Pada malam ke-22 Ramadhan 1442 Hijriyah atau tanggal 3 Mei 2021, saya diberikan amanah lagi untuk menyampaikan ceramah tarawih. Ada sesuatu yang menarik setelah amanah tersebut berhasil.
Masjid yang harus saya datangi namanya Miftahul Ulum. Sebuah masjid baru yang berada di jalan menuju rumah sakit umum Bombana. Dulu, masjid yang ada, cuma di dekat rumah sakit. Itupun kecil dan lebih mirip musholla. Sepanjang jalan ke rumah sakit tidak ada masjid. Jadi, bagi yang punya motor, mencari masjid lain, meski lebih jauh.
Teman kantor saya yang tinggal dekat situ, merasa senang adanya Masjid Miftahul Ulum. Dulu dia tidak pernah mendengar adzan. Sekarang, sudah dekat dengan rumahnya suara adzan. Rasanya menjadi muslimah kembali, lho! Apa maksudnya ini?
Tanpa Persiapan
Aktivitas kerja seharian menjadikan saya belum mempersiapkan bahan ceramah tarawih. Dan, begitulah kebiasaan saya, nanti menjelang tampil, baru mencari materi. Cukup dari HP saja. Makanya, sebelum berangkat, saya tanya teman saya tadi, “Bagus sinyal di sana?”
Dia bilang, “Iye, bagus mi.”
Oke, berarti satu kendala teratasi. Pada akhirnya, saya menemukan materi setelah sholat sunnah rawatib badiyah Isya. Saya masuk di aplikasi Khutbah Jum’at yang dibuat oleh Yufid. Isinya adalah materi-materi keislaman yang sesuai Al-Qur’an dan sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat radhiyallahu anhum. Ini yang penting, jadi tidak mengada-ngada, dan tidak membuat kesalahan pikir di jamaah.
Saya menemukan materi tentang menangkal berita bohong alias hoax. Nah, ini sepertinya menarik, apalagi ‘kan sekarang masih era orang pakai medsos. Tapi, kira-kira di situ cocok tidak ya? Saya lihat kok kebanyakan orang tua?
Ah, biarlah, saya naik saja!
Ingin Suasana Cair
Dalam ceramah, saya tidak ingin menampilkan yang terlalu kaku, sebab ujungnya bisa membosankan. Makanya, saya semacam berinteraksi dengan mereka. Dalam muqodimah, saya mengucapkan syukur kepada Allah, terutama atas nikmat iman dan Islam. Ditambah dengan nikmat berbuka puasa. Saya tanya ke jamaah, “Bapak, Ibu, tadi buka puasa pakai apa?”
Tidak ada yang jawab, ada beberapa yang tersenyum. Saya lanjutkan, “Yak, itu nikmat buka puasa dengan gorengan, pisang ijo, gorengan, dan makanan lain adalah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” Kira-kira begitulah.
Meskipun materi dari HP, saya hanya melihat pas dalilnya saja. Itupun, waduh, saya tidak baca arabnya, tidak baca ayatnya. Saya cuma baca terjemahannya. Hihi, ketahuan ya saya kurang PD dengan bacaan sendiri?
Saya melempar pertanyaan lagi, “Kali ini tentang berita bohong. Biasa dinamakan hoak, atau hoks? Hoks atau Ahok?” Walah, malah nama orang saya bawa-bawa! Ya, itu tadi, saya ingin agar suasana lebih segar saja.
Agar lebih bisa diterima oleh mereka, saya memberikan contoh hoax itu telur rebus yang menjadi obat corona. Ini muncul pada tahun 2020 lalu. Viral sekali di Facebook, ada seorang bayi yang bisa bicara, menemukan obat corona ternyata telur rebus! Itu ‘kan jelas hoax banget. Tapi, nyatanya, masih banyak orang percaya.
Kalangan emak-emak mencari telur di toko waktu tengah malam. Stok telur jadi berkurang, bahkan habis sama sekali. Semuanya bisa digerakkan dengan hoax. Masyarakat memang mengharapkan corona cepat pergi, obat corona dengan telur rebus justru sangatlah murah.
Nasihat Buat Diri Sendiri dan Jamaah
Semestinya, segala nasihat yang kita sampaikan itu, dikembalikan ke diri sendiri dulu, barulah ke orang lain. Termasuk dalam urusan hoax-hoaxan ini. Alhamdulillah, saya bisa tahu ciri-ciri kalau hoax. Contohnya: judulnya bombastis. Menggelegar. Cetar membahana.
Pada bagian akhirnya, biasa ada: SHARE SEKARANG JUGA! JANGAN BERHENTI DI KAMU INFO PENTING INI! Kira-kira begitulah, ujungnya mendorong orang untuk makin menyebarkan berita palsu itu.
Saya menyampaikan ke jamaah, hati-hati dengan berita bohong, jangan sampai kita sebarkan ke satu orang, orang itu sebarkan ke seribu orang, seribu orang disebarkan ke lebih banyak dan lebih banyak lagi orang. Semuanya karena kita yang tanpa filter dulu menyebar berita bohong.
Mengobrol dengan Pak Asmat
Saya kenal dengan seorang bapak berusia 50-an, bernama Pak Asmat. Beliau ini pernah bekerja di PLN Bombana. Ahli dalam instalasi listrik. Sering dipakai tenaganya untuk instalasi listrik di pondok pesantren Al-Wahdah Bombana.
Untuk masjid baru itu, beliau juga turun tangan. Bekerja sampai larut malam, sibuk luar biasa, karena masjid dikejar prosesnya untuk bisa dipakai tarawih Ramadhan. Meskipun belum ada dindingnya yang halus, baru batu-batu bata, tetapi lantainya sudah dikerjakan. Jadi, untuk tempat sujud sudah enak.
Yang menarik dari Pak Asmat ini adalah memiliki lima anak, kalau tidak salah, semuanya cinta kepada Al-Qur’an. Semuanya punya bakat untuk menjadi anak-anak penghafal Qur’an, hafidz dan hafidzah. Anaknya yang pertama alias sulung, kuliah di Makassar, sudah khatam hafalan 30 juz. Adik-adiknya juga punya hafalan lebih dari satu juz.
Anak yang sulung ini disyukuri betul-betul oleh Pak Asmat. Sebab, di Makassar, dia dikontrak jadi imam dengan honor yang sangat wah. Kabarnya sampai 20 juta rupiah. “Luar biasa kalau memang hafidz 30 juz!” Begitu pujinya untuk anak yang nomor satu.
Ada anaknya yang perempuan, kelas 2 SMA, menjadi murid saya juga di kelas, sudah sampai hafal 17 juz! Yang paling kecil, ikut sekolah tahfidz anak-anak, hafal 1 juz dalam waktu 10 hari saja! Masya Allah, luar biasa ini! Saya harus gali kiat-kiat beliau dalam mendidik anak.
1. Bukan dari Harta Haram
Pak Asmat mengaku kerja di PLN dulu menerima uang syubhat, bahkan haram. Menerima penghasilan-penghasilan yang tidak jelas kehalalannya, dan itu membuat beliau jadi was-was.
Tidak mungkin juga melapor ke pihak lain, karena sama-sama makan satu piring dengan bosnya. Gejolak hati yang bergemuruh, membuatnya pensiun dini dari PLN. Mengundurkan diri saja.
Namun, tidak semudah itu dalam perjuangan mencari rezeki yang halal. Pada awal-awal, tidak ada pendapatan sama sekali. Mau bekerja serabutan, hasilnya juga tidak maksimal. Sangat minim.
Tapi, Pak Asmat beruntung karena memiliki istri yang PNS. Jadi, dari pendapatan keluarga lebih tertolong.
2. Dimulai dari Diri Sendiri
Orang tua adalah teladan atau contoh dari anak-anaknya. Bagaimana mau mencetak penghafal Al-Qur’an kalau dirinya sendiri jarang sekali membuka dan membaca Al-Qur’an? Ya ‘kan?
Pak Asmat memulai dari diri sendiri. Menghafal sedikit demi sedikit. Lama-lama anaknya pun ikutan. Justru, anak-anaknya tersebut yang jadi ketagihan sendiri dalam menghafal. Hingga sekarang ini, sudah banyak juz di hati mereka.
3. Menyekolahkan di Tempat Pendidikan yang Baik
Membandingkan daerah tempat pendidikan bisa saja dilakukan. Beliau membandingkan antara tempat pendidikan anak-anaknya di Bombana dengan di kota besar.
Kalau di Bombana, tempat hiburan jarang, tidak seperti di kota. Mau pergi-pergi juga kebanyakan masih alami, tidak ada mal, atau tempat permainan anak-anak modern. Masih banyak yang alami.
Pada tahap awal pendidikan anaknya, Pak Asmat menempatkannya di Bombana. Beliau bersyukur sekali, Bombana ini menawarkan pendidikan yang baik. Beberapa anaknya dimasukkan di pondok pesantren Al-Wahdah Bombana. Itu membuat mereka jadi tersuasana untuk terus membaca dan menghafal Al-Qur’an.
Setelah punya dasar yang kuat, maka bisa dimasukkan ke tempat pendidikan yang lebih tinggi, dan notabene tidak ada di situ. Barulah di kota besar, seperti Kendari atau Makassar yang bisa memenuhinya.
4. Menghindari Konflik Suami Istri di Depan Anak-anak
Suami istri mana sih yang tidak pernah bertengkar? Suami istri mana yang tidak pernah punya konflik? Pastilah ada, lah. Begitu juga dengan Pak Asmat dan istrinya. Namun, pertengkaran tersebut tidak ditampilkan di depan anak-anak. Baru bisa dilakukan ketika sudah di kamar. Jadi aman dan bebas dicari penyelesaiannya di situ.
Efek positif dari situ, anak-anaknya tumbuh menjadi penurut. Tidak membantah ketika disuruh oleh Pak Asmat dan istrinya. Tidak ada niat mereka untuk melawan, pokoknya seperti dicucuk hidungnya dan jadi taat semua.
Kesimpulan
Mencetak anak-anak penghafal Al-Qur’an memang bisa dikatakan cukup berat, tetapi bukan hal yang mustahil. Membutuhkan kerja keras, kerja cerdas, berdoa pun janganlah lepas.
Pak Asmat menjadi contoh tentang hasil nyata menjadikan anak-anak penghafal Al-Qur’an. Saya ingin mengikutinya juga, ah. Mumpung anak-anak saya masih kecil, umur 7 dan 3 tahun.
Beliau pun memberikan nasihat, “Lebih bagus telat kuliah sampai dua tahun, asalkan hafalannya diselesaikan dulu.” Maksudnya jelas hafalan 30 juz. Baiklah. Yuk, jadikan di keluarga kita tumbuh anak-anak penghafal Al-Qur’an!
Alhamdulillah, saya pun pulang dari Masjid Miftahul Ulum sambil mengantongi amplop. Saat sudah dibuka di rumah, isinya lima puluh ribu rupiah. Bukan ini yang utama, melainkan ilmu yang tadi saya dapatkan.