Bersatu Tanpa Batas Waktu

Bersatu Tanpa Batas Waktu

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Jika teringat kata “bersatu”, saya teringat dengan sebuah pepatah yang diplesetkan. Awalnya “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” menjadi “bersatu kita teguh, bercerai kawin lagi”!

Saya lupa kapan pertama kali mendengar pepatah tersebut. Terdengar lucu memang, tetapi maknanya benar juga lho! Apalagi dikaitkan dengan pernikahan. Bersatu kita teguh. Ini juga tidak ada kaitannya dengan “bersatu kita ikut Mario Teguh”. Sementara ketika bercerai, maka solusinya adalah kawin lagi. Hem, semudah itukah?

Setelah Bercerai

Saya mulai dari kata “bercerai” dulu ini. Dulu, di tempat saya, Kabupaten Bombana, pengadilan agama itu sangat jauh. Letaknya ada di Pasarwajo, ibukota Kabupaten Buton. Bombana belum punya pengadilan agama sendiri.

Nah, ketika sudah ada dan letaknya juga di ibukota, ramai sekali orang meminta cerai. Baik itu suami maupun istrinya. Belum pernah saya dengar di situ, ada anak meminta kedua orang tuanya bercerai. Apalagi anak tersebut masih dua tahun, sama sekali belum pernah saya dengar.

Rupanya, pengadilan tersebut dimanfaatkan orang untuk mengakhiri hubungan pernikahan mereka. Alasannya sih macam-macam. Ada yang karena faktor ekonomi, perselingkuhan, KDRT, salah satunya meninggalkan tempat dan tidak tahu rimbanya, dorongan dari keluarga besar, dan lain sebagainya.

Padahal, secara hukum Islam, menikah itu mudah, tetapi bercerai tidak mudah. Ketika suami istri ingin bercerai, maka menempuh prosedur yang tidak sekali selesai. Ini kalau dalam hukum negara lho, tetapi kalau dalam agama Islam, jatuh cerai bisa terjadi karena perkataan “cerai” dan “talak”. Kalau “pisah”, “kembali ke rumah orang tuamu”, “kita tidak lagi bersama”, maka itu belum tentu. Tergantung niat dari yang mengucapkan.

Bercerai yang makin banyak juga pernah disinggung oleh pakar parenting Islami, Ustadz Bendri Jaisyurrahman. Katanya, selama beliau ceramah satu jam, ada sekitar 40-an kasus perceraian. Hal itu dipicu juga oleh tingkat kepribadian generasi sekarang yang kurang semangat berjuang dan maunya serba instan. Saat ada masalah dalam pernikahan, solusinya hanyalah bercerai. Tidak memikirkan alternatif lain yang tentunya lebih baik.

Setelah bercerai, maka belum tentu masalah akan terselesaikan. Bahkan, bisa jadi lebih. Ada seorang perempuan muda. Menikah juga masih muda. Dijodohkan oleh orang tuanya. Setahun lebih, perempuan itu menggugat cerai suaminya karena merasa tidak cocok. Coba bayangkan, baru juga setahun, sudah minta cerai. Mestinya nantilah setelah seribu tahun, baru boleh, hehe.

Sekarang, kondisinya cukup memprihatinkan perempuan tersebut. Dia kembali ke rumah orang tuanya dan membawa satu anak laki-laki. Tidak ada yang menafkahinya, kecuali orang tuanya. Bahkan, mantan suaminya pun tidak memberikan uang lagi kepada anaknya. Padahal, anak laki-laki tersebut ‘kan darah dagingnya sendiri, kok jadi dilupakan selupa-lupanya begitu ya?

Ketika Bersatu Menjadi Tujuan

Teringat saya dengan perkataan teman, bahwa pasangan suami istri itu tidak ada yang benar-benar cocok, yang ada adalah dicocok-cocokkan. Analoginya begini, selalu ada sifat kebalikan di antara mereka. Suaminya suka bersih-bersih, tetapi istrinya suka jorok dan tidak peduli kebersihan. Sebaliknya juga ada. Istrinya mau segala di rumah itu rapi, tetapi suaminya mengambil baju saja asal tarik.

Jika melihat dua sifat yang berbeda, jalan tengahnya ya bercerai saja. Sebab, perbedaan itu akan selalu ada. Pintar-pintarnya si suami maupun istri untuk mempertahankan pernikahan. Pintar-pintarnya mereka untuk terus bersatu.

Ketika dilanda masalah, dan pastinya selalu ada, maka harus ingat komitmen untuk terus bersama, untuk terus bersatu. Bukankah dulu sampai menghabiskan dana belasan hingga puluhan juta rupiah untuk membuat resepsi pernikahan? Malah sampai berutang ke sana-sini. Terus, kok sekarang hanya masalah sepele saja, langsung minta cerai? Apa betul-betul tidak bisa dipertahankan?

Ustadz Salim A. Fillah pernah mengatakan kira-kira begini, “Menikah itu adalah ibadah yang paling lama. Diawali dari akad, diakhiri ketika salah satu kaki menginjak surga.”

Wah, lama betul ya! Tujuan menikah memang tidak hanya di dunia ini, tetapi sampai langgeng nanti bisa bersama lagi di surga Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bila sudah seperti itu, maka sudah tidak ada lagi waktu. Yang ada adalah keabadian. Yang ada adalah cuma kebahagiaan. Lebih tepatnya adalah kebahagiaan dalam keabadian. Masya Allah.

Ingat yang Satu Ini

Agar terus bersatu dan makin lengket di antara suami istri, tips yang pernah saya tahu adalah selalu ingat kebaikan pasangan kita. Marah kepada suami atau istri itu wajar, benci juga wajar, tetapi mengambil untuk melepasnya secara hukum agama dan negara, nanti dulu. Selama masih bisa diselamatkan, tetap harus dipertahankan.

Saya teringat juga bahwa godaan setan yang paling disukai Iblis adalah memisahkan suami dan istri. Jika menggoda orang salat, orang puasa, sampai orang berhaji atau umrah, itu biasa sekali. Sementara bila sampai ada yang bercerai karena godaan setan itu, maka Iblis akan sangat memujinya.

Mengapa kok sampai begitu Iblis sangat menyukai ada pasangan suami istri yang bercerai? Apakah Iblis sampai sekarang masih jomblo? Di mana istrinya jika dia memang sudah menikah? Berapa istrinya? Jawabannya mudah saja, kita tidak tahu karena tidak pernah diundang di acara resepsi pernikahannya. Jika dia bercerai dengan istrinya sekalipun, kita juga tidak tahu kapan sidangnya di pengadilan agama setempat khas dunia mereka. Atau apakah di dunia Iblis ada yang sampai memasukkan gugatan, terus dicabut kembali? Eh, kok jadi teringat berita dua orang anu ya?!

kamis-menulis

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

10 Comments

  1. Angka perceraian meningkat menjadi berita yang membuat miris. Rasa saling menerima kekurangan semakin menipis karena terbiasa dengan hal yang instan. Serba cepat.

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.