Balada Sebuah Koran

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Sebagai bagian dari pembaca setia harian Kendari Pos, tentunya saya ikut merasa senang dan bangga pada media ini. Mengapa demikian? Alasannya, tidak lain tidak bukan adalah Kendari Pos berhasil menduduki ranking atau peringkat I untuk triwulan I dalam lingkup Fajar Grup (Kendari Pos, 10 April 2015). Tentunya, ini menjadi bukti bahwa media yang berpusat di Kendari tersebut memang semakin menunjukkan taringnya.

Pendekatan “Top Down”

Memang tidak dapat dipungkiri, sebuah koran menyimpan sesuatu yang istimewa di hati dan benak masyarakat. Datangnya koran selalu ditunggu-tunggu. Rutinitas membaca koran di pagi hari pun menjadi rutinitas pada sebagian masyarakat kita. Mungkin sambil menikmati kopi panas, sedikit gorengan, merokok sebatang, membaca koran menjadi sesuatu yang mengasyikkan setelah matahari terbit. Berada di teras rumah lebih menyenangkan lagi, karena sambil melihat rutinitas orang lalu-lalang. Sambil menyapa tetangga atau melihat sesuatu yang menarik lainnya. Biasanya, itulah “ritual” bagi orang-orang sebelum berangkat kerja.

Sebenarnya, apa sih yang dicari dari sebuah koran itu? Kita pasti tahu dan paham bahwa koran termasuk media massa. Artinya, koran menyimpan informasi dengan segala bentuknya. Ada berita seputar politik, ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, pendidikan atau bahkan informasi-informasi yang ringan, seperti: humor atau cerita lucu. Itulah yang selalu ditunggu dari koran baru pada permulaan hari. Apalagi bila sedang ada kasus yang sedang “hot” di kalangan masyarakat. Para pembaca koran selalu menunggu-nunggu kasus tersebut. Kalau toh koran hari ini sudah dibaca, maka akan terus menanti keesokan harinya. Saking kuatnya keinginan untuk membaca koran dengan berita “hot” tersebut, berharap hari esok dimajukan saja.

Inilah yang dinamakan dengan pendekatan “top down”. Artinya adalah koran membanjiri masyarakat dengan berita-berita di dalamnya. Sebuah berita yang sedang hangat dibicarakan biasanya ditempatkan di halaman depan pada bagian atas. Cukup sering dengan tulisan yang besar dan gambar yang cukup “nyambung”. Koran kadang menyelipkan humor sindiran melalui gambar karikatur jika ada kasus yang menyangkut pejabat negara. Ini sah-sah saja sepanjang tidak terlalu berlebihan.

Dalam pendekatan ini, koran tidak akan membiarkan ada satu kolomnya kosong. Pernahkah Anda membaca koran dengan sebuah kolom yang kosong? Tentunya tidak pernah! Inilah pintarnya manajemen koran untuk mengisi setiap kolomnya. Kerja keras mereka untuk memenuhi kolomnya selalu berpacu dengan waktu. Istilah kerennya adalah “deadline”. Pembaca sering tidak mau tahu, yang penting koran datang ke tangan mereka tepat pada waktunya.

Untuk bisa memberikan informasi, manajemen koran memerlukan wartawan. Untuk menjadi seorang wartawan, jelas diperlukan kriteria-kriteria khusus. Misalnya, memiliki insting informasi yang sangat tinggi, ulet, pekerja keras dan siap berada dalam tekanan. Makanya, agar bisa menjadi wartawan, selalu ada beberapa tes yang harus dilewati. Setelah jadi wartawan pun, tetap ada pendidikan atau pelatihan yang berkelanjutan. Pengalaman yang ada juga menjadikan seorang wartawan semakin berkembang pola kerjanya.

Informasi yang berhasil dihimpun oleh wartawan dari berbagai sumber dikumpulkan ke redaksi. Kemudian, redaksi menyeleksi berita-berita yang akan ditampilkan. Setelah itu, masuk ke percetakan untuk bisa betul-betul menjadi koran. Pengantar atau loper koran menjadi agen selanjutnya yang menyalurkan koran kepada masyarakat. Selain itu juga melibatkan pedagang keliling sampai toko-toko besar maupun fasilitas umum.

Selain sebagai salah satu sumber berita, koran juga memberikan kesempatan promosi bagi masyarakat. Inilah yang dinamakan iklan. Jenis-jenis iklan bisa terbagi menjadi iklan kecil yang cuma beberapa baris itu dan iklan bergambar. Tentunya, biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat sebanding dengan iklan yang akan muncul. Iklan-iklan tersebut selain sebagai sumber pemasukan bagi perusahaan koran, juga membantu meningkatkan ekonomi masyarakat.

Pendekatan “Bottom Up”

Kalau pendekatan “top down” itu berarti koran memberikan informasi kepada masyarakat, secara bentuknya dari atas ke bawah, maka pendekatan “bottom up” adalah sebaliknya. Adanya koran menimbulkan tanggapan dari masyarakat. Sebagai contoh adalah kolom “Opini” ini. Anggota masyarakat yang punya kepekaan, pikiran kritis dan tentu saja kemampuan menulis diberikan kesempatan yang sangat luas untuk mengisi kolom ini. Mereka bisa menulis tentang apapun, mulai dari politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya ataupun agama. Ketika tulisan dari masyarakat telah sampai di meja redaksi, maka akan ada seleksi. Jadi, tidak semua tulisan akan dimuat. Selalu ada pertimbangan-pertimbangan khusus dari redaksi.

Melalui pendekatan “bottom up” ini, masyarakat bisa menjadi sumber informasi juga. Dalam menulis opininya, terkadang mencantumkan sumber-sumber ilmu maupun pengetahuan yang sangat berguna bagi pembaca lainnya. Itulah yang membuat pembaca koran mengalami perkembangan pikiran. Berbagai bidang bisa diketahui dengan baik.

Menulis opini di koran memang menimbulkan sensasi tersendiri. Melihat nama kita muncul di koran sebagai penulis opini membuat kita merasa senang dan bangga. Ilmu kita juga bisa disalurkan atau disampaikan kepada pembaca lain. Jadi, ilmu yang kita miliki tidak mengendap atau tersimpan begitu saja. Semakin disampaikan akan semakin luas dan berkembang. Bayangkan bila menulis tentang agama Islam, lalu ada pembaca yang mengamalkannya. Maka, kita akan mendapatkan pahalanya tanpa mengurangi pahala orang lain tersebut. Inilah yang dinamakan amal jariyah.

Motivasi lainnya dari menulis opini di koran adalah bisa mendatangkan pemasukan. Apalagi jika koran yang memuatnya termasuk media nasional dan beroplah sangat tinggi. Honor yang akan dibayarkan kepada penulisnya tidak bisa dikatakan sedikit. Makanya itu, Saldi Isra, seorang pakar hukum tata negara, dalam buku “Refleksi 10 Tahun Pemerintahan SBY”, merasa sangat senang tulisan-tulisannya dimuat di salah satu media nasional dan terkenal. Bisa jadi juga karena honor yang berhasil didapatkannya.

Tidak hanya opini yang bisa kita tulis, termasuk juga tulisan berkaitan dengan ilmu sastra dan budaya. Kita bisa menulis cerita pendek (cerpen), puisi, pameran seni, adat-istiadat, resensi buku dan lain sebagainya. Inilah yang menjadi faktor dunia sastra tetap masih bisa eksis di negara kita. Sastra koran tetap memegang peranan penting untuk menyajikan nilai-nilai kepada masyarakat. Bahkan seorang penulis sastra terkenal, Seno Gumira Ajidarma, pernah mengatakan bahwa sastra koran bisa menjadi simbol perlawanan. Saat demonstrasi atau tuntutan kepada pemerintah terasa tumpul, maka dialihkan kepada sastra. Terbukti, Seno pernah menulis kritikan tentang kasus terbunuhnya Munir melalui cerpennya “Aku, Pembunuh Munir.” Masih banyak pula penulis sastra lain dengan perlawanan masing-masing.

Koran sebagai media penampung tulisan masyarakat harus pula menunjukkan peran lebih aktif. Misalnya memberikan penghargaan kepada penulis opini maupun sastra dengan cukup memuaskan, seperti: honor yang cukup tinggi. Harapannya adalah masyarakat semakin termotivasi untuk menulis. Koran juga perlu mewadahi pelatihan-pelatihan menulis bagi masyarakat. Dengan demikian, selalu muncul pemikiran-pemikiran segar dari masyarakat untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan itu sendiri.

Akhir dari Sebuah Koran

Istilah “kliping” masih dikenal sampai sekarang berkaitan dengan koran. Kliping termasuk kegiatan yang cukup menyenangkan karena mengumpulkan informasi-informasi dalam satu jenis atau bagian. Ada kliping khusus tentang dunia politik, hukum, ekonomi dan lain sebagainya. Kliping ini menjadi dokumentasi penting bagi seseorang maupun instansi untuk lebih fokus terhadap suatu masalah.

Kegiatan kliping biasanya dilakukan setelah membaca koran. Mungkin cukup sering kita tidak bisa membaca semua informasi yang tersaji dalam sebuah koran. Entah karena tidak ada waktu atau memang hanya mencari informasi-informasi yang kita butuhkan. Setelah dikliping, koran pun mulai memasuki fase pembuangan. Ya, koran yang telah disusun dengan sangat cermat oleh redaksi akan masuk mendekati ajalnya. Koran pun menjadi barang loakan. Koran-koran akan dikumpulkan dengan diikat, lalu ditimbang. Hasil timbangan yang ada menunjukkan rupiahnya. Maksudnya adalah kita yang menjual koran bekas mendapatkan uang dari hasil timbangan tersebut.

Koran yang sudah tidak dibaca lagi juga sering mampir ke penjual makanan kaki lima atau pinggir jalan. Apalagi kalau bukan untuk membungkus makanan. Koran masuk pula ke tempat pencucian mobil. Setelah mobil pelanggan dicuci, dimasukkan koran di lantainya. Koran pun menjadi barang yang diinjak-injak.

Memang, terlihat cukup mengenaskan akhir dari sebuah koran itu. Kalau toh untuk mendukung ibadah, hanya untuk alas sholat Idul Fitri maupun Idul Adha. Itupun cuma sementara waktu, karena setelahnya tetap diinjak-injak.

Meskipun begitu, koran bekas tetap menjadi sumber penghasilan bagi sebagian anggota masyarakat. Bank sampah seperti yang ada di Bombana dan Kendari juga tidak luput dari sampah koran bekas yang justru menghasilkan uang. Terlepas dari itu semua, koran selalu akan memegang peranan pemberi informasi yang sangat penting bagi masyarakat. Sekali lagi, selamat untuk harian Kendari Pos yang telah menunjukkan prestasi membanggakan. Semoga tetap menjadi koran yang “Santun dan Menginspirasi”!

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

3 Comments

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.