ya, lagi-lagi selalu problemnya tergantung sinyal internetnya. Seperti saya yang pernah pakai beberapa kartu SIM. Problem jaringan selalu saja ada. Katanya di sini sudah 4G, tetapi berkali-kali pula saya masuk di jaringan E alias 2G. Haloo, kembali ke masa lalu nih yee!

Tentu saja saya mengeluh dan marah. Mau belajar kok susah sekali? Mau membaca atau menonton video-video tentang parenting, kok sinyal selalu terpelanting? Saya pun jadi stres, marah, dan emosi. Namun, mau apa juga? Karena kondisinya memang begitu, mau protes atau tidak, tetap sinyal masih dalam keadaan jelek.

Problem semacam itu harus dicarikan solusinya. Saya ini termasuk manusia yang dibekali oleh akal pikiran oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bagaimana caranya? Alhamdulillah, saya menemukan jawabannya! Eureka! Internetnya tetap, tetapi berganti alat. Berganti sumber. Saya menggunakan IndiHome. Apa yang menarik dari IndiHome ini? Betulkah yang dikatakan orang-orang bahwa IndiHome itu Internetnya Indonesia? Mari coba kita ulik!

Keunggulan IndiHome

IndiHome memang lebih dikenal sebagai IndiHome WiFi. Tentang WiFi ini, pas memang ada hubungannya dengan WiFe. Lho, kok bisa disamakan, Mas?

Soalnya, adanya WiFe atau istri itu memang membuat tenang, membuat betah di rumah, dan memperlancar hidup. Bayangkan jika laki-laki tidak punya istri, maka segala urusannya bisa berantakan. Makan tidak ada yang mengurus, begitu pula pakaian kotor, hingga perhatian yang kurang. Saya pernah mengalami yang seperti itu, waktu masih bujangan. Wah, malah curhat di sini ya!

Menyangkut keunggulan IndiHome dibandingkan operator seluler lain apalagi yang berbasis kartu SIM biasa, IndiHome ini memakai kabel serat optik. Ibaratnya begini saja, lah. Permainan telepon-telepon lama menggunakan benang. Alat yang dipakai dua buah kaleng yang dihubungkan dengan benang. Mungkin anak generasi sekarang tidak tahu permainan tersebut.

Nah, ketika dimainkan, dengan berbicara melalui kaleng, rupanya di seberang sana bisa mendengar dengan jelas. Berarti suara memang mampu merambat melalui benda padat.

Begitu juga dengan perantaraan yang padat, seperti kabel serat optik tersebut. Kabel itu ditanam di dalam tanah, sehingga tidak mengganggu transportasi jalan. Gangguan IndiHome baru terjadi jika kabelnya terputus seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, kabel serat optik bawah laut mengalami gangguan. Atau padam listrik alias mati lampu. Ini jelas tidak bisa diapa-apakan, menunggu listrik kembali lagi dari PLN.

Saya sudah membuktikan sendiri. Sebagai pengguna IndiHome sejak 2013 kalau tidak salah, sinyal internetnya memang wus, wus, wus! Kencang luar biasa! Untuk menonton YouTube saja lancarnya mantap, apalagi sekadar membuka situs untuk melihat gambar maupun tulisan. Meskipun ya di YouTube masih banyak iklannya sih. Maklum, pengguna gratisan, tidak beralih ke premium.

indihome-10

Produk IndiHome yang berasal dari Telkom Indonesia ini selain lancar komunikasi dengan kabel serat optiknya, juga lebih minim resiko untuk transfer data, bahkan sampai dengan 100 Mbps, dan sekali lagi, minim sekali gangguan. Walaupun ada petir menyambar dan hujan deras, kualitas internet IndiHome tetaplah unggul.

Mungkin ada orang yang terbiasa dengan multitasking, apakah IndiHome ini bisa mewadahinya? Oh, sangat-sangat bisa, Esmeralda! Pengguna IndiHome dapat main game online, menikmati tayangan TV interaktif, sekaligus streaming YouTube dalam satu kali waktu.

Bagaimana dengan pembayarannya? Oh, juga sangat terjangkau. Pembayaran yang kita lakukan sesuai dengan paket yang kita ambil.

Menurut informasi di website resminya, https://indihome.co.id, harganya mulai Rp275.000,00 untuk paket 20 Mbps. Ingat, itu bukan kuota, melainkan kecepatan akses internet yang ditawarkan. Inilah juga keunggulan IndiHome, mau pakai internet seharian, bahkan kalau perlu sampai 30 jam setiap hari, kalau ada waktu sebanyak itu, tidak masalah dengan IndiHome. Mungkin yang akan bermasalah adalah mata dan badan yang pegal-pegal.

IndiHome Memberi Manfaat dalam Dunia Parenting

Mengutip secuplik keunggulan IndiHome rasanya memang akan kurang kalau kamu tidak mencobanya sendiri. Dan, jangan salahkan saya seandainya kamu pertama mencoba langsung ketagihan dan akan terus pakai. Apalagi IndiHome memang mendukung aktivitas internet kamu.

Kamu bisa menggali lebih dalam manfaat internet secara positif lewat IndiHome ini. Bukankah untuk mendukung hal itu membutuhkan kelancaran akses? Bukankah membutuhkan jaringan yang tidak lemot alias lola yang diartikan loading lama? Bukankah untuk mencapai manfaat internet yang positif dan lancar, kamu juga harus mempertimbangkan biaya yang akan kamu keluarkan?

IndiHome memang pilihan yang paling tepat buat kamu! Ada beberapa hal yang saya lakukan dengan IndiHome untuk belajar parenting atau yang berkaitan dengannya. Apa saja itu?

1. Mengikuti Webinar Parenting Tanpa Gangguan

Manfaat adanya IndiHome adalah bisa mengikuti webinar atau pelatihan seputar parenting tanpa memikirkan kuota internet. Ini sangat menarik, karena rata-rata memakai media Zoom. Bahkan, seorang tokoh publik mengatakan, karena saking seringnya pakai Zoom, memanggil peserta saja bukan lagi hadirin dan hadirat, melainkan Zoomiyin dan Zoomiyat! Ada juga ya panggilannya begitu.

Jika saya masih menggunakan paket internet yang biasanya beli 15 GB, 20 GB, atau bahkan 50 GB, selalu sering membuka aplikasi, mengecek tinggal berapa kuotanya? Ketika sudah berkurang banyak, maka saya pun langsung resah dan gelisah. “Tadi itu dipakai buat apa saja ya?” Atau kegelisahan, “Lho, kok tinggal segini? Waduh, cukup nggak ya uang buat beli paket nanti?”

Selalu saja ada kegelisahan dan kegalauan yang luar biasa karena yang saya lihat adalah isi dari paket data. Bisa jadi, 15 GB habis dalam satu bulan. Bisa jadi pula, jumlah sebesar itu belum habis dalam satu bulan! Kan mengerikan itu, habis sebelum waktunya.

Jika menggunakan IndiHome, saya benar-benar tidak harus berpikir dengan berat dan keras. Sebab, mau dipakai banyak atau tidak, tetap kecepatannya seperti itu.

Tidak pusing mau dipakai buat apa saja. Mau ikut Zoom, sambil download video bergiga-giga, sambil menonton TV internet, bahkan dibagi dengan anggota keluarga sendiri pun sama sekali tidak masalah. Ini luar biasa menurut saya. Jadi, saya bisa lebih berkonsentrasi untuk belajar parenting melalui kesempatan-kesempatan yang ada.

Saya mengikuti pelatihan parenting melalui dua jalur, ada yang melalui Whatsapp, ada juga yang lewat Telegram. Kedua aplikasi tersebut memang sangat saya sayangi. Alhamdulilah, meskipun ikut banyak grup, tetapi HP tidak mengalami masalah. Ini juga sebuah kenikmatan tersendiri.

Kalau di Whatsapp, saya mengikuti sebuah grup bernama Majelis Ayah Grup #2. Anggotanya berjumlah 188 peserta. Grup tersebut dibuat oleh sebuah ormas Islam bernama Wahdah Islamiyah. Ormas yang satu ini memang sering konsen dengan isu-isu seputar keluarga, utamanya membentuk ketahanan keluarga. Bukankah itu sangat ada kaitannya dengan dunia parenting?

Pelatihan yang bisa diikuti dari grup tersebut, di antaranya seperti di bawah ini:

indihome-1

Ada juga seperti ini:

indihome-2

Bisa kita lihat, keduanya memakai Zoom meeting. Jika masih pakai paket data seluler, kiranya saya akan berpikir dua kali, apakah saya benar-benar ikut atau tidak? Bila ikut, nanti paket tinggal berapa? Sementara masih ada keperluan lain di luar dunia parenting. Berkat IndiHome, pokoknya sikat habis. Sedot ilmu parenting dari para ustadz terkemuka yang ilmunya sangatlah luas tersebut.

Grup lainnya ada di Telegram. Saya mengikuti dan menjadi pembaca setia di grup bernama Fatherman yang memiliki 34.940 subscribers. Keunggulan dari aplikasi Telegram adalah bisa menampung sampai puluhan ribu orang. Oh, ya, Fatherman dikelola oleh pakar parenting Islami, Ustadz Bendri Jaisyurrahman dan pakar keayahan, Ayah Irwan. Keduanya memang kompak memberikan edukasi seputar dunia parenting Indonesia.

indihome-7

Pelatihan dari beliau berdua, lewat Zoom dan materi-materi video yang sudah ada. Untuk mengikuti lewat Zoom, jelas membutuhkan koneksi yang kencang, stabil, dan kuat. Ditambah dengan mengunduh banyak video yang disediakan.

2. Mengumpulkan Materi Video dari Para Pakar Parenting

Mengikuti webinar parenting memang oke dan semakin oke karena IndiHome dengan kekuatannya yang mumpuni. Nah, saya juga terus memakainya dengan mengumpulkan video-video dari para pakar parenting.

Sebenarnya, video-video tersebut saya dapatkan setelah mengikuti suatu program pendidikan parenting. Program tersebut pertama kali saya jumpai di Facebook. Ada 1, 2, dan 3 seri pelatihan. Kuborong semua karena memang saya sangat interest dengan dunia parenting.

indihome-5
Melalui IndiHome, mendownload bergiga-giga materi seputar parenting dari para tokoh terkemuka

 

indihome-6
Beberapa isi dari file materi parenting, hasil download dibantu IndiHome

Oleh karena saya sudah membeli tiga seri materi, maka saya diperbolehkan untuk menjualnya kembali. Kesempatan tersebut tidak boleh saya sia-siakan karena menyangkut cuan. Ini yang dicari oleh banyak orang, termasuk saya.

Namun, untuk mulai promosi, saya harus membuat landing page khusus. Ini membutuhkan waktu, di antaranya dengan mempelajari melalui YouTube cara membuat landing page yang bagus dan mengena ke target konsumen.

3. Membuat Konten Melalui TikTok

Saya sangat menyukai media yang satu ini sebagai media belajar, sekaligus sharing hasil pembelajaran. Dua sisi bisa digarap dari media yang pernah dicap negatif ini.

Melihat dari penggunanya, Indonesia menempati urutan kedua setelah Amerika Serikat. Tentunya, ini peluang yang sangat luar biasa.

Jika saya sudah belajar banyak tentang parenting dari buku, webinar, maupun video-video yang ada, masa saya tidak membagikannya? Bukankah ilmu itu jika disebarkan, tidak akan pernah berkurang? Bahkan makin bertambah. Apalagi ilmu-ilmu tersebut sangat bermanfaat bagi orang lain, Insya Allah.

indihome-4
Indonesia menempati urutan kedua pengguna aktif TikTok di Dunia. Sumber: dataindonesia.id

Berkat IndiHome, saya bisa lancar dalam mengonsumsi konten-konten positif di TikTok. Tidak hanya itu, saya juga punya akun sendiri. Membuat beberapa video seputar kehidupan rumah tangga, suami istri, dan hubungan antara suami istri dengan anak-anaknya. Parenting banget bukan?

@rizky_kurnia_rahman

Wah, istri jangan sembarang marah ke suami, apalagi pakai kekerasan ya! #suami #suamiistri #kdrt #pernikahan

♬ suara asli – Rizky Kurnia Rahman – Rizky Kurnia Rahman

@rizky_kurnia_rahman

Antara teman-teman dan istri, lebih pilih yang mana hayo? #suami #istri #suamiistri #suamiistribahagia #menikah #CapCut

♬ suara asli – Rizky Kurnia Rahman – Rizky Kurnia Rahman

@rizky_kurnia_rahman

Jangan merasa kamu ibu yang gagal, sebab kamu memang berbeda. #parents #parenting #orangtua #pendidikananak

♬ suara asli – Rizky Kurnia Rahman – Rizky Kurnia Rahman

Itu baru beberapa yang saya produksi. Rencana ke depan memang menghadirkan konten-konten yang lebih berkualitas lagi. Namun, agar hal itu bisa terwujud, saya perlu belajar banyak. Caranya dengan mengikuti banyak content creator TikTok yang berkaitan dengan dunia parenting, editing video, pengembangan diri, motivasi, dan lain sebagainya. Makin banyak belajar, makin sip, deh!

4. Menjuarai Lomba Blog

Untuk yang poin keempat ini, Alhamdulillah, rasa senang masih ada sampai sekarang. Apalagi saya menjadi juara 2 dalam sebuah lomba blog yang diadakan media parenting nasional.

indihome-3

Hal itu terjadi pada akhir tahun lalu, tepatnya 22 Desember 2021. Sungguh bahagia rasanya, karena yang namanya lomba seperti itu, biasanya ibu-ibu atau emak-emak blogger yang ikut.

Dalam proses pembuatan karya tersebut, saya memanfaatkan media-media yang ada milik penyelenggara. Memantau akun YouTubenya, Instagram, ikut live di dalamnya, sehingga memang membutuhkan jaringan internet yang kencang.

Mengikuti live di Instagram, jika pakai paket data biasa akan boros, berkat IndiHome tidak. Santai saja, mau lama sekalipun, tidak masalah. Luar biasa memang IndiHome ini!

5. Blog Ini Memang Tentang Parenting

Sebagai bentuk fokus saya kepada ilmu atau dunia parenting, maka blog pribadi saya ini juga mengambil niche tersebut. Ditambah dengan pembinaan literasi kepada masyarakat, maupun seputar dunia perbukuan. Sempat terpikir untuk membuat website lagi dengan memakai domain semacam “orang tua”, “keluarga”, “pendidikan keluarga”, dan sebagainya, tetapi saya rasa, ini saja dulu. Bukankah kalau sudah punya website itu, harus rutin diisi? Kalau tidak diisi, maka akan menjadi sarang laba-laba. Begitu kata teman-teman blogger saya yang lain.

Tantangan ke Depan

Menyuguhkan konten parenting, pendidikan anak, pengembangan keluarga, motivasi untuk orang tua dan anak, sekaligus mencermati masalah-masalah yang dihadapi mereka memang membutuhkan fokus yang tinggi. Terlebih melalui internet sekarang, aneka rupa informasi dihadirkan di depan kita. Jika kita salah melangkah, maka akan merugikan segalanya.

Anak-anak yang ada saat ini nantinya akan menjadi generasi mendatang. Siapkah mereka menghadapinya? Saya sering merasa miris, sedih, resah, gelisah, galau, dan perasaan sejenis itu melihat kondisi anak-anak sekarang. Mereka menjadi generasi yang rentan terhadap pengaruh negatif dari mana saja. Konten menghentikan truk di jalan misalnya yang sampai membuat nyawa melayang. Peredaran narkoba, seks bebas, dan minuman keras yang sampai sekarang makin menggurita, kiranya saya dan banyak orang tua lain merasa was-was.

Oleh karena itu, dibutuhkan konten-konten parenting yang baik. Dalam arti, konten yang disajikan tetap ringan, menarik, tetapi mampu menghadirkan kesan yang dalam. Ini jelas tidak mudah. Apalagi jika kesannya menggurui orang lain. Sebenarnya bukan menggurui, yang lebih tepat adalah sharing. Yah, seperti sahabat biasa begitulah. Seperti itu. Jadi, tidak ada yang merasa lebih rendah. Semuanya sama, lebih tepatnya sama-sama belajar.

Untuk mewujudkan hal itu, dibutuhkan sarana yang mumpuni. Sarana yang mampu menghadirkan konektivitas prima. Tahan banting terhadap gangguan dan benar-benar memuaskan ketika digunakan. Pilihannya memang jatuh tepat kepada IndiHome. Tepat kiranya menyandang Internetnya Indonesia.

IndiHome sebagai internetnya Indonesia ini mampu menyelesaikan masalah internet yang sering dikatakan lambat sinyal, hilang sinyal, atau bahasa di sini, sinyalnya ongol-ongol. Apalagi ketika mengikuti webinar melalui Zoom, sering keluar sendiri. Belum masuk, eh, sudah keluar, hehe.

Saya merasa harus terus memakai IndiHome dengan segudang fasilitasnya. Bisa memberikan manfaat internet yang positif, meskipun ada orang lain yang menyalahgunakan internet untuk berbuat yang tidak benar. Yah, tergantung orangnya juga sih. Seperti pisau dapur, mau dipakai untuk positif maupun negatif, tergantung siapa yang pegang, bukan?

Produk dari Telkom Indonesia ini akan terus saya manfaatkan demi menambah perbendaharaan ilmu parenting yang saya sukai tersebut. Kerja boleh gagal, bisnis pun boleh gagal, tetapi untuk pendidikan anak, pendidikan keluarga tidak boleh gagal. Efeknya akan sangat berbahaya, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Apalagi saya belajar parenting, mengajak istri juga, demi mendapatkan anak yang saleh. Mereka nantinya akan menjadi amal jariyah kami sampai ke akhirat. Semoga hal itu terwujud. Terima kasih IndiHome atas segala kebaikanmu selama ini.

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

4 Comments

  1. Ilmu parenting itu perlu banget kadang suka sulit mengontrol emosi sama anak. Sekarang udah gak susah belajar ilmu parenting sudah banyak webinar parenting kalau sudah pake Indohome tinggal nyediain waktu aja untuk belajar

    1. Betul itu Bu, kalau emosi menghadapi anak kadang muncul. Betul-betul kita orang tua sangat butuh ilmu tentang parenting itu.

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.