Hiduplah Jangan Seperti Wasit!

Hiduplah Jangan Seperti Wasit!

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Menyaksikan pertandingan sepak bola memang mendatangkan candu tersendiri. Keasyikan menyaksikan tim-tim idola berlaga di rumput hijau dan para bintang membuat para penggemarnya rela melek atau begadang.

Rata-rata pertandingan bola memang berlangsung di dini hari. Yang dimaksud dini hari di sini tidak ada kaitannya dengan Pernikahan Dini, sinetron jadul yang dibintangi oleh Agnes Monica itu. Meskipun Agnes pernah memerankan tokoh utama di sinetron Pernikahan Dini itu, nyatanya sampai sekarang belum menikah juga. Lho, kok malah gosip artis? Hehe…

Komponen Pertandingan Sepak Bola

Pertandingan sepak bola, baik kandang maupun tandang, memang hanya sebelas pemain melawan sebelas pemain. Kiper masing-masing satu orang. Bek atau pemain bertahan di depan gawang bisa tiga atau empat. Penyerang tengah bisa tiga atau empat, penyerang utama biasanya dua atau tiga orang.

Saya dulu, waktu masih tinggal di Jogja, sekarang di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, pernah main seharian di rumah sepupu saya. Biasanya hari Ahad. Sejak pagi, saya berada di depan komputernya. Memainkan game manajer sepakbola. Pura-puranya sih saya menjadi manager atau pelatih, semacam itu. Mengatur formasi pemain, siapa saja yang main, apakah akan menjual atau membeli pemain baru? Semuanya bisa dilakukan di dalam komputer. Dan, gratis lagi, karena saya menumpang di rumah situ.

Waktu itu, saya menggunakan tim AC Milan, klub terkenal dari negeri pizza, Italia. Masih ada Gattuso, Pirlo, Maldini, Filipo Inzaghi, dan lain sebagainya. Lucunya, ketika bertanding, kalau kalah, maka hasil pertandingan bisa dikembalikan seperti semula. Caranya dengan tidak mengesave pertandingan itu. Kalau disave, ‘kan berarti ada catatan kalah di tim saya. Akhirnya, jadi tidak sportif, ya? Haha…

Bicara Tentang Wasit

wasit-1
Peluit Wasit, Bukan Peluit Pramuka, Apalagi Peluat Polantas

Selain para pemain dan pelatih yang harus berada di luar garis pertandingan, ada namanya wasit. Beliau, cieh beliau, didampingi oleh dua hakim garis. Si dua orang itu hanya berlari-lari di sepanjang garis. Garis di sebelah sini dan sebelah sana. Bukan garis yang bersisian  atau di belakang gawang.

Ketika ada bola ke luar, maka hakim garis akan mengangkat benderanya, lalu menunjuk tim yang mengeluarkan bola tersebut. Eh, benderanya menunjuk tim yang bikin bola ke luar atau tim yang harus memasukkan bola kembali ke lapangan ya? Hayo, kamu pilih yang mana?

Sekarang tentang wasit. Sosok yang satu ini adalah pemimpin pertandingan. Staminanya harus kuat dan luar biasa, sebab dia akan berlari sepanjang 90 menit. Tidak lari terus sih, ada juga jalan sedikit atau berhenti sebentar, misalnya ada pemain terjatuh atau terluka. Namun, wasit harus terus mengikuti bola ke manapun mengalir. Dari situ, jika ada pelanggaran, dia bisa menentukan tindakan selanjutnya.

Bila pelanggaran agak keras, maka wasit akan mengacungkan kartu kuning kepada seorang pemain. Bisa juga langsung dua pemain. Kartu kuning sebagai peringatan. Ini jadi mirip orang mau masuk kerja ya? Dia disuruh mencari kartu kuning. Eh, belum kerja saja sudah diberi peringatan!

Andai melanggar lagi, maka si pemain dapat dikenakan kartu merah. Kalau sudah begitu, maka selamat tinggal. Pemain tersebut akan dikeluarkan dari pertandingan. Tidak sampai dikeluarkan dari stadion sih, cukup dia ke ruang ganti saja. Tidak juga sampai dikeluarkan dari negara itu, apalagi sampai ke luar dari bumi. Halah…

Dua Sisi

Dalam sebuah pertandingan, sosok wasit bisa menjadi kontroversial. Bisa jadi, dia akan memimpin dengan adil, bisa jadi pula, ada kecenderungan dia memihak. Misalnya, ketika sebuah tim berbuat pelanggaran, maka tidak terlalu direspons. Namun, ketika lawannya berbuat yang sama, maka wasit langsung menjatuhkan hukuman.

Gol pun begitu. Ada lho saya menonton cuplikan pertandingan, seharusnya memang gol secara sah, tetapi dianulir oleh wasit. Tentu itu menimbulkan perdebatan, sekaligus permusuhan. Wasit dapat dibenci satu stadion, ditambah dengan jutaan pemirsa di rumah. Dapat juga dipuji semua orang yang menonton jika betul-betul profesional, dan tentu lagi: adil. Yah, ibarat berpoligami, lah. Bila suami adil, maka poligami itu akan bikin bahagia. Apalagi kalau yang menjalankan poligami itu adalah seorang wasit! Nah, apa hubungannya coba?

Tapi, Begini

Mungkin ada yang mantan pemain sepak bola, terus jadi wasit. Atau siapapun bisa, lah, jadi wasit asal tahu hukum-hukum tentang sepak bola. Namun, dalam tulisan ini, kok saya bilang jangan hidup seperti wasit? Maksudnya apa?

Kita bisa lihat wasit tersebut. Dia berlari ke sana kemari hanya untuk melihat kesalahan orang. Ya, tidak salah lagi. Dia berlari-lari untuk mencari kesalahan orang. Kalau sudah lihat, maka dapat diberikan konsekuensi. Mungkin tendangan bebas, kartu kuning, atau bahkan kartu merah.

Jika hidup seperti wasit, maka seseorang ke luar dari rumahnya akan sibuk untuk mencari aib orang lain. Mungkin dia mendatangi kelompok ibu-ibu di depan tukang sayur yang rutin menggosip. Atau ikut ke arisan, setelah dikocok dan ada namanya yang ke luar, habis itu gosip lagi. Mungkin juga ikut dalam sebuah kajian agama Islam. Setelah membaca Al-Qur’an, ditambah dengan materi sedikit, habis itu gosip lagi.

Pokoknya, ke manapun pekerjaannya adalah mencari aib orang, mencari kesalahan orang. Tidak hanya di dunia nyata, terlebih di dunia media sosial. Dia rutin mengecek status orang yang masuk di berandanya. Kalau ada hal yang menarik, maka dia langsung tertarik. Mungkin dia inbox yang punya status tersebut, menanyakan kebenaran dari berita yang muncul tadi. Jika menyangkut orang lain, maka dia akan selalu semangat.

Ini juga melanda orang-orang yang dikatakan paham ilmu agama lho! Terlebih orang yang fanatik terhadap kelompoknya sendiri. Maka, penyakitnya yang muncul adalah mencari kesalahan kelompok lain. Jika sudah menemukan, maka akan dihujat, dibully, bahkan dengan dalil-dalil agama Islam yang dipakai semaunya sendiri. Dia merasa kelompoknya paling benar, paling bersih, dan sepertinya paling layak pula masuk surga Firdaus. Ededeh…

Nah, apakah kita mau hidup kayak wasit begitu? Sibuk dengan kesalahan orang lain, eh, lupa dengan kesalahan sendiri. Bagaimana menurut kamu? Tulis di kolom komentar ya!

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

2 Comments

  1. Saya mau jadi wasit, tapi yang adil dan baik. Tidak berat ssbelah. Kalau tidak ada wasit, siapa yang mau mengatur dan mmmberikan sanksi

    1. Iya, Pak, bener sekali, wasit adalah pemimpin pertandingan, tetapi tetap harus adil atau tidak memihak salah satu tim.

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.