Malam hari, saat orang sedang tidur nyenyak, Saiful dan Desi, pasangan suami istri bertengkar hebat.
“Sudah kukasih tahu berkali-kali, kamu ini jangan upload foto nggak pakai jilbab? Aku cemburu fotomu dilihat para lelaki teman-temanmu di medsos?!” Semprot Saiful.
“Eh, terserah aku dong! Itu akunku sendiri, HPku sendiri juga. Kubeli pakai uangku sendiri. Kenapa kamu yang sewot?” Balas Desi.
“Iya, semuanya memang punya kamu. Tapi ‘kan kamu tahu, aku ini pencemburu. Masa wajah cantik istriku dilihat orang? Kamu ‘kan sudah janji dulu, sebelum menikah, mau pakai jilbab. Sekarang kenapa kamu upload foto-foto lagi macam begitu?”
“Iya, aku sudah janji, Sayang!” Pada kata “sayang”, Desi menekan nada kuat-kuat. “Tapi itu nanti dulu! Setelah menikah ‘kan masih lama waktunya. Ini kita menikah baru juga tiga tahun. Belum ada anak. Mana kamu kasih aku anak?” Desi melancarkan serangan balik.
Saiful terdiam dulu. Tentang anak ini memang dia tidak bisa berkutik, karena kesalahan memang ada di badannya. Istrinya sehat, sel telurnya sehat, tetapi Saiful, sel telurnya tidak sehat. Hey, sejak kapan laki-laki punya sel telur?
“Nah, kamu jadi diam ‘kan? Aku ini putus asa tahu nggak, teman-temanku sudah pada punya anak, kamu kasih satu saja belum bisa. Makanya, aku ini stres. Kamu bebas pergi ke manapun, sementara aku ini kau suruh di rumah saja. Ya, wajar dong, aku berkelana di dunia maya buat refreshing.”
“Aku tidak larang kamu pakai medsos, Desi!” Kalau Saiful sudah panggil nama istrinya langsung begini, berarti emosinya sudah sangat tinggi. “Tapi, hargailah aku, hargai suamimu ini. Aku tidak ingin kamu itu kena dosa karena buka aurat! Apalagi dosa istri juga ditanggung suami.”
“Kamu sendiri yang banyak dosanya, sementara aku banyak pahalaku kok! Masih bisa tertutupi dengan pahala-pahalaku yang super banyak!”
“Astagfirullah…” Saiful menggeleng-geleng sambil mengusap mukanya. Dia tidak habis pikir, kok keluar kata-kata begitu dari istrinya? Dikira pahala sama dosa itu seperti pemasukan dan pengeluaran uang saja. Aduh, aduh!
“Kenapa kamu, Saiful? Merasa kalah berkelahi sama aku?” Desi berkacak pinggang. “Kalau yang lain suami adalah raja di rumahnya, tidak di sini. Bagiku, kamu adalah bawahanku. Aku bisa bikin kamu berada di bawah kakiku.”
Untuk yang ini, Saiful sudah betul-betul emosi. Harga diri dan kewibawaannya sebagai seorang suami benar-benar diinjak-injak. Sudah tidak lagi dihargai.
“Dasar kamu istri laknat! Semoga kamu masuk neraka jahannam selama-lamanya!” Saiful sudah tidak mau ambil pusing, kok keluar doa yang super jelek kepada istrinya itu sudah tidak bisa dikendalikan. Dia ambil kunci motor, lalu ke luar di tengah malam. Lebih tepatnya jam setengah dua dini hari.
“Bisamu hanya melaknat-melaknat. Ke luar saja sana, aku juga tidak sudi punya suami macam begitu! Lembek!”
Hampir saja Saiful mengucapkan kata “cerai” atau “talak”, tetapi dia ternyata masih bisa mengendalikan diri. Jika sudah ke luar dua kata itu, maka talak satu akan jatuh. Dia diam saja, tentu masih bergelayut emosi yang sangat besar. Motor dinyalakan, tujuan berikutnya Saiful tidak tahu.
Dalam Perjalanan
Tengah malam atau dini hari begitu, mau ke mana Saiful? Keadaan kota yang sangat sepi, hanya satu atau dua kendaraan bermotor melintas. Dia keluar tadi lupa mengambil jaket. Hanya pakai kaos lengan panjang dan celana panjang. Kanan dan kiri sama panjangnya pula. Halah, ya, iyalah.
Galau luar biasa melanda hati dan pikiran Saiful. Kenapa istrinya bisa bertingkah laku seperti itu? Apakah hanya gara-gara Saiful yang belum bisa memberikan keturunan? Tapi, ah, keturunan itu bukan wewenangnya, tapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia hanya berusaha saja, nyatanya belum belum dikasih. Istrinya belum hamil.
Sementara dia tahu, istrinya dulu punya pergaulan yang luas. Ikut banyak organisasi, ikut banyak komunitas. Pokoknya sibuk cukup luar biasa. Setelah menikah, dia tinggalkan itu semua. Lebih banyak di rumah. Hanya ke luar ke pasar atau ke depan untuk belanja di tukang sayur. Namun, ya, itu tadi, masih belum mau pakai jilbab.
Saiful memang mengakui sih, istrinya sangat cantik. Rambutnya yang tergerai halus dan lembut, warna hitam benar-benar menggoda Saiful. Apalagi bodinya yang semlohay, makin membuat Saiful jatuh cinta.
Desi pun tertarik dengan Saiful karena kesederhanaannya. Tampak dari pribadi Saiful adalah orang yang baik. Cenderung sabar dan tidak neko-neko, berbeda dengan teman-teman dulu yang laki-laki dengan gaya hidup glamor dan tidak jelas. Desi pernah punya pacar yang semacam itu, beberapa. Tapi, saat mau menikah, dia putuskan untuk mencari laki-laki yang benar dan punya orientasi hidup jelas. Saiful itulah orangnya.
Desi hanya merasa putus asa saja. Cukup sering dia ditanya, bagaimana anak? Kapan mau punya anak? Entah online maupun offline, pertanyaannya seputar itu-itu saja. Dia mau jawab apa coba? Sudah periksa, dan dia bagus, sehat, suaminya sendiri yang amburadul hingga hamil pun tidak jadi-jadi.
Perempuan itu bingung menghadapi semua pertanyaan itu yang lebih ke arah bully. Dia bertanya-tanya, kok keluar pertanyaan terus seputar anak? Apakah anak itu tanda paling utama dari sebuah pernikahan? Bisakah pernikahan bahagia tanpa ada anak? Setahu Desi sih bisa, buktinya sudah banyak kok.
Ah, kini suaminya pergi entah ke mana? Dia didoakan jelek oleh suaminya, masuk neraka Jahannam. Dia syok. Kata-kata dari suaminya yang aslinya penyabar itu begitu pedas juga ternyata. Apakah dia sangat marah betul karena Desi upload foto-foto tanpa jilbabnya? Sementara dulu pernah dia hapus semua, kini dimunculkan lagi.
Dua Pekan Kemudian
Saiful tinggal di rumah salah satu keluarganya. Desi masih di rumahnya. Pasangan suami istri masih belum bertegur sapa. Padahal, semestinya batas maksimal itu hanya tiga hari dalam Islam. Tapi ini sudah lebih dari batas tersebut. Berarti pertengkarannya pun bukan main-main.
Untuk menghilangkan galau yang datang dan pergi, Saiful iseng buka-buka medsos. Dia cek akun istrinya. Masih ada foto-fotonya yang tanpa jilbab. Bahkan beberapa malah terlihat seksi menurut Saiful. Darahnya berdesir lagi. Kepalanya panas lagi. Emosinya ikut-ikutan muncul kembali.
Dia lihat wajah istrinya yang cantik di medsos, bersyukur sebenarnya punya istri dengan wajah seperti itu. Wajah yang tidak bosan dilihat. Cantiknya alami, tanpa make up sudah terlihat menarik. Apakah dengan karakter istri semacam itu, mau dilepas begitu saja? Artinya mau diceraikan begitu karena foto-fotonya yang tanpa jilbab?
Saiful mencoba untuk berpikir lebih dalam dan lebih dalam lagi. Mencoba untuk berpikir dengan lebih jernih. Kesalahan istrinya memang tidak menutup aurat, tetapi dia sepertinya lupa dengan kebaikan istrinya yang begitu banyak. Apalagi saat dia pernah terpapar covid-19.
Ya, waktu itu sungguh cobaan yang berat dialami oleh Saiful. Dia menjalani isoman di rumah saja. Rumah sakit penuh. Klinik juga penuh. Istrinya setia merawat suaminya.
Kebaikan istrinya juga waktu Saiful habis jatuh dari sepeda motor. Celananya di bagian lutut robek, karena jatuh menghantam pasir berbatu-batu. Padahal celananya itu baru saja diambil dari penjahit, ternyata sudah robek.
Dan, masih banyak kebaikan istrinya yang lain. Apakah Saiful tidak melihat itu? Apakah di pikirannya hanya muncul yang buruk-buruk tentang istrinya, tentang foto tanpa jilbab di medsos itu? Hanya itu ‘kan kesalahan istrinya? Atau karena istrinya pernah sombong, merasa pahalanya sangat banyak dan bisa menutupi dosa-dosanya?
Dia pun kembali skrol di medsos. Dia temukan sebuah kisah, tentang seorang ulama dengan ilmu yang luar biasa, pemahaman agama yang sangat baik, jamaahnya cukup banyak, tetapi punya istri yang buruk akhlaknya. Nah, apakah mirip dengan Desi? Sepertinya begitu menurut Saiful.
Lalu, apa yang didapatkan Saiful dari cerita itu? Rupanya, ketika ada yang bertanya ke ulama itu, kenapa kok punya istri jelek akhlaknya? Kenapa tidak diceraikan saja? Apa jawabnya, “Istriku berperilaku seperti itu mungkin karena dosa-dosaku di masa lalu. Allah menimpakan balasan terhadap dosa-dosaku melalui kehadiran istriku semacam itu. Jika aku ceraikan, aku takut Allah akan menimpakan yang lebih buruk daripada itu!”
Saiful benar-benar bergetar hatinya. Dia jelas bukan ulama, istrinya pun mungkin tidak sampai seburuk istri ulama itu. Namun, ulama itu bisa bersabar dan tetap menjalani kehidupan bersama istrinya.
Ada lagi cerita lainnya, tentang seorang berilmu juga yang punya istri dengan kondisi berbeda dari yang dibayangkannya. Pokoknya, istrinya tidak sesuai dengan harapannya, lah. Kekurangan di sana-sini, wajah yang buruk juga. Meskipun begitu, istrinya itu minta agar orang tersebut tidak sering keluar rumah. Menemaninya saja. Dan, dituruti oleh laki-laki tersebut.
Ketika istrinya meninggal, laki-laki itu ditanya, apa yang paling diharapkannya sekarang? Dia menjawab, “Tidak ada yang aku harapkan, selain pahala kesabaranku menghadapi istriku.”
Saiful tambah bergetar lagi hatinya. Terpukul juga. Ternyata, contoh akhlak dari orang-orang zaman dulu begitu luar biasanya. Beda sekali dengan kondisinya. Saiful ingin cepat mengharapkan istrinya berubah. Sementara istrinya seperti itu pastilah ada penyebabnya. Pasti ada faktor pemicunya.
Kini mulai timbul penyesalannya, apalagi kok keluar doa laknat kepada istrinya tercinta? Apakah doa tersebut sudah dijatuhkan? Sudah dikabulkan? Ah, jangan sampai terjadi betulan. Saiful perlu mengubahnya dengan doa yang lebih baik, doa yang lebih mulia. Selain itu, dia harus segera pulang, menemui istrinya segera.
Saat mau memacu sepeda motornya, adiknya teriak, “Mau ke mana Kak? Kok keluar kayak buru-buru?”
“Ini urusan laki-laki sejati, Dik. Kamu pasti akan tahu suatu saat nanti!” Saiful pun langsung mengegas motornya.
Bergetar saya membaca tulisan ini.
Kok bisa keluar cerita sepeti ini…
Paragraf kesembilan pada bagian “dua minggu kemudian” memberikan saya refleksi terhadap apa yang dimiliki sekarang.
Terimakasih Pak Rizky
Sehat selalu
Terima kasih juga Pak, sudah berkunjung.
Kok keluar ya kisah fiktif kayak gini kerennya?
Hasil baca sana-sini bu, hehe..
Luar biasa pemecah telur pertama tantangan Kamis Menulis minggu ini. Ceritanya keren, mengedukasi juga menghibur..
Semoga bisa bermanfaat buat semua Ambu..
Banyak pelajaran dari kisah ini, semoga kita bisa lebih berhati-hati dalam berucap apalagi saat kita sedang marah.
Yap, betul, apalagi kalau sampai terucap kata “talak” atau “cerai”
Luar biasa sekali tulisannya. Terima kasih telah mengingatkan kembali, terkadang kalau lagi emosi suka keluar juga hal seperti itu. Astagfirullohaladzim
Sip Bu, saling mengingatkan.
Subhanallah luar biasa. Ilmu kesabaran dalam menghadapi setiap ujian dan mendapatkan hikmah
Yap, kesabaran menghadapi pasangan hidup secara teori memang gampang, kenyataannya belum tentu. Ya toh?
Kok keren sekali cerita nya, penasarannn kisah sang istri masih hidup kah?
keren sekali cerita nya, kisah yg banyak terjadi didunia nyata, penasarannn kisah sang istri masih hidup kah?
Semoga endingnya bisa bersatu dan akur kembali hahahh
Endingnya ya menggantung begitu saja, Bu, hehe..
Saya saluuttt sama mas Rizky, setiap ide menulisnya kok keluar begitu saja kayak air mengalir di sungai..
Alhamdulillah, terima kasih pak..
Wah ini ceritanya sudah enak bgt dibacanya. Lika liku cerita dalam rumah tangga kdg membuat kita terpesona walaupun itu cerita konplik. Sll ingin tahu coda bagaimn.