Apakah benar menulis modal kepepet itu bisa sukses? Tulisan berikut akan mencoba menjelaskannya.
Saya pernah membaca sebuah buku bisnis. Judulnya The Power of Kepepet karangan Jaya Setiabudi. Buku yang cukup asyik dibaca. Tipis, tetapi tidak terlalu tebal. Ya, iyalah.
Leha-leha
Seorang penulis esai bernama Iqbal Aji Daryono, pernah mengatakan dalam satu videonya, bahwa budaya yang ada sekarang di masyarakat adalah ongkang-ongkang. Dalam kata yang lain adalah budaya santai, tetapi tetap bisa menghasilkan duit.
Lho, caranya bagaimana?
Menjadi pegawai. Itulah jawabannya. Lebih tepatnya menjadi PNS. Ini persepsi yang banyak menghampiri orang, tentu termasuk warganet.
Mereka masih melihat seorang PNS itu pekerjaannya santai sekali. Datang terlambat boleh, pulang lebih cepat pun tidak masalah.
Meskipun ada yang begitu, tetapi jangan disamaratakan semua ya! Sebab, ada pula PNS yang bisa sangat sibuk, meski tidak semua momen.
Ambil contoh, PNS di bagian keuangan. Mungkin tiap akhir semester atau tahun, dia akan sangat sibuk mempersiapkan laporan pertanggungjawaban alias LPJ itu. LPJ itu bukan sejenis tabung gas yang dipakai di dapur!
Begitu pula PNS di bagian perhubungan. Akan sangat sibuk ketika momen mobilitas orang dalam jumlah besar. Contohnya: lebaran. Banyak dari instansi tersebut yang tidak bisa ikut mudik. Sebab, mesti menjalani panggilan tugas.
Ada lagi, PNS di KPU. Ini juga bisa sangat sibuk, ketika pemilihan berlangsung. Bisa hampir 24 jam berada di kantor. Tidur kurang, pokoknya kerja terus, sampai nanti pemilihan itu selesai.
Namun, ketika momen tidak sibuk, bagaimana? Ya, namanya saja tidak sibuk, pastilah lebih banyak waktu santai. Mungkin dengan baca koran, nonton TV, atau main HP.
Efeknya?
Saat orientasi orang untuk bekerja dengan santai dan tidak perlu mengeluarkan banyak keringat, maka untuk pekerjaan-pekerjaan “kasar”, tidak akan tertarik. Pekerjaan yang miris dan bisa terancam “punah” adalah bertani.
Coba kita bayangkan! Coba kita amati! Petani yang ada sekarang lebih banyak berusia tua. Butuh yang namanya regenerasi.
Nah, anehnya, mereka tidak mau menjadikan anak-anaknya menjadi petani. Penghasilan sebagai petani sangatlah kecil. Perjuangan untuk menjaga tanaman hingga panen, terkadang tidak mendapatkan hasil yang menggembirakan.
Apalagi ketika pemerintah menggelontorkan kebijakan impor. Hasil-hasil pertanian menjadi sangat murah. Simak saja berita-berita online yang ada. Banyak kok petani yang rugi.
Ketika rugi begitu, pastilah kasihan dengan diri dan keluarga. Mau makan apa? Mau dapat uang dari mana? Sementara bisa jadi mereka sudah meminjam uang ke tengkulak untuk modal awal bertani.
Sungguh tidak gampang memelihara komoditas pertanian. Godaan dan serangan untuk gagal tidak sedikit. Pasrahnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala haruslah tinggi. Sebab, hanya Allah tempat bergantung yang utama.
Sampai di sini, kita ini mau ngomong apa sih?
Ya, benar! Saya sendiri kalau bercerita lewat tulisan bisa mengarah ke mana-mana. Apakah itu tandanya tidak setia? Halah…
Ketika Kepepet dan Menjadikan yang Tidak Kepepet Menjadi Kepepet
Maaf, kepepet itu artinya terdesak. Berasal dari kata dalam bahasa Jawa. Kepepet beda dengan babi ngepet. Meskipun ada pula orang yang karena kepepet, larinya ke babi ngepet. Hehe…
Dalam buku The Power of Kepepet di atas, dari yang awalnya kepepet, orang jadi terdorong untuk buka bisnis. Contohnya, susu anak habis, beras sudah tidak ada meski cuma sebutir, air galon tidak ada setetes pun, dan lain sebagainya.
Padahal, hidup harus terus berjalan. The life must goes on, guys! Kalau sudah kondisi begitu, maka akan terdorong semangat dan motivasi yang luar biasa untuk cari duit. Asal tetap halal lho.
Sudah banyak contoh orang kepepet, ujung-ujungnya jadi pengusaha sukses. Jan Koum, berasal dari keluarga miskin. Perjuangannya berat karena kondisi tidak berdaya seperti itu.
Namun, kini, siapa yang tidak kenal? Eh, masih tidak kenal juga ya? Dia adalah penemu aplikasi hijau terpopuler sedunia. Whatsapp.
Yak, aplikasi yang kita gunakan sehari-hari. Termasuk dalam pelatihan atau belajar menulis bersama Om Jay dan PB PGRI kali ini, yang ke-20 lho!
Bagaimana bannernya? Ini dia jawaban dari pertanyaan barusan!
Dalam pemaparan materi seperti biasa, pada Rabu (18/11), Eva Hariyati mengungkapkan keberhasilannya bisa membuat buku hanya dalam waktu sepekan alias tujuh hari saja.
Hal itu memang fantastis. Sebab, rata-rata orang menulis buku bisa lebih dari sebulan. Ini cuma tujuh hari, bagaimana itu cara membagi waktunya ya?
Namun, begitulah. Dari narasumber yang satu ini, ternyata yang dianggap kepepet karena waktu yang singkat itu, berhasil dilaluinya dengan sangat berhasil. Bukunya terbit di penerbit mayor. Tambah lagi luar biasa!
Lalu, apakah kita juga mesti membuatnya jadi kepepet? Misalnya, ikut lomba menulis. Sudah diberikan waktu selama dua bulan, tetapi ditunda nanti-nanti, akhirnya betul-betul waktu sempit menuju deadline.
Kepepet seperti itu jelas negatif. Seperti banyak mahasiswa atau murid yang menerapkan belajar sistem SKS alias Sistem Kebut Semalam.
Awalnya, ‘kan beberapa pekan ada waktu longgar untuk belajar. Eh, baru menjelang ujian, satu malam belajar dengan materi satu semester.
Bagaimana Caranya?
Meskipun dalam kondisi yang tidak kepepet seperti sekarang, Alhamdulillah, tetapi bisa kok dijadikan motivasi untuk maju, seandainya betul-betul kepepet.
Siapa sangka banyak karyawan swasta yang dahulunya nyaman bekerja tiap hari, gara-gara corona, dipecat. Siapa yang bisa bayangkan akan terjadi PHK besar-besaran?
Kondisi seperti itu termasuk kepepet. Kalau kita ingin sukses, tidak harus sampai seperti itu. Namun, seandainya betul-betul terjadi, apa yang akan kita lakukan?
Melalui jalan menulis, rasa kepepet itu bisa dicegah. Caranya, ya, teruslah menulis. Seperti yang dikatakan oleh Om Jay, menulis setiap hari, maka tunggulah hasilnya.
Jika lewat jalur menulis, peluang untuk tidak kepepet di kemudian hari akan cukup besar. Para penulis masih mendapatkan tempat yang cukup layak di negara ini, meskipun minat baca masih rendah.
Buku-buku yang sudah diterbitkan bisa mendatangkan royalti dan itu termasuk penghasilan passive income. Selain itu, dari buku bisa berkembang menjadi pembicara publik maupun motivator.
Pertanyaannya sekarang, apakah langsung sukses seperti itu?
Oh, tentu tidak, Rudolfo, Pulgoso. Semuanya butuh proses. Jalani saja prosesnya.
Dan, ingat, kepepet bisa ditanamkan di dalam pikiran. Bagaimana masa depanku nanti? Bagaimana istri dan anak-anak? Bagaimana kondisi keuangan di masa depan?
Buatlah seolah-olah kepepet itu benar-benar terjadi. Lalu, jadikan sebagai motivasi untuk sukses. Oke?
Membayangkan kepepet pak ketua,, sukses selalu
Oke, Pak, sukses juga sama-sama.
Fantantis atau fantastis, sih, Pak Ketua? 😱
Lebih enak Fanta strawberyy, Pak. Hehe…
Makasih koreksinya. Salah tulis tadi. Fantastis memang!
Hahaha… keren ide gagasannya, ok kepepetnya dibuat sendiri dg target. Tp masalahnya koq susah untuk disiplin sama keputusan sendiri. Karena gak tega menghukum diri, jadinya ya gak ada punishment diri hehe..
Kalau ini, kayaknya butuh bantuan orang lain, deh, bila merasa diri sendiri susah.