Menangis, Membayangkan

Menangis, Membayangkan

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Kata siapa laki-laki tidak boleh menangis? Ini bukan anak laki-laki lho, melainkan laki-laki dewasa. Sekali lagi, kata siapa?

Mungkin kita pernah melihat dengan mata kepala sendiri, bukan pinjaman, bahwa ada anak laki-laki yang menangis karena jatuh. Bisa jadi, dia sedang berlari kencang. Mengejar temannya atau malah dikejar, terus jatuh ke tanah. Pastilah kotor, karena tanah ‘kan tidak pernah dipel. Ya ‘kan?

Kalau jatuh terjerembab, berarti dadanya yang menghadap ke tanah. Posisi begitu, siku dan lutut yang paling kena dampaknya. Mungkin akan tergores kulitnya. Ke luar darahnya. Dan, tentunya anak laki-laki tersebut menangis.

Yang Dilakukan Orang Tua?

Jika di dalam rumah, anak laki-laki menghantam meja, maka ada orang tua yang malah memukul si meja.

“Dasar meja kamu nakal! Bikin Rifai jadi nangis ‘kan. Cup, cup, Rifai anakku sayang..”

Kira-kira seperti itulah. Terserah apakah namanya Rifai atau Rafia, suka-suka yang kasih nama.

Dicermati lebih dalam, menyalahkan benda mati yang tidak salah apa-apa, menurut kamu sendiri, bagus apa tidak? Bukankah yang salah sebenarnya adalah si anak? Salah sendiri lari-lari di dalam rumah. Memangnya rumah itu seluas lapangan bola jadi bisa berlari bebas? Kan tidak toh? Rumah ya begitu adanya. Tidak terlalu luas, juga tidak terlalu sempit. Kalau kondisi begini, maka tidak ada yang lain, ucapkan saja: “Alhamdulillah.”

Orang tua yang menyalahkan benda mati, berarti melemparkan tanggung jawab itu kepada yang bukan pelakunya. Masa benda mati seperti meja disalahkan? Namanya saja benda mati. Tidak tahu apakah di malam hari bergerak sendiri seperti rekaman di CCTV, itu lain persoalan juga.

Jika anak yang dibela, lalu mejanya yang salah, itu mendidik si anak untuk selalu menyalahkan sesuatu di luar dirinya. Bisa itu orang lain, keadaan sosial, ekonomi, bahkan Allah pun bisa disalahkan. Naudzubillah min dzalik.

Semestinya, orang tua mengatakan seperti ini saja, “Nak Rifai, lain kali hati-hati ya? Kalau mau lari, lihat-lihat dulu ya!”

Kan lebih enak. Ya ‘kan? Anak tidak disalahkan, meja tidak disalahkan, lantai tidak disalahkan, yang menulis ini juga tidak disalahkan. Lho, salah apa saya?

Saat Anak Laki-laki Menangis

Ada seorang bapak mengemudi mobil. Jenis mobil tersebut adalah mobil dinas, rodanya empat juga. Dalam perjalanan ke tempat tinggalnya, dari ibukota provinsi, kedua anak laki-lakinya menangis. Berkelahi dan ribut. Cukup keras dan terasa sangat mengganggu.

Oleh karena sedang konsentrasi mengemudi, bapak tersebut merasa jengkel, marah dan muntab. Bukan muntaber lho ya. Dia menyuruh kedua anaknya diam, “Diam!!!! Diam!!! Bisa diam nggak???!!!!”

Seperti itulah membentaknya. Istrinya juga kaget, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa juga karena suaminya memang terkenal kejam, apalagi di tangannya sering terpasang jam tangan. Apa hubungannya coba antara kejam dan jam?

Kedua anak itu langsung diam. Bagaimana tidak diam, dibentak bapaknya dengan keras?! Mereka diam dengan terpaksa. Masih menangis sesenggukan. Sebenarnya belum tuntas menangisnya, tetapi sudah disetop oleh si bapak. Dasar si bapak, main setop aja! Memangnya polantas?

Mobil memang jadi tenang. Melajunya juga lebih tidak terganggu. Bapaknya bisa memainkan kemudi, rem, gas dan kopling dengan lebih leluasa. Namun, kondisi batin kedua anak tersebut pastilah campur aduk. Perasaannya belum bisa dituntaskan. Masih ingin menangis, tetapi ruang dan waktu untuk melakukan itu tidak ada lagi.

Begitulah keadaan yang dialami oleh banyak anak laki-laki. Bahkan mungkin di setiap keluarga kita. Anak laki-laki diposisikan tidak boleh banyak menangis. Kalau harus menangis, sebentar saja. Selebihnya, harus diam!

Padahal, Punya Juga

Sungguh tersiksa, perasaan ingin menangis, tetapi ditahan dan tidak diberikan kesempatan. Padahal, laki-laki juga memiliki kelenjar air mata, lho! Mau itu anak laki-laki, atau laki-laki dewasa, punya semua. Perempuan juga sama. Nah, kalau sama-sama memiliki kelenjar yang tugasnya mengeluarkan air mata, lalu kenapa laki-laki dibatasi dan perempuan tidak?

Anak perempuan dibiarkan menangis. Perempuan dewasa juga boleh menangis lama dan keras. Namun, laki-laki tidak seperti itu. Jika menangis, maka menangis saja dalam hati. Tunggu, kalau menangis dalam hati, berarti dada laki-laki itu jadi basah dong? Benar tidak? Hem, iya juga ya? Hehe…

Tidak enaknya jadi laki-laki bila begitu. Menangis tidak boleh, dilarang, karena memang dipersepsikan laki-laki itu harus kuat. Harus setrong. Tegar menghadapi kenyataan, meskipun pahit. Menangis adalah simbol kelemahan. Simbol perempuan. Dan, tentunya simbol cengeng. Masa laki-laki cengeng?

Visi Misi

Sekarang kita beralih ke visi misi. Lho, Mas, mau debat kandidat? Tidak perlu, terlebih kalau diperdebatkan adalah bubur ayam pakai diaduk atau tidak? Itu sungguh perdebatan yang kurang relevan, terlebih di masa pandemi ini. Terus, yang benar bagaimana? Yang benar bubur ayam itu bayarnya sendiri atau sekalian teman juga dibayarkan? Nah, itu lebih pas dan cocok.

Melihat segala jenis pemilihan, mau itu Pemilu, pilkada, pilkades, mestilah visi misi ini dicantumkan. Untuk apa? Meskipun sudah pada tahu bahwa visi misi itu biasanya tidak sesuai kenyataan setelah terpilih nanti atau dilupakan, setidaknya itu menjadi target dan rencana ke depan. Tidak mungkin bukan ada rencana ke belakang atau merencanakan masa lalu?

Visi misi juga perlu ada pada setiap keluarga. Dan, orang yang pantas untuk membawa visi misi itu adalah sang kepala keluarga. Siapa lagi kalau bukan sosok ayah, sosok abi, sosok bapak? Ketiga sosok itulah yang pantas. Eh, tunggu! Ketiga sosok? Bukannya sama semua itu, Mas? Oh, ya! Tepuk jidat dulu ya!

Apa sih visi misi yang benar dari seorang ayah itu? Apakah membawa anaknya kuliah setinggi-tingginya? Hingga jenjang S3 misalnya? Atau menjadikan anaknya sebagai pejabat? Atau membuat mereka jadi pengusaha sukses? Ternyata bukan itu. Lalu apa dong?

Rupanya, visi misi seorang ayah itu sebenarnya tercantum dalam Al-Qur’an, pada surah At-Tahrim ayat 6:

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Di situ disebutkan tentang memelihara diri dan keluarga. Definisi keluarga itu ada ayah, ibu dan anak-anak. Menyelamatkan diri si ayah dan keluarganya dari api neraka adalah tugas berat, bahkan sangat berat di dunia dan akhirat.

Kondisi yang Ada

Tugas super berat itu tidak setiap ayah mampu menjalankannya. Buktinya, masih banyak ayah yang posisinya seperti anak. Contohnya: bermain game online.

Lho, apakah itu terlarang? Banyak lho yang mengatakan bahwa ayah bermain game itu tidak cocok blas. Sangat tidak cocok. Dunia bermain adalah dunia anak-anak. Kalau ayah mengambil dunia anak-anak, lalu anak-anak harus mengambil dunia apa dong? Masa dunia lain yang notabene uka-uka itu?

Miris juga. Masih sangat banyak ayah yang tidak mendidik anaknya dengan agama. Ayahnya perokok, cuek, hobi keluyuran, dan lain sebagainya. Pokoknya tidak mencerminkan ayah yang baik dan benar.

Ayah yang seperti itu akan ditiru oleh anak-anaknya. Namanya juga anak-anak, pastilah dia peniru yang ulung.

Ada juga ayah yang sadar dengan masa depan anaknya. Eits, masa depan itu tidak cuma di dunia lho! Masa depan di dunia itu hanyalah kematian. Namun, ini adalah masa depan sekali. Jauh melampaui Yamaha yang mengaku semakin di depan.

Ayah yang sadar tersebut, dia tahu tidak bisa memberikan ilmu agama Islam yang banyak kepada anak-anaknya, makanya dia memasukkan mereka ke pesantren. Ada kejadian nyata. Anaknya yang sudah menjadi santri rajin sholat berjamaah ketika berkumpul dengan keluarganya di rumah. Eh, lama-kelamaan bapaknya ikut sholat berjamaah juga. Dahulunya malas luar biasa. Masa orang tua kalah sama anak sih?

Momen Itu yang Mesti Menangis

Beratnya tugas dan tanggung jawab ayah terhadap keluarganya semestinya membuat dia menangis. Bukan karena tanda cengeng, tetapi menyadari bahwa dia mengemban amanah yang sangat besar. Apakah mampu dipikulnya sendiri? Apakah mampu dilakukannya selama dia hidup di dunia?

Sangat tidak wajar jika laki-laki yang sudah menjadi ayah, lalu dia tidak boleh menangis, harus tegar, padahal aslinya itu ditegar-tegarkan. By the way, Tegar adalah nama teman saya dahulu di satu fakultas. Kamu kenal tidak? Edeh, masih juga promosi nama teman!

Dalam kesendirian, ada seorang ayah yang menangis. Betul-betul menangis tersedu-sedu. Saat rumahnya sepi, istri dan anak-anaknya di rumah orang tuanya, berarti mertua bagi laki-laki tersebut, dia menangis karena teringat perlakuan buruk terhadap anggota keluarganya sendiri. Ayah tersebut pernah berlaku kasar kepada istrinya. Pernah menghinanya. Bahkan pernah menjadikan istrinya sansak tinju. Subhanallah. Sampai segitunya.

Dia makin menangis karena teringat nanti di akhirat, istrinya bisa menuntut balas. Apalagi kalau bukan dibalas dengan pahala suaminya? Jika pahala suaminya sudah habis, sementara kesalahannya masih ada, dosa si istri ditanggung oleh suami. Diberikan kepada suaminya. Subhanallah. Naudzubillah min dzalik.

Mengerikan juga ya jadi laki-laki? Ya, bisa dikatakan begitu. Diri sendiri saja belum tentu lolos dari neraka, apalagi ini bertugas untuk menyelamatkan istri dan anak-anaknya dari api neraka.

Kesimpulan

Menangis, membayangkan. Menangis saat membayangkan satu keluarga reuni di akhirat, tetapi di neraka! Berkumpul dengan kesalahannya. Mungkin si ayah karena tidak sholat. Ibunya masuk karena tidak menutup aurat dengan sempurna. Anaknya masuk karena berbuat zina. Subhanallah. Sangat-sangat mengerikan.

Jadi, menangis boleh bagi laki-laki. Boleh-boleh saja, tetapi alangkah lebih bagusnya jika disembunyikan saja dari penglihatan manusia. Misalnya, bangun di sepertiga malam. Menangis sepuas-puasnya di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mencurahkan segala beban sebagai pembawa amanah pembebas dari api neraka untuk diri dan keluarganya.

Mengapa lebih bagus disembunyikan saja? Selain agar laki-laki itu terlihat tegar betul, juga untuk menjadi amalan hati saja. Biarlah menjadi rahasia antara dirinya dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jangan sampai nanti dilihat orang, lalu orang itu berkata, “Wuih, ini laki-laki yang sholeh karena dia sering terlihat menangis!”

Susah menjaga hati kalau kalimat itu yang muncul.

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

16 Comments

  1. Laki² ga boleh nangis. Aku pernah 2X sih liat cowok dewasa nangis. Bisa inget, saking jarangnya yah. Pertama, suami, waktu ayahnya wafat. Kedua, teman cowok, sammma…dpt berita ayahnya wafat. Waktu itu kami perjalanan dinas. Yawda…tersedu-sedu aja nangis…😭😭…
    Benernya sih soalnya menyalahkan benda, ga berlaku u cowok aja. Cewek juga ga boleh nangis kalo kejar²an ama kakak cowok trus kena meja. Paling yg disalahin kakak cowok. Kenapa ngajak adek cewek lari²an…
    🤣🤣

    1. Kemarin juga ada acara, santri laki-laki membaca puisi tentang ibunya. Sebenarnya dari lirik-liriknya, sedih dan bikin terharu. Apalagi santri tersebut tentu juga merasa rindu bertemu dengan orang tua. Suaranya agak terbata-bata.Tapi toh tetap tidak meneteskan air mata juga.

  2. Sudah jadi kebiasaan Mas, kalo anak yang jatoh atau kejedod, yang jadi sasarannya kalo nggak kodok atau cicak. Padahal kedua hewan tersebut gak lagi do TKP. Mereka berdua lagi keliling cari nafkah. Si cicak nyari lalat atau nyamuk atau laron. Sedangkan si kodok lagi lagi ngumpulin massa untuk demo.

    Jadi mulai dari hal kecil ini, sebaiknya dihindari. Jangan menyalahkan keadaan dan nyari kambing hitam. Introspeksi diri lah intinya

  3. Membaca artikel di atas kayak lagi baca cerita humor…udah tahu jugalah mas kalo mobil rodanya empat hehe… nah, kalo saya sendiri kok malah gak pernah nangis ya dalam tahun 2020 ini dari Januari s/d Desember… hehehe 🙂 bawaannya gak bisa aja nangis…aneh ya?

  4. Saya bingung mau komentar apa. Sepakat dengan komentar-komentar teman sebelumnya aja yah. Menangis mgkin sah sah saja jika memang sudah tak terbendung

    1. Mau bagaimana lagi, usaha lain mungkin sudah maksimal, hasilnya belum bisa diharapkan. Menangis mungkin jadi pilihan terbaik.

  5. Saya seorang ibu yang mengijinkan anak-anak saya menangis (kebetulan laki-laki semua) jika memang harus menangis. Tapi memang jangan diumbar nangisnya. Ahhh… saya jadi terharu ingat saat nemenin anak saya yang harus menangis 🙁
    Anyway, makasih banyak buat sharingnya. Penyampaiannya santai tapi mengena. 🙂

  6. Rasanya emang pingin nangis terus, Mas, kl membayangkan reunian keluarga malah di neraka, na’udzubillahi min dzalik. Jangan sampai ya mintanya… wong sama saudara/i fillah aja kita inginnya bertetangga di surga kok ya, apalagi keluarga sendiri, huhuuu

    1. Bener, Mbak, mengerikan kalau berakhirnya di sana nanti. Jauh lebih buruk daripada semua tempat yang buruk. Berdoa dan berharap semua semoga kita dan keluarga bisa masuk surga. Aamiin.

  7. Menangis itu melembutkan hati. Anak laki-laki tidak apa menangis, tapi perlu diperhatikan alasan menangisnya apa. Apa karena tidak dapat pinjam hape orangtuanya, atau menangis karena terlanjur membentak kedua orang tuanya dan sebagainya

  8. Masih mending salahkan benda mati, lah ada tetangga justru salahkan bapaknya.
    “Uh sayang, kamu jatuh ya. Salahnya bapak ya sayang? Ayo balas bapak.” Dan, itu sukses membuatku jengkel sama ibunya.

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.