Saya cukup salut dengan para suami yang punya istri berpenyakit berat. Bahkan, ketika sang istri lebih sering lemas dan tidak berdaya. Jangankan melayani suami, tubuhnya saja sering tidak kuat.
Saya punya teman dengan kondisi seperti itu istrinya. Si istri yang sakit di usus, ternyata menginap tumor. Ini bukan berarti untu morngos, lho! Itu mah bahasa Jawa yang artinya untu mrongos alias maju ke depan, siap grak!
Menghadapi kondisi seperti itu, jelas menjadi tantangan bagi si suami. Godaan di luar yang aduhai bajaj, terus menyerang mata dan pikirannya. Apalagi melihat gadis-gadis serta para janda dengan pakaian yang semriwing. Membuat nafsunya bergejolak, membuat hatinya tersetrum, membikin ingin segera mendapatkan penyaluran bansos, eh, kok malah ngomong bansos, sih?!
Namun, apalah daya dan daya apalah, ketika melihat istri sedang sakit. Tidak hanya satu atau dua hari, tetapi bisa bulanan, bahkan tahunan. Lalu, kemana hasrat itu akan ditumpahkan? Kemana nafsu itu akan digelorakan?
Jika main sendiri, tentu akan sangat sulit. Pasti membuatnya gelisah dan merasa sangat bersalah. Sudah punya istri kok masih main begituan? Sudah punya pasangan, kok masih suka main tangan? Ditambah dengan alat pelumas, macam oli mesin dan minyak rem. Waduh, seperti apa itu rasanya! Wadidaw!
Bersabar Memang Menjadi Kunci
Pada dasarnya, tidak ada pasangan yang sempurna. Kita pun sebagai orang juga tidak sempurna, bukan? Makanya, rumah tangga itu tidak selalu dan serta merta dalam kondisi yang cerah ceria, cetar membahana. Pasti ada saat-saat dalam kondisi sulit dan rumit.
Rumah tangga memang bagaikan berlayar di lautan. Apalagi jika kamu menikahnya di tengah laut, pastilah berlayar betulan itu! Nah, ketika ada masalah, cobaan, masalah dan cobaan, diulang-ulang terus, sabar memang kata kunci. Meskipun kamu bukan bernama Sabar, apalagi Sabarudin seperti teman kantor saya, tetapi sifat sabar ini memang tidak akan merugikan. Rasa menahan diri tidak akan membuatmu terluka kulitnya.
Bila tidak sabar, maka tentu saja sebuah rumah tangga itu akan mudah pecah. Akan gampang bercerai. Baru satu pekan menikah, tetapi karena tidak sabar, ya, bercerai juga. Menikah itu memang menyenangkan, tetapi janganlah senang menikah. Tiap bulan menikah, tiap bulan menikah, memangnya menikah itu macam terima gaji?
Sabar memang gampang diucapkan dan dalam tulisan ini memang gampang diketik. Bayi pun bisa mengetik kata “sabar” jika bayi itu sudah berusia 15 tahun. Hem, bayi apa itu namanya? Saat berumah tangga, sabar harus dimiliki oleh kedua belah pihak. Mau salah satu pihak sedang batuk berdahak, ini sekadar mengepaskan dengan akhiran “hak”.
Ketika Penyakit Itu Datang
Bagaimana jika bukan penyakit fisik yang muncul, melainkan penyakit jiwa? Nah, lho! Ini juga bukan penyakit yang main-main, meskipun yang kena bisa terlihat main-main. Mempunyai pasangan dengan sakit jiwa akan mendatangkan tingkat kesabaran yang jauh lebih tinggi. Melihat pasangan berteriak, berbicara sendiri, bertingkah aneh, cibiran keluarga, omongan tetangga, dan persepsi buruk di pikiran sendiri, benar-benar tidak mudah untuk dihadapi.
Ketika dalam kondisi seperti itu, apa yang harus dilakukan? Apakah diceraikan saja? Teman saya pernah menikah dengan seorang gadis yang menderita epilepsi. Ketika pernikahan berjalan satu atau dua tahun, dia memutuskan untuk menceraikan istrinya. Ya, dia berpisah dengan istrinya karena merasa dibokongi, aduh, dibohongi dengan kondisi kesehatan calonnya. Baru tahu dia kalau istrinya mengidap penyakit ayan tersebut.
Bagaimana jika rekomendasi untuk bercerai itu datang dari pihak keluarga, dalam hal ini orang tua sendiri? Melihat anaknya terasa menderita menghadapi pasangan dengan gangguan jiwa, lalu disarankan untuk diceraikan saja. Diminta untuk berpisah saja. Toh, itu demi kebahagiaan anaknya juga. Yah, daripada pusing menghadapi pasangan yang di luar nurul, meskipun namanya memang Nurul. Siti Nurul Jannah adalah teman SMA saya. Nah, apa hubungannya coba?
Satu kata untuk menghadapi hal tersebut, lagi-lagi sabar. Namun, ada yang menarik, sih. Bagaimana jika keadaannya terbalik? Misalnya orang tua itu dalam posisi pasangan anaknya. Dia mendapatkan penyakit persis sama yang dialami menantunya. Lalu, orang tua dari sang orang tua itu menyarankan hal yang sama? Diceraikan saja. Nah, bagaimana jika situasinya seperti itu? Apakah berat? Apakah langsung bisa dilakukan?
Bercerai itu memang gampang, maksudnya lagi-lagi gampang diketik di sini. Namun, siapa sih yang paling kena dampaknya ketika bercerai itu benar-benar dilakukan? Yak, benar jawabanmu! Pastilah anak-anak! Apalagi anak-anak yang masih kecil. Seperti yang saya bilang di atas, rumah tangga itu ibarat mengarungi lautan dengan bahtera. Kadang muncul ombak kecil, kadang ombak besar. Ketika bercerai, jangan-jangan, anak-anak nantinya malah akan tenggelam di dalamnya! Mereka hanyut dan tidak bisa tertolong lagi.
Betapa bahagianya jika anak-anak masih mendapatkan orang tua yang lengkap. Betapa senangnya jika mereka seperti teman-teman yang masih punya ayah dan ibu. Kalau sudah meninggal satu, itu kondisi lain. Namun, jika orang tuanya berpisah, orang tuanya bercerai, padahal kedua-duanya masih hidup, ini jelas menimbulkan beban psikologis yang cukup tinggi. Apakah anak-anak mampu? Apakah mereka sanggup bertahan dengan kondisi psikologisnya?
Persepsi Tentang Bahagia
Memang sih, persepsi bahagia itu biasanya ceria, hura-hura, tertawa, ngakak, joget-joget, bahkan joget gemoy, pokoknya serba happy dan fun, lah. Sementara yang tidak bahagia itu identik dengan cemberut, menangis, sedih, berteriak, gusar, gelisah, bahkan sampai dengan bunuh diri.
Menghadapi pasangan yang tidak sesuai bayangan kita, dulu berharapnya begini, kok aslinya begitu, memang itu di luar kemampuan kita sebagai manusia. Dan, itu adalah ketentuan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Akan tetapi, Allah itu Maha Baik, lho! Segala yang ditakdirkan itu pasti baik untuk manusia. Selama masih di dunia, selalu saja ada hikmah, baik itu tampak maupun tersembunyi dari setiap peristiwa.
Begitupun dengan pasangan yang mempunyai penyakit berat, macam penyakit jiwa begitu. Mau menghindar kayak bagaimana, tetap kalau itu jodohmu, ya, akan ketemu juga. Jika tawarannya adalah diceraikan, perlu ada persepsi lain tentang bahagia. Siapa tahu, di balik sabarnya menghadapi pasangan yang begitu, tersimpan hikmah. Tersimpan pahala yang sangat besar di akhirat nanti. Dan, siapa tahu, saat di akhirat nanti, pasangan kitalah yang menggandeng tangan kita ke surga.
Mungkin dosa-dosa kita terlalu banyak. Mungkin kesalahan dan kemaksiatan kita sudah tidak terhitung lagi. Namun, dengan kesabaran menghadapi pasangan, siapa tahu, itulah yang menaikkan derajat kita hingga benar-benar sampai ke surga Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Siapa tahu bukan? Kita bisa mengatakan siapa tahu, tetapi Allah yang pasti tahu. Dan, takdir Allah selalu baik, kita saja yang berpikiran tidak baik. Waallahu alam bisshawab.