Catatan Rihlah ke Pulau Mangata, Kabupaten Bombana

Catatan Rihlah ke Pulau Mangata, Kabupaten Bombana

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Pandemi memang mendatangkan kesulitan tersendiri. Salah satunya tentu saja sulit untuk pergi ke mana-mana. Namun, setelah pandemi mulai berkurang, kesempatan itu pun datang.

Tepatnya pada hari Ahad (26/12/2021) yang lalu, saya dan teman-teman di DPD Wahdah Islamiyah Bombana rekreasi atau rihlah ke Pulau Mangata. Tempatnya sih belum pernah saya kunjungi. Makanya, saya memutuskan ikut saja. Saya ajak dua anak laki-laki saya.

Buru-buru Berangkat

Menurut arahan di grup WA, harus sudah kumpul jam 06.30 WITA. Wah, ini cukup mepet, karena saya mulai menyempurnakan persiapan jam 06.00! Anak-anak mandi, begitu pula istri saya juga harus mandi. Saya akan menempatkan dia di rumah mamanya alias mertua saya.

Ternyata, mungkin karena sudah kebiasaan, jam 06.30 belum banyak orang berkumpul. Tapi, memang tidak semua berkumpul di situ. Ada sebagian ikhwah di tempat lain, mempersiapkan makanan, peralatan, atau apalah.

Saya pikir, kapalnya ada di pelabuhan penyeberangan seperti biasa dekat kantor saya. Namun, rupanya di pelabuhan pelelangan ikan. Dekat pasar sentral. Okelah, mengikut saja.

Jam delapan sampai setengah sembilan, cuaca mulai panas dan menyengat. Kedua anak saya tidak pakai topi. Tidak pula mengenakan jaket, apalagi masker. Jadi, ya, mereka merasakan panas juga sedikit.

Kapal cukup lama ditunggu. Sekitar jam 09.00 lebih, barulah datang. Sebuah perahu yang cukup besar dan memanjang. Barang-barang seperti galon, makanan, bahkan matras untuk target memanah dimasukkan. Begitu juga dua ban besar untuk pelampung. Wah, mantap!

Ketika akan masuk ke dalam kapal, kedua anak saya ketakutan. Namanya juga perahu, bergoyang-goyang ditimpa ombak-ombak kecil. Saya dan anak-anak masuk sampai ke dalam kabin. Kursinya cukup keras dari kayu atau besi, entahlah.

Insiden yang Cukup Mengerikan

Saat sedang asyik menikmati perjalanan, tiba-tiba mesin mati. Perahu tidak bisa berjalan dengan lancar. Ada apa ini? Banyak yang bertanya-tanya. Dicek di belakang, kata si supir perahu, kemudinya patah! Waduh! Ini yang bikin panik.

Beberapa saat lamanya kapal terayun-ayun kena ombak. Bahkan lumayan keras hingga saya pun merasa oleng. Ditambah dengan panik dan perasaan-perasaan negatif terhadap nasib kami. Apakah kami bisa selamat? Apakah kami bisa sampai ke tujuan? Dan, yang lebih penting lagi, apakah kami bisa kembali ke rumah masing-masing?

Suara-suara sumbang dan pesimis mulai bermunculan. Dalam hati, saya sih terus berusaha untuk menenangkan diri. Apalagi saya lihat, kedua anak saya lumayan tenang. Raihan, yang sulung, memilih tidur. Sedangkan Hafidz, adiknya, nyaman di pangkuan saya atau bersandar di badan saya.

Ada beberapa alternatif pemecahan ketika itu. Sopir perahu menelepon perahu lain. Ada pula tawaran opsi lain, teman saya menghubungi teman yang lain lagi yang memiliki perahu juga. Nantinya, perahu lain itu menarik perahu yang saya tumpangi.

Opsi yang dipilih dan diputuskan untuk dilaksanakan adalah mengarahkan perahu ke pantai Pulau Tabako. Kalau yang pantai itu sudah cukup banyak saya kunjungi bersama keluarga. Sudah hafal.

Agar perahu mengarah ke sana, ada teman yang mencebur ke laut untuk mengarahkan perahu. Mesin masih oke, masih bisa menyala, tetapi kemudinya rusak.

Sebelum menuju ke pantai Pulau Tabako itu, Alhamdulillah, ada sebuah perahu lain yang memberikan tongkat kemudi. Sebuah perahu yang salah satu awaknya menggunakan helm. Termasuk yah, pemandangan yang unik dan aneh. Kok di atas laut pakai helm? Haha…

Baiklah, perjalanan harus tetap dilanjutkan. Perahu diarahkan ke pantai Pulau Tabako. Akan tetapi, perahu itu berhenti agak jauh dari pantai. Alhasil, kami harus berjalan melewati laut ke daratan.

Perasaan panik, was-was, khawatir, takut, campur aduk, membuat kami lapar. Menu ayam palakko atau istilah lainnya adalah dankot, kami santap di pantai tersebut. Tidak pakai nasi, cukup dengan tumbu. Alhamdulillah, alasnya cukup anggun. Piring plastik dan dialasi dengan kertas minyak. Mantap. Saya makan lumayan banyak juga. Paling tidak, dengan perut kenyang membuat perasaan lebih senang.

Tetap Meluncur

Tadi, ada yang belum saya sebutkan. Oleng karena kapal yang mati alias tidak jalan membuat saya hampir muntah. Menjelang turun di pantai Pulau Tabako, saya ingin memuntahkan isi perut. Namun, saya melihat tidak ada kantong yang representatif. Apalagi masalah muncul lainnya adalah air yang tiba-tiba ada di bawah perahu. Saya segera mengamankan tas ransel.

Kami yang mulai segar setelah makan bersiap kembali menuju Pulau Mangata. Weh, saya kira sebelumnya cukup di pantai situ saja! Ternyata, jadi betulan toh ke sana.

Kemudi perahu betul-betul sudah pulih. Perahu bisa membelok dengan sangat baik. Terus meluncur dan melaju menuju pantai tujuan kami. Masya Allah. Begitu sampai, saya menemukan seperti pantai surga. Air lautnya betul-betul jernih dan bening. Pantainya juga putih. Pantai itu tidak berpenghuni. Terbukti tidak ada orang lain atau orang yang menyambut kedatangan kami.

Ada sebuah gazebo atau pondok dari kayu. Kami pun menggelar terpal warna biru untuk alas sholat. Menu selamat datang di pulau itu adalah es buah. Alhamdulillah, tambah segar badan dan perasaan. Rasa manis dan dinginnya yang mak nyess membuat hati jadi tambah gembira.

Kami berkumpul di sekitar es buah itu. Ustadz Jamuddin, sebagai panitia acara, hendak mengadakan lomba. Dia pula yang menyuruh kami untuk membawa sarung, sendok makan, botol air mineral. Barang-barang itu akan dijadikan piranti lomba, tetapi kami tidak tahu lombanya seperti apa? Kami dibagi kelompok terlebih dahulu.

Siang Menyerang

Sholat Dzuhur tetap dilaksanakan berjamaah di atas terpal. Nah, saat sujud, saya merasakan tidak rata di muka. Ada yang mengganjal. Tentu saja sih, kan bawahnya bukan lantai marmer. Masa cuma di situ yang dimarmer sih?

Lokasi lomba bukan dilaksanakan di situ. Ada sebuah tempat yang lapang dan cukup luas. Apa saja permainannya?

Pertama, setelah dibentuk lima kelompok, adalah memindahkan bola dengan menggunakan sendok. Bagi yang tidak membawa sendok alumunium, bisa memakai sendok plastik. Namun, sendok plastik itu ternyata lebih joss dalam permainan ini.

Bola yang dipakai adalah bola pingpong. Untunglah, bukan bola basket. Pada ujung pertama, ada Hamzah. Dia mengajarkan saya dan anggota kelompok cara memindahkan bola warna kuning itu. Yang giliran selanjutnya, dialah yang menyendokkan bola.

Bola harus dibawa dengan cepat melewati garis di ujung belakang. Saya di bagian paling belakang dengan gaya sedikit membawa bola itu. Tujuannya agar teman-teman tertawa saja.

Beberapa kali dicoba, kelompok saya, yaitu: kelompok 4, tetap kalah. Beberapa kali jatuh, harus diulang dari depan.

Lanjut Permainan Lain

Permainan selanjutnya memindahkan sarung. Hamzah yang berada di ujung, menaikkan tangan kanannya yang sudah dilingkari sarung. Benda itu harus dipindahkan sampai di ujung belakang melewati anggota kelompok yang saling berpegangan tangan. Tidak apa-apa dong bergandengan tangan, ‘kan sama-sama laki-laki. Beda kalau, ehem!

Kata Ustadz Jamuddin, yang lebih gampang daripada sarung adalah hulahop yang sering dijadikan mainan anak perempuan itu. Hamzah kembali mencontohkan, ketika sarung itu akan dilewatkan, mesti dengan kaki dulu. Baru kepala dan tangan yang lainnya.

Kami kembali gagal. Tidak apa-apa, lah. Namanya juga permainan senang-senang. Masih ada kesempatan berikutnya. Untuk permainan ini, cukup menguras fisik, yaitu: ular manusia. Kedua kaki teman di belakang dilingkarkan melalui pinggang di depannya dan diletakkan di atas paha juga di depannya. Tidak boleh lepas. Nantinya, barisan semacam itu harus berjalan dengan tangan hingga menuju finish. Pemenang ditentukan jika ekor barisan itu, alias orang yang paling belakang sudah melewati garis finish.

Tangan saya mendorong ke depan melewati pasir-pasir yang cukup kasar sebenarnya. Namun, Alhamdulillah, tidak apa-apa dan tetap mulus saja sampai sekarang kok, hehe..

Buta yang Diarahkan

Permainan terakhir, masih dengan kelompok adalah barisan buta istilahnya. Pada bagian belakang membuka mata, sedangkan empat orang di depannya menutup mata. Barisan itu mencari tanda yang ditanam oleh panitia, dalam hal ini adalah Ustadz Aidil. Dia menanam gelas plastik di pasir.

Saya berperan sebagai si pengarah. Isyarat menggerakkan barisan tidak boleh dengan kata-kata. Misalnya kalau mau belok ke kiri, putar bahu teman di depan saya ke kiri juga. Begitu pula jika ke kanan. Bila ke depan, cukup mendorong kedua bahu ke depan juga. Nah, saat mau mengambil gelas plastik itu, bahu ditekan ke bawah. Dicari deh barang itu. Siapa yang berhasil mendapatkan dan berteriak “Allahu akbar!”, maka itulah pemenangnya!

Pada permainan ini, kelompok saya berhasil mendapatkan juara 1. Ekky, yang berada di depan sendiri berhasil mendapatkan gelas plastik setelah saya perintahkan untuk menunduk. Dia dengan cepat meraba-raba di sekitarnya. Ketemu deh gelas warna putih dan bulatan-bulatan merah itu.

Makan Lagi, Makan Siang

Permainan sudah sangat memuaskan kami, terutama dari tawa-tawa yang ada, berikutnya acara bebas. Kami boleh makan siang, dengan menu bakar-bakaran. Ada ikan, ada pula ayam. Tadi di Pulau Tabako, kami cuma makan tumbu. Sekarang ada nasi kuning. Sambalnya pun lebih mantap. Dipadu dengan rajangan tomat, masako, dan garam. Rasanya di lidah, pedasnya nendang banget!

Beberapa ikhwah sudah ada yang mencebur ke laut. Sebenarnya asyik sih berenang di situ, hanya karangnya di bawah cukup banyak juga. Terinjak di kaki cukup lumayan rasanya. Saya dan Raihan berenang cuma di bagian pinggir.

Persiapan Pulang

Sambil menunggu perahu yang tadi alias perahu penjemput datang, kami latihan memanah. Matras yang berbentuk kotak itu disandarkan ke batang pohon. Pak Amir, orang yang ahli memanah di antara kami, memberikan tanda lingkaran sebagai target. Saya mencoba beberapa kali. Memang sih tidak masuk ke target, tetapi setidaknya tetap menancap di matras tersebut.

Jam lima lebih sedikit, perahu datang juga. Sopirnya tiba dari arah yang berlawanan ketika datang tadi. Sebab, di tempat arah datang di pagi tadi, arus ombak sudah cukup kencang. Tidak mungkin, lah, kami berjalan menuju perahu melawan ombak tersebut. Kedatangan perahu di sore tersebut bisa dekat sekali ke pantai. Ketinggian air laut tidak membuat perahu jadi kandas. Ini sih lebih mudah dan jelas tidak membuat celana jadi basah kembali.

Ketika berada di Pulau Mangata itu, saya juga berperan sebagai “ibu” anak-anak. Mengawasi kedua anak saya, menunjukkan tempat bilas, dan menyodorkan baju ganti. Jangan bayangkan kamar mandinya mewah seperti di hotel, di sana lantainya dipenuhi dengan pecahan-pecahan botol. Wuih, mengerikan jika sampai terinjak kaki telanjang! Alhamdulillah, saya masuk sudah dengan sandal jepit yang dibeli dari Indomaret.

Perjalanan pulang mendatangkan keasyikan tersendiri. Paling tidak buat saya, anak-anak, dan penumpang yang berada di dalam kabin. Perahu melaju kencang menerjang ombak. Secara otomatis, air laut ikut masuk dan bertamu ke dalam perahu. Namun, kami yang di dalam kabin tidak terkena karena ditutup plastik di bagian depan. Mirip kami naik bentor alias becak motor.

Sebenarnya, saat itu juga hujan. Tapi, Alhamdulillah, lagi dan lagi, saya dan kedua anak tetap nyaman tidak basah sedikit pun.

Ternyata, Endingnya…

Ketika anak-anak sedang tidur, saya menjaga mereka baik-baik. Mereka tertidur dengan cukup nyenyak, sementara pantat saya sakit, pegal, dan terasa kaku.

Perjalanan lumayan lama, saya merasa bosan juga. Sekitar setengah jam, perahu merapat di pelabuhan pelelangan lagi. Saat mau turun, perahu begitu bergoyang-goyang. Anak kedua saya yang bernama Hafidz itu merasa ketakutan waktu melangkah. Ini memang pengalaman pertamanya naik perahu.

Rupanya, Raihan sangat kebelet kencing. Waduh, ini cukup gawat! Sementara di situ tidak ada tempat kencing yang bonafid. Saya mengajak mereka berdua untuk ke warung tempat teman-teman saya membeli es buah sebelum berangkat. Saya bilang “Assalamu’alaikum”. Cukup lama direspons. Saya bertanya, ada kamar mandi? Anak kecil yang muncul. Dia menjawab tidak ada. Saya melihat ada ember besar. Langsung deh, saya minta air setimba saja.

Raihan kencing di dekat situ, tepatnya di kayu-kayu dekat dinding samping rumah. Nah, ini dia, pas saya mau menyerahkan celana panjang ke dia, celana itu sudah basah. Apa itu maksudnya? Dia sudah mengompol tadi. Tidak bisa menahan buang air kecil.

Ya, sudah, kalau begitu caranya, tetap dipakai saja celana bau pesing itu. Ada teman yang mengajak sholat di masjid pasar, oke saya ikuti dia.

Sholat Maghrib ketika itu memang sudah cukup terlambat. Hampir jam setengah tujuh. Sebenarnya berat juga meminta Raihan dan Hafidz untuk tidak ikut masuk masjid. Sebab, adiknya pun mengatakan bahwa dia mengompol. Dua-duanya kompak membasahi celana. Mantap!

Sedikit Kena Semprot

Saya dan anak-anak menumpang mobil Ustadz Rapiu dari masjid pasar untuk kembali ke Masjid An-Nur tempat motor saya diparkir. Saya bilang ke ustadz tersebut bahwa kedua anak saya mengompol. Sebenarnya saya terpikir untuk duduk di depan saja. Namun, temannya yang menjadi sopir, mempersilakan saya duduk di tengah saja. Anak-anak jangan duduk di kursi, dipangku saja untuk menghindari najis menempel di kursi.

Okelah, saya turuti petunjuk itu. Hingga akhirnya mobil Avanza putih itu sampai mendarat di Masjid An-Nur. Saya segera ambil motor matic putih yang diatasnamakan istri saya itu. Sebelum menjemput istri di rumah mertua, saya mesti pulang dulu. Mengganti celana anak-anak. Selain itu, saya juga butuh mandi yang betul-betul mandi. Saat di pantai, saya cuma membilas dengan air tawar. Tidak pakai sabun, apalagi sampo.

Mertua, begitu melihat datang di rumahnya, agak memarahi saya. Soalnya saya dan anak-anak pergi ketika angin sedang kencang. Ombak sedang kencang. Benar juga sih, tetapi kapan lagi mau rihlah? Ya ‘kan? Kesempatan libur cuma hari Ahad kemarin dan satu pekan saja.

Apa yang Bisa Diambil?

Rihlah yang lalu memang membawa hikmah. Selain bersenang-senang, juga ada pengalaman baru. Apalagi waktu terombang-ambing di tengah laut. Itulah yang paling saya syukuri, selain bisa selamat sampai di rumah kembali. Bayangkan jika sampai seharian berada di tengah laut, seperti apa itu rasanya?

Hanya sekitar 15 menit saja, kepala sudah oleng tidak karuan, apalagi jika lebih lama daripada itu. Alhamdulilah, memang kata yang sangat pantas untuk saya ucapkan.

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

2 Comments

  1. MasyaAllah ..rihla yg sangat seru sekaligus menegangkan, untk aktifis dakwah memang d perlukan rihla setelah sekian lama mengerjakan proker” dakwah untk memberikan pelayanan & pengetahuan tentang arti Islam seutuhnya.
    Dan yg paling sering dan selalu ,rihla d adakan d pantai.
    Tentu ini ada alasan tersendiri.
    Dimana pun rihlanya semoga menjadi penyemangat yg lebih baik lyg bisa mengantarkan kita pada proker” dakwah lebih baik,lebih luas agar ummat paham dgn Islam sebagai agama yg kita anut bersama …tetap semangat dan semoga kedepanya rihlanya lebih seru lagi.

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.