Namanya seorang anak, suatu saat akan menjadi besar dan dewasa. Namun, ada anak yang tetap menjadi anak-anak. Selain Upin Ipin, juga Suzan, “anaknya” Kak Ria Enes. Walah, tahun berapa ini ya?
Seperti yang kita tahu, kalau tahu sih, bahwa tugas anak-anak itu memang bermain. Lho, kok main terus? Belajarnya kapan? Ya, itu pas bermain, mereka belajar juga.
Misalnya, ketika main petak umpet, anak-anak belajar manajemen diri supaya tidak kelihatan temannya. Tentunya, tidak bisa dong pinjam jubahnya Harry Potter. Selain itu, yang lebih utama adalah belajar sosialisasi dan membangun kelompok. Kelak ketika dewasa, hal itu sangatlah berguna. Bagi orang dewasa yang susah bersosialisasi dan membangun kelompok, mungkin perlu kembali ke anak-anak dan main petak umpet, deh!
Secara psikologis, meskipun saya tahu dulu di kampus bahwa Fakultas Psikologi UGM memang kebanyakan perempuan, bahwa seorang anak itu peniru yang ulung. Mereka bisa memasukkan apa saja ke dalam pikirannya, bahkan sejak kecil sekali alias baru lahir. Bayi itu bisa merekam dengan baik. Mungkin dia belum paham kalimat yang dilontarkan orang tuanya, tetapi tetap terekam juga.
Saat anak-anak nanti menjadi dewasa, rekaman itu bisa muncul kembali. Kaset yang berisi memori bisa dikeluarkan dari kepalanya. Ini tentu bukan beneran, dari kepala keluar kaset, melainkan simbol dari memori. Otak manusia memiliki memori yang jauh lebih baik daripada memori HP. Apalagi dibandingkan HP kamu yang murah dan second lagi, halah.
Nah, jika memori dari masa kecil itu muncul lagi ketika dewasa, apa saja sih bentuknya? Memori apa saja yang akan selalu diingat oleh anak yang tumbuh dewasa itu. Yuk, kita simak satu per satu. Silakan dinikmati kopinya. Kalau tidak kopi, maka paste saja ya? Soalnya antara kopi dan paste selalu saja ada hubungannya.
Mulai dari Sini
1. Namanya Sendiri dan Keluarga
Ini adalah hal yang paling pokok pada diri seorang anak. Namanya sendiri, orang tuanya, keluarganya, akan selalu diingat sampai dewasa. Nama adalah bunyi yang paling indah pada diri seseorang. Hampir semuanya lebih peduli kepada namanya sendiri, daripada nama orang lain.
Teman kantor saya ketika akan dibagikan honor untuk pegawai honorer tertentu, terlebih dahulu bertanya jika ada daftar yang dipegang bendahara, “Ada namaku?”
Bendahara pun menggeleng, “Tidak ada.”
Nah, jadi kasihan juga ‘kan? Apakah itu karena namanya jelek? Apakah orang tuanya salah memberikan nama? Ternyata, memang kurang beruntung saja. Coba di kesempatan lain, mungkin tidak ada namanya juga, hehe..
Begitu pula nama orang tuanya. Sejak kecil, anak bisa dilatih untuk menyebutkan nama orang tuanya dengan benar. Hal itu sangat berguna jika anak tersebut kehilangan orang tuanya. Misalnya di mall, ditemukan oleh petugas keamanan alias surikiti. Anak bisa menyebutkan nama orang tuanya akan lebih membantu dalam mencari pihak keluarganya. Oleh karena itu, disarankan bagi orang tua untuk tidak usah memiliki nama yang aneh-aneh. Sewajarnya saja.
Tidak hanya orang tua, nama saudara pun akan selalu diingat sampai dewasa. Meskipun yah, bisa kita temukan, cukup banyak yang tidak bisa berjumpa secara fisik dengan saudara-saudaranya, karena faktor jarak tempat tinggal.
Kalau sudah begitu, kenangan masa kecil akan bisa muncul. Kenangan saat sesama saudara baku rebut mainan, berkelahi, salah satunya menangis, dan yang menangis itu melapor ke orang tuanya. Pihak orang tua pun bingung siapa yang salah? Lalu, muncullah lirik: Entah siapa yang salah, kutak tahu..
2. Kebersamaan dengan Orang Tua
Teman kantor saya pernah mengatakan, kalau ada perjalanan ke Kendari, anak-anak diajak saja. Sebab, nanti kalau sudah besar, dia kurang mau diajak-ajak begitu. Sekarang anak-anak saya masih kecil, yang paling besar saja baru kelas 4 SD. Paling kecil umur satu tahun lebih. Ada tiga anak laki-laki. Kalau saya ajak, mereka selalu bersemangat untuk ikut. Bahkan, hanya sekadar naik motor saja, mereka sudah suka sekali.
Kebersamaan anak dengan orang tua tidak harus jauh-jauh kok. Tidak perlu sampai berlibur dengan kapal pesiar. Memangnya mau jual rumah hanya demi berlibur dengan kapal pesiar? Nggak, lah yauw!
Mungkin bisa dengan makan bersama di warung yang tidak terlalu jauh dari rumah. Mungkin nongkrong bareng di taman kota, sambil membawa makanan dan minuman sekadarnya. Atau, harus yang paling sering adalah mengajak anak-anak ke masjid. Ini selain mewujudkan kebersamaan, juga benar-benar mengenalkan masjid yang merupakan rumah Allah kepada anak. Jika sedari kecil mereka sudah cinta masjid, maka ketika dewasa, tidak akan sulit lagi, Insya Allah.
3. Perlakuan Negatif Orang Tua Kepada Anak
Inilah yang mungkin tidak banyak disadari oleh orang tua. Perlakuan buruk kepada anak akan membekas, betul-betul membekas sampai mereka dewasa. Saya sendiri masih ingat ketika ibu saya memberi saya lombok di mulut saya gara-gara berbicara kotor. Waktu itu, memang saya berseteru dengan kakak laki-laki. Ya, memang cuma satu kakak saya. Oleh karena sangat terpancing emosi, ibu saya mengambil lombok lalu dioleskan ke mulut. Pedas sekali rasanya.
Saya tidak bilang itu perlakuan negatif atau buruk. Soalnya, ada juga hikmahnya sampai sekarang. Saya diajarkan untuk tidak berkata kotor atau menghina orang lain. Berusaha menjaga lisan ini. Meskipun saya sudah dewasa dan andaikan saya berbicara kotor lagi, ibu tidak akan memberi lombok lagi ke saya karena beliau berdomisili jauh di Jogja, sementara saya di Sulawesi Tenggara. Namun, pengajarannya cukup membekas di hati saya.
Jika ada orang tua yang suka memukul anaknya, maka itu lebih lagi. Luka fisik pada tubuh anak menembus sampai ke hatinya, menyebabkan sakit hati yang bertubi-tubi. Luka fisik sih akan mudah sembuh. Tinggal diberikan obat merah atau antiluka, tetapi luka di hati? Menyembuhkannya sangat-sangat tidak gampang.
Meskipun anak-anak dimarahi, dikasari, dicela, sampai dipukul oleh orang tuanya, tetapi lihatlah sebentar nanti. Mereka akan mudah kembali kepada orang tuanya. Kembali tersenyum, kembali tertawa bersama orang tuanya, seakan-akan tidak ada masalah barusan. Coba, hati anak-anak seluas itu, semulia itu, apakah orang tuanya sanggup begitu? Mungkin masing-masing orang tua yang bisa menjawabnya.
4. Cara Memperlakukan Pasangan
Ini yang akan diingat anak sampai dewasa, yaitu: relasi antara kedua orang tuanya. Bagaimana ayah memperlakukan ibunya dan begitu pula sebaliknya. Apakah ayahnya memanggil ibunya dengan panggilan, “Sayang”, “Honey”, atau yang lain? Begitu pula ibunya memanggil ayahnya dengan sebutan, “Kanda”, “My love”, “Cintaku”, atau yang lainnya.
Dari relasi kedua orang tuanya, mereka akan belajar sampai nanti dewasa dan menikah. Kalau orang tuanya sering bertengkar, jangan-jangan nanti akan sering bertengkar juga? Apalagi jika luka masa lalu dengan orang tua belum sembuh, akhirnya dibawa sampai ke dalam pernikahan. Sekarang ditumpahkan kepada istrinya. Hem, istri pun bisa membalas perlakuan suami yang buruk.
Pada dasarnya, ketika orang tuanya bertikai, anak-anak ingin menghindar. Mungkin dia ingin lari dari rumahnya sendiri, tetapi mau kemana? Sementara dia tidak sanggup untuk tinggal jauh dari orang tua. Jadi, dari situ, yang tertekan semuanya. Pihak ayah yang memulai serangan, istri yang menerima serangan, anak yang kena getahnya. Memangnya setelah marah-marah, si ayah akan merasa puas begitu? Saya rasa kok tidak ya. Batinnya akan terluka juga. Masa orang-orang yang disayanginya diperlakukan seperti itu?
5. Lokasi Rumah Orang Tuanya Hingga Kakek dan Nenek
Mulai dari sebelum lahir, menjadi bayi oek-oek, mulai tumbuh besar, sampai mungkin remaja atau dewasa, anak-anak tinggal di rumah orang tuanya. Hal yang menjadi fokus di sini adalah rumah sendiri yang dimiliki orang tua. Kalau rumah kontrakan maupun kost-kostan, mungkin akan sering berpindah. Apalagi rumahnya di dalam gua. Lho, ini kok malah bahas manusia purba?
Saya merasa sedih karena nenek saya sudah meninggal. Beliau adalah ibu dari bapak saya. Hampir tiap lebaran, kami sekeluarga ke sana, ke daerah Grobogan, Jawa Tengah. Sementara saya waktu itu tinggal di Jogja. Perjalanan yah memakan waktu sekitar empat jam. Sementara, selama empat jam itu, saya lupa memakan apa saja? Mungkin kamu tahu?
Kini, rumah itu sudah tidak lagi berbentuk. Sudah dibongkar semua. Sisa rumah dan tanahnya sudah dijual dan dibagi-bagi sebagai warisan. Rumah papan yang berisi, sebentar, 8 kamar tidur. Anak nenek saya ada 9 orang. Biasanya, saya dan beberapa sepupu tidur di depan TV. Saat itu, asyik sekali, ketika saya masih remaja, masih imut-imut, sekarang amit-amit, berkumpul dengan keluarga dari jauh. Ada yang dari Jakarta, Demak, Bandung, bahkan yang lebih jauh lagi dari Pontianak dan Kendari, Sulawesi Tenggara. Pada kota terakhir itulah, saya tinggal sekarang. Sebenarnya masih tiga atau empat jam sih dari Kendari.
Agak sedih dan terharu juga waktu ada video di TikTok, seorang gadis yang membuat video tentang kondisi rumah orang tuanya yang sangat sepi. Dulunya mungkin ramai keluarga berkumpul, tetapi kondisinya sekarang tidak lagi seperti itu. Untuk berkumpul, mungkin membutuhkan perjuangan yang lebih berat. Sebab, faktor utama tentu saja biaya. Seperti saya dengan istri dan tiga anak, jika mau mudik ke Jogja, hitungan kasar bisa menghabiskan uang 20 juta rupiah lho! Meskipun begitu, yang namanya silaturahmi tetap lebih mahal daripada sekadar nilai uang, ya ‘kan?
Rumah yang diingat dari kecil hingga dewasa juga punya makna lain. Pada intinya, sejauh apapun seorang anak pergi merantau, tetap ada kerinduan untuk pulang dan menikmati lagi rumah yang dulu. Mungkin di tempat tinggalnya sekarang, rumahnya sudah megah dan mewah, tetapi lebih plong rasanya menyempatkan hadir di rumah orang tuanya, tempat dia tumbuh menjadi besar.
Bagi kamu yang mudah untuk ke rumah orang tua, bersyukurlah. Sebab, masih banyak anak yang ingin pulang kampung, tetapi terkendala segala macam. Belum tentu tiap tahun datang, ketersediaan dana pun belum tentu juga tiap tahun.
Yang Berikutnya
Saat kita kecil, kita ingat dengan segala kenangan masa lalu yang indah bersama orang tua. Nah, sekarang, apa yang mau kita jadikan kenangan indah juga buat anak-anak kita? Apakah hal yang baik ataukah buruk? Apakah dalam hati anak tersimpan perasaan bahagia selalu dengan orang tuanya ataukah muncul rasa dendam akibat sering dimarahi?
Hanyalah kita yang bisa menjawabnya. Tidak ada tiga pilihan bantuan di sini, karena ini bukanlah kuis Who Wants to be A Milionaire. Namun, jika kita bisa menang, maka rasanya lebih puas daripada mendapatkan uang banyak. Sebab, itulah karunia. Dan, ada karunia yang lebih bagus lagi, yaitu: Karunia Rahman, nama tengah dan terakhir saya, halah!
MasyaALLOH, selalu dibuat tersenyum ketika baca tulisan Mas Risky. Betul banget, masih terus belajar menjadi orang tua yang baik.
Benar banget mas Rizky .saya yang paling diingat sampai saat ini semuanya. Termasuk perlakuan negatif orang tua.. tapi kadang kita juga tanpa sadar memperlakukan hal yang sama ke anak.. ya Allah.. reminder banget
Benar banget mas Rizky .saya yang paling diingat sampai saat ini semuanya. Termasuk perlakuan negatif orang tua.. tapi kadang kita juga tanpa sadar memperlakukan hal yang sama ke anak.. ya Allah.. reminder banget buat saya ini.. biar bisa mengontrol diri
Ya, kita berusaha untuk menghentikan mata rantai itu, agar tidak terus mengalir emosi itu sampai ke anak cucu.
Benar banget mas Rizky .saya yang paling diingat sampai saat ini semuanya. Termasuk perlakuan negatif orang tua.. tapi kadang kita juga tanpa sadar memperlakukan hal yang sama ke anak.. ya Allah.. reminder banget buat saya ini.. biar bisa mengontrol diri sebagai orang tua.
Bener mas. Ini adalah kenangan yg selalu diingat anak. Anak peniru ulung Krn mrk bisa menyimpan memori terkelam sekalipun secara implisit. Dan semuanya bisa kembali dilakukan oleh anak versi dewasa ketik triggernya muncul.
Saya sendiri, baru saja menyadari memori2 tak menyenangkan itu ktk sudah menjadi ibu. Ketika ada trigger, mulai melakukan hal yg Kelam dan ketika sadar saya nangis sendiri. Perlahan mulai belajar memaafkan dan menyembuhkan hati. Belajar jadi ibu yg baik meski baru sadar bahwa diri sendiri adalah pribadi yg pecah belah setelah sudah menjadi ibu. Terim kasih sudah menuliskan hal ini, jadi pelajaran buat saya agar bs membersamai anak dengan kenangan2 indah agar selalu bisa ia ingat ketika besar nanti.
Terima kasih juga Mbak, sudah berkunjung dan komentar di blog saya.
Betul sekali… 5 hal yang selalu di ingat seirang anak. Tentuk kita semua mengalaminya dan berharap hal negatif apa yang menimpa kita tidak lagi menimpa anak-anak kita. Leb8h berhati-hayi dalan bertindak dan berkata bersikap..karena apa yg kita lakukan dapat di terima dengan mudah oleh anak kita.