Tidak Mau Divaksin, Tapi…

Tidak Mau Divaksin, Tapi…

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Tersebutlah sebuah cerita fiktif alias tidak nyata, di suatu daerah namanya kabupaten M. Tidak usah tanya apa kepanjangan dari M itu, karena saya sendiri juga akan bingung menjawabnya.

Kabupaten M pada pekan depan akan mendapatkan giliran vaksin dari pemerintah. Para warganya akan disuntik vaksin untuk mencegah dari virus corona.

Untuk permulaan, yang akan disuntik adalah para nakes. Mereka ini bekerja di rumah sakit, puskesmas, poliklinik, dan beberapa layanan kesehatan lainnya.

Seorang tenaga kesehatan, sebut saja namanya Doni, mempunyai pandangan yang berbeda dengan keberadaan vaksin ini. Awalnya sih tidak begitu, tetapi kok sekarang begitu?

Sebagai tenaga kesehatan, mestinya ‘kan Doni mendukung program vaksinasi pemerintah. Namun, sejak membaca sebuah buku dan menonton berbagai macam video di internet, pandangannya berubah. Dia jadi percaya bahwa pandemi ini adalah settingan!

“Kurang ajar! Ternyata begini toh yang aku tahu sekarang! Betul-betul keterlaluan itu yang membuat pandemi ini!” Katanya pada suatu kesempatan. Ini dia sedang ngomong sendiri ya.

Lain Kesempatan

Doni punya teman akrab yang bernama Sugi, lengkapnya sih Sugiono. Mereka berdua, sering jalan selesai bertugas. Jika punya jadwal yang sama, pulangnya pun sama. Biasanya, mereka nongkrong di kafe Tulalit. Itu lho, kafe yang letaknya di dekat mal. Tahu nggak?

Seperti malam itu, habis Isya, mereka kembali ke sana. Doni punya mobil sendiri. Sementara Sugi motornya sedang rusak. Makanya, Doni berinisiatif untuk mengajak Sugi pulang, daripada naik angkot, naik ojek, atau malah naik pesawat terbang. Kemahalan kalee…

“Pesan apa, Gi?”

“Hem, tunggu dulu ya? Kayaknya ada menu baru nih!”

“Oh, ya, yang mana?”

“Ini lho, Don, nasi goreng ambyar. Bukankah yang lalu-lalu ini nggak ada?”

“Ohh, betul juga ya? Kamu mau pesan itu?”

“Boleh deh! Coba-coba. Kalau kamu apa?”

“Saya biasa. Nasi goreng rudal. Yang isinya full daging jerohan juga.”

“Wah, menu kesukaanmu itu, Don!”

“Jelang dos! Ini menu yang nggak ada duanya di hatiku, hehe..”

Minumannya kopi untuk mereka berdua. Kalau Sugi sih kopi pahit saja, sedangkan Doni kopi yang banyak gulanya. Dia minta empat sendok teh gula. Biar manis abis.

Sambil menunggu pesanan datang, mereka pun bercerita.

“Pekan depan kita mau divaksin, Don, kamu sudah siap?”

“Nggak usah pakai vaksin-vaksinan. Aku udah nggak percaya covid itu ada!”

“Apa, Don? Kamu nggak percaya covid ini?”

“Iya, aku mulai nggak percaya dengan virus cina itu yang katanya mematikan. Kenyataannya, di daerah kita tidak ada yang sampai meninggal dunia gara-gara kena virus itu.”

“Memang, Don, tidak ada yang meninggal dunia, tapi ‘kan banyak yang kena juga.”

“Kalau hanya flu dan batuk, itu gejala ringan, Sugi.”

“Meskipun gejala ringan, tapi ‘kan tetap itu namanya penyakit, Don.”

“Tentang vaksin ini, aku sudah sangat nggak percaya, Sug. Akan kutolak mentah-mentah jika aku sampai divaksin.”

“Lho, alasanmu kenapa, Don?”

“Aku sudah banyak baca buku dan nonton video di internet, Sug. Vaksin itu cuma akal-akalan saja negara pembuat virus ini buat menyuntikkan racun ke tubuh masyarakat kita.”

“Apa kamu bilang? Yang benar aja kamu, Don?”

“Iya, aku yakin itu, Sug. Yakin 100%. Vaksin ini nggak akan ada pengaruhnya apa-apa buat mencegah covid. Malah yang ada nanti akan membuat penyakit baru.”

Sugi geleng-geleng. “Betul-betul kau, Don, sudah berubah 180 derajat.”

“Ini yang namanya kebenaran, Sug. Kita ini sebagai tenaga kesehatan juga harus berpikiran ke depan. Vaksin itu akan merusak kesehatan kita. Lihat saja yang sudah vaksin di luaran sana. Mereka ketika bangun tidur, rasanya capek-capek. Badan sudah tidak sefit dulu. Pokoknya ada yang berbeda, lah, ketika divaksin.”

Sugi masih geleng-geleng. “Tapi, itu ‘kan tidak sama tiap orang, Don. Pasti ada juga manfaat dari vaksin itu.”

“Tetap nggak bisa, Sug. Vaksin ini aku yakin adalah zat yang berbahaya, bahkan sangatlah berbahaya. Mungkin tidak dalam waktu sekarang, tapi nanti, lima tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun, pasti akan ada cacatnya generasi.”

Sugi memegang kepala Doni. “Kamu nggak lagi sakit ‘kan, Don?”

“Sembarang aja kamu, Sug! Jelas aku ini sehat terus, lah. Kamu aja yang sakit-sakitan!”

Lawan bicara Doni itu cuma tertawa. “Jadi, sekarang, maumu apa, Don? Kamu nggak mau divaksin? Bukan nggak takut disuntik ‘kan? Siapa tahu badanmu yang besar ini takut disuntik?”

“Sembarang lagi kamu, Sug! Aku jelas tidak takut disuntik, lah. Aku ini ‘kan laki-laki yang kuat perkasa!”

Sugi menahan tawanya. Sebelum berkata lagi, dia mengacungkan jempol, “Iya, bener, Don, kamu memang gagah perkasa!”

“Iya, toh, nggak usah kamu ragu, Sug!”

Mereka nongkrong di situ sampai jam 10 malam. Setelah makan malam, Doni merokok. Kebiasaan itu belum bisa hilang sejak Doni SD. Ketika bertugas pun, dia mencuri-curi waktu untuk merokok. Tentunya, dia berusaha untuk tidak sampai ketahuan bosnya.

Sugi sering main ke rumah Doni. Rumah yang cukup besar. Oh, ya, Doni ini seorang janda, eh, duda tanpa anak. Istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat. Ini bukan pesawat terbang, melainkan pesawat televisi. Maksudnya, waktu bawa pesawat televisi, mobil yang ditumpangi istrinya menabrak truk. Walah, kalimatnya muter-muter!

Ketika di rumah, Doni biasa ngemil biskuit coklat, sosis, keripik, kerupuk, apapun yang manis dan gurih. Setelah makan, bungkusnya dibuang begitu saja. Dia juga doyan minum yang manis-manis atau yang gulanya tinggi.

Doni jarang berolahraga. Sambil ngemil, sambil nonton film lewat aplikasi streaming. Sambil rebahan dan sangat kurang gerak fisik.

Tadi, Doni mengaku gagah perkasa, itu cuma klaim atau statement mulut. Sebenarnya, perut Doni itu buncit, kalau diajak lari 10 kilometer, tidak akan kuat. Ditantang push up tanpa tangan, dia juga tidak sanggup. Intinya, Doni itu sebetulnya laki-laki yang lemah.

Dilihat dari segi materi, Doni bisa menikah lagi lho! Namun, entah kenapa, dia tidak mau. Jangan-jangan ada masalah dengan organ reproduksinya? Itulah yang ada dalam pikiran orang-orang.

Ketika Sugi Datang

Hari Ahad pagi, Sugi datang habis olahraga. Dia sedang lari pagi di lapangan dekat rumah Doni. Sugi sengaja olahraga di lapangan itu karena katanya ada bubur ayam yang enak. Entah, apakah yang jual itu termasuk tukang bubur naik haji? Kalau yang di sinetron itu tukang haji naik bubur ya?

Pintu pagar Doni sudah terbuka. Ohh, dalam pikiran Sugi, berarti Doni sudah bangun. Dia langsung masuk saja. Pintu depan juga tidak terkunci, sedikit terbuka. Ohh, berarti Doni sudah betul-betul bangun nih!

Ternyata, Sugi salah besar! Doni malah tidur di atas karpet, TV masih menyala. Dari mulutnya, keluar iler, hiii… Di kanan kirinya, terdapat remah-remah roti. Ada pula cuilan biskuit. Kacang terhambur. Sugi geleng-geleng, ini makanannya kok berantakan begini?

Sugi gemas melihat pemandangan itu. Apalagi Doni tidur justru di saat pagi yang harusnya segar-segarkan badan. Dia pun membangunkan sahabatnya itu.

“Don, bangun, Don, bangun! Udah pagi nih!”

Butuh beberapa detik agar Doni benar-benar bangun. Matanya terbuka, melihat Sugi ada di dekatnya. Doni kaget, ucek-ucek mata, langsung duduk. Dia mengelap mulutnya dengan tangan. Memasukkan kembali ilernya ke dalam mulut, hiii…

“Sejak kapan kamu di sini, Sug?”

“Ya, barusan. Pintu pagarmu terbuka. Pintu depanmu juga terbuka. Makanya aku masuk saja. Kukira kamu sudah bangun.”

“Tadi sih sudah bangun. Ternyata, aku tidur lagi. Semalam begadang habis main game online, Sug. Seru banget sampai nggak terasa sudah Subuh saja.”

“Ya, ampun, Don, kamu begadang sambil ngemil begitu?”

“Ya, iyalah. Aku kalau begadang sampai pagi jelas lapar, makanya kusiapkan makanan yang cukup banyak.”

“Tapi sampai berantakan begini, Don?”

“Nanti kubereskan. Ah, untung ada kamu datang, Sug. Kamu bisa bantu aku beres-beres.”

“Enak aja, Don! Matamu itu!”

Doni tertawa. Terlihat di giginya ada sisa makanan.

Sugi duduk di dekat Doni. “Katanya kamu kemarin menolak vaksin, Don?”

“Wah, kamu masih ingat juga! Ya dong, aku akan menolak vaksin habis-habisan. Mulai dari aku sendiri, aku nggak akan sudi buat disuntik racun itu.”

“Alasanmu karena?”

“Ya, vaksin itu akan merusak kesehatan, Sug. Masa kamu nggak tahu yang begitu sih? Vaksin itu sebenarnya racun, itu akan bikin metabolisme tubuh kita jadi terganggu.”

“Hem, terus?”

“Ya, pokoknya vaksin nggak bagus buat tubuh, lah. Kesehatan kita bisa terganggu, kita bisa sakit, kita bisa jadi lemah nanti.”

Sugi mengangguk-angguk. “Sekarang aku tanya, Don.”

“Oke, silakan.”

“Kamu mengkritik vaksin karena bisa merusak kesehatan, sekarang lihat gaya hidup kamu sendiri. Kira-kira, bagus buat kesehatan atau berbahaya buat kesehatan?”

Doni melihat sekelilingnya. Aneka makanan dengan pengawet, pemanis, dan kalori yang tinggi, gula juga tidak bisa dikatakan rendah.

“Kamu lihat, aneka makananmu itu semua nggak sehat, Don!” Sugi mengambil satu buah kemasan biskuit. “Makanan begini, ini sebenarnya makanan sampah, Don. Isinya hampir semuanya tidak sehat. Racun bagi tubuh, tapi malah kamu jadikan makanan favorit.”

Lanjut Sugi, “Kamu juga jarang banget olahraga. Perutmu makin buncit. Kamu juga belum bisa berhenti merokok. Gaya hidupmu itu gaya hidup yang sangat-sangat tidak sehat, Don. Sekarang kamu mengkritik vaksin karena kamu anggap itu racun, itu merusak tubuh, itu berbahaya, nggak salah, Don?”

Lawan bicara Sugi itu tidak bisa bicara apa-apa.

“Apa yang sebenarnya kamu kritik, Don? Vaksin itu adalah usaha dari pemerintah buat menekan persebaran covid ini. Terserah kamu percaya atau tidak, tetapi nyatanya banyak yang terkena, sampai meninggal dunia, Don!”

Doni membuang pandangan dari Sugi. Menatap kulkasnya. Masih sangat banyak makanan “sampah” di sana.

“Aku aja sampai kehilangan tujuh orang temanku dari kampung, Don. Mereka semua mati karena covid. Sekarang kamu bilang, covid itu konspirasi. Covid itu nyata, Don. Kalau kebijakannya, mungkin bisa jadi konspirasi, tapi virusnya itu sendiri benar-benar ada.

“Sekarang, karena vaksin, kamu menolaknya. Sementara kamu ini petugas kesehatan, Don. Sebagian penghasilanmu berasal dari tempat kita bekerja. Kamu mengabdikan diri buat masyarakat, sekarang kamu mau jadi musuh masyarakat. Apa sebenarnya maumu, Don?”

“Begini, Sug….”

Sugi menunggu kalimat Doni berikutnya, tapi ternyata tidak ada.

“Aneh banget kamu, Don, kalau sampai menolak vaksin karena dianggap merusak kesehatanmu. Justru kamu itu harus ngaca, seberapa parah gaya hidupmu. Mana sehat-sehatnya, Don?”

Doni sedikit mengangguk-angguk. Mulai paham dia.

“Tapi, semuanya ya terserah kamu, Don. Silakan kamu anggap vaksin yang akan datang nanti sebagai musuhmu. Tapi, jangan kamu datang ke klinik, puskesmas, atau rumah sakit seandainya kamu kena covid parah, Don. Obati saja dirimu pakai biskuit, coklat, roti, atau malah rokok-rokokmu.”

Doni mengusap mulutnya. Menelan ludah.

“Sudah, gitu aja, aku mau kembali olahraga. Lari keliling satu kali lagi, baru aku pulang. Sudah dulu, Don, wassalam..”

Sugi berdiri dan berjalan menuju pintu depan. Doni memandangi punggung Sugi. Tiba-tiba muncul inspirasi begitu saja, “Tunggu aku, Sug. Aku mau juga olahraga. Aku ingin sehat, Sug. Aku tidak ingin mati muda.”

Sugi menoleh. Dia pun tersenyum.

kamis-menulis

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

20 Comments

  1. Doni jorok ya. Petugas kesehatan yang hidupnya tidak sehat. Untung Pak Rizky pintar membuaf alur ceritanya menjadikan Doni sadar pada akhirnya. He … he …

    1. Unik juga ya orang. Nggak mau vaksin karena merusak kesehatan Eh ternyata perilakunya sendiri merusak kesehatan tapi dibiarkan saja. Sug…sug…hehe ..
      Berapa lama nih pak bikin cerpennya soalnya panjang kalau aku mah bisa lama banget nih…

  2. Ternyata, sesuatu yang ditolak sudah ada di dalam tubuh dengan jenis yang lain.
    Semoga kita selalu sehat dan menjaga kesehatan.

  3. Apalagi nakes yang punya pandangan itu, jangan-jangan disuruh injeksi, cukup dengan udara saja……hehehe….ceritanya menghibung Bung Rizky salam literasi, salam sukses selalu

  4. Penyadaran akan pentingnya menjaga pola makan dengan mengaitkan proses vaksinasi. Ceritanya mencerahkan.

  5. Cerpen yg menghibur & sarat edukatif. Semoga ga ada Doni lainnya yg menganggap vaksin justru berbahaya…

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.