Cerita Santri Al-Wahdah Bombana (Ildiansyah): Demi Bakti Kepada Orang Tua

Cerita Santri Al-Wahdah Bombana (Ildiansyah): Demi Bakti Kepada Orang Tua

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Perkenalkan, namaku Ildiansyah. Orang-orang sering memanggilku Ildi. Aku tinggal di Hombes, dekat dengan sekolah yang bernama Muhammadiyah.

Aku menuntut ilmu di sekolah itu mulai dari TK, SD, hingga SMP. Saat lulus dari SMP, aku ingin lanjut ke SMK karena sahabat-sahabatku juga ke sana.

Tapi nih, heh! Takdir mengatakan hal lain. Keinginanku cuma jadi impian yang tidak akan terwujud. Orang tua ingin aku masuk ke pesantren karena aku sangat malas sholat. Jika sholat pun hanya Maghrib, Isya, dan Jum’at.

***

Saat aku berada di ruang tamu, di tengah pembicaraan mengenai lanjut sekolah umum atau mondok di pesantren.

“Kalau sekolah di SMK, rajin mi ka sholat nanti.” Kataku.

“Seandainya dari dulu rajin sholatnya,” ujar bapakku.

“Tidak terlalu tahun ka itu membaca Al-Qur’an.”

Mamaku datang, dia mengatakan, “Tidak apa-apa ji itu. Yang penting tahu mi sedikit membaca Al-Qur’annya.”

Bapakku menambahkan, “Nanti bisa ji itu lancar membaca Al-Qur’annya kalau sudah di pesantren.”

Beberapa lama berdebat, akhirnya bapakku terlihat jengkel dengan berbagai alasanku.

“Yang mana pilih sekolah atau tidak? Kalau tidak mau mi sekolah, langsung saja menikah!” Bapakku pakai nada tinggi.

Aku terkejut. “Siapa juga yang mau menikah? Masih mau ka sekolah merasakan manisnya masa-masa di sekolah.”

“Oke mi kalau begitu. Sekolah mi di pesantren!” Bapakku tersenyum, tetapi senyumannya membuatku tidak enak ketika kulihat.

Aku mengalah. “Oke, sekolah saja di pesantren daripada berhenti sekolah baru menikah.”

***

Beberapa bulan kemudian, setelah aku dan sahabat-sahabatku mengambil raport, kami berfoto bersama guru-guru untuk kenang-kenangan kelulusan. Teman-teman merayakan kelulusan dengan mewarnai baju sekolah yang berwarna putih. Mereka mewarnainya dengan pilox warna. Namun, aku tidak ikut. Aku langsung saja pulang meninggalkan mereka.

Dari kejauhan, aku melihat teman-teman bersenang-senang di depan pagar sekolah. Mamaku bertanya, “Kenapa tidak ikut mewarnai baju putihmu itu sana? Teman-temanmu kelihatan senang sekali.”

Jawabku, “Bikin kotor-kotor baju saja. Ditambah malas ka juga.”

Mama mengatakan dengan nada pelan, “Ohh, terserah kau saja kalau tidak mau.”

Teman-temanku selesai mewarnai baju. Mereka langsung pergi meninggalkan sekolah. Aku pun pergi tidur di kamarku.

***

Aku pergi mendaftar ke Pondok Pesantren Al-Wahdah. Tanpa kuduga, pondok pesantren itu dekat dengan Hombes. Hanya butuh beberapa menit saja untuk pergi ke sana. Pondok itu berada di sekitar Kasipute, daerah yang berdekatan dengan Hombes.

Ketika sudah sampai, ternyata ada tes masuknya. Banyak orang yang ingin mendaftar juga. Aku masuk lewat pintu gerbang bersama adik perempuan. Saat aku masuk, ada seorang ustadz yeng menghampiri kami dan aku ditunjukkan tempat tesnya. Aku ditemani oleh bapak, sedangkan adikku ditemani oleh mama pergi ke tempat tes khusus akhwat.

Aku duduk di luar ruangan tes bersama bapak dan peserta lainnya. Nomor antrianku 9, satu persatu dipanggil masuk. Akhirnya, giliranku pun tiba. Aku melihat ada satu ustadz yang sedang duduk sambil tersenyum. Wajahnya yang berseri-berseri tampak ketika mempersilakan aku untuk duduk.

Beberapa pertanyaan diberikan kepadaku. Disuruh juga membaca Al-Qur’an. Aku bisa menjawab semua pertanyaan, tetapi ketika membaca Al-Qur’an, kurasa banyak salah dalam penyebutan huruf-hurufnya. Ustadz itu cuma tersenyum, lalu mengatakan, “Ya, bagus. Sekarang boleh mi ki keluar.”

Aku dan bapak menunggu adik dan mama. Begitu mereka berdua datang, kami pun pulang. Kami tinggal menunggu hasilnya.

Berhari-hari, aku mendapatkan kabar bahwa aku lulus! Boleh masuk minggu depan. Orang tuaku terlihat senang. Aku berpikir, mengapa aku harus lulus? Seandainya tidak lulus, huh..

***

Sekolah Baruku

Pekan berikutnya, aku sampai di Ponpes Al-Wahdah Bombana ketika adzan Ashar berkumandang. Aku pun sholat bersama bapak di masjid ponpes yang bernama An-Nur.

Selesai sholat, santri-santri baru, termasuk aku, disuruh tinggal di masjid oleh ustadz yang pernah mengujiku waktu pendaftaran. Beliau menjelaskan peraturan-peraturan pondok tersebut. Bapakku keluar untuk mengurus administrasi. Ternyata, peraturan-peraturan pondok Pesantren Al-Wahdah mempunyai pasal-pasal dan pembagian yang begitu panjang. Aku mengatakan dalam hati, “Seperti undang-undang saja.”

Penyampaian peraturan itu belum selesai juga setelah satu jam lewat beberapa menit. Jam menunjukkan pukul setengah enam. Aku keluar dari masjid. Orang tua dan adik perempuanku menunggu untuk cepat-cepat membeli perlengkapan sehari-hari, termasuk perlengkapan tidur untuk dipakai di pesantren.

Malam pun tiba. Murid-murid baru berkumpul di dalam masjid lagi untuk memperkenalkan diri. Saat aku masuk, “Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Kenapa terlambat?” Tanya ustadz yang pernah mengetesku dulu.

“Ada keperluan, jadi saya keluar sebentar,” jawabku dengan nada gemetar.

“Ohh, lain kali kalau mau keluar minta izin dulu ya!”

“Iye,” aku bernapas lega.

“Jadi siapa namanya pi Dik? Saya agak lupa karena banyak nama-nama baru di sini yang harus diingat.”

“Ildiansyah.” Aku sedikit tersenyum.

Aku beserta santri-santri lain ditanyakan berbagai macam dan disuruh untuk mondok di Pesantren Al-Wahdah itu.

Oleh karena harus mulai tinggal, aku berpamitan kepada kedua orang tua. Setelah mereka pergi, aku masuk ke masjid untuk melaksanakan sholat Isya.

Untuk makan malam, kami mengantri. Cuci piring masing-masing setelah makan, lalu menyiapkan kasur untuk tidur. Tempat tidur kami adalah di masjid, sekaligus sebelumnya kami juga makan di situ. Hal itu karena asrama yang terbuat dari kayu bertingkat dua sudah penuh oleh lemari santri lama. Jadi, lemari-lemari santri baru ditempatkan di dalam masjid.

Aku belum mempunyai lemari karena belum dibelikan orang tua. Kemungkinan karena banyak yang memborong lemari. Barang-barangku pun ditaruh di sudut masjid tanpa lemari.

Kasur sudah dipersiapkan, kami langsung tidur. Ketika bangun, tidak dirasa Subuh telah tiba. Sholat berjamaah di masjid, dilanjutkan dengan halaqoh untuk membaca Dirosa. Apa itu Dirosa? Ini seperti Iqro, tetapi lebih singkat dan gunanya untuk memperbaiki bacaan Al-Qur’an.

Dirosa selesai, kami makan, mandi, masuk membaca Dirosa lagi sampai jam sembilan pagi. Istirahat, dilanjutkan sampai jam dua belas.

Tidur siang setelah sholat. Ketika sore, halaqoh lagi atau bermain games. Begitulah keseharianku di Ponpes Al-Wahdah. Tiga hari setelah aku masuk, baru datang lemariku. Tiga harinya lagi, baru datang santri lama.

Datangnya Santri Lama

Pada sore hari, banyak santri yang datang karena masa liburan telah berakhir. Ketika malam hari, setelah sholat Isya dan ta’lim, semua santri disuruh berkumpul untuk menjelaskan lagi peraturan yang belum selesai dibahas ketika itu. Kami dijelaskan bahwa peraturan itu dibuat agar tidak ada lagi yang mencuri, merokok, dan lain sebagainya seperti tahun lalu.

Selesai membahas peraturan yang begitu panjang, semua santri makan malam. Ternyata, antreannya begitu panjang karena bertambahnya santri. Dalam kondisi perut yang sudah kenyang, tempat tidur pun disiapkan di dalam masjid.

Kami berbincang-bincang dulu sebelum tidur, dari menyala lampu masjid sampai dimatikan. Ketika berbicara tentang banyak hal, ada ustadz datang. Kami pura-pura tidur agar ustadz tidak memarahi. Begitu ustadz pergi, kami berbicara lagi sampai jam sepuluh lewat beberapa menit.

***

Pelajaran umum juga kami pelajari. Harus bersiap-siap dari jam 07.30. Jika terlambat, biasanya ada hukuman dari ustadz.

Sempat kami berlomba mengambil antrean mandi selesai halaqoh. Biasanya sih aku duluan mandi. Namun, pernah juga, sesekali aku tidak sempat mandi, padahal sedang berbaris karena memang terlambat mengantre.

Biasanya, santri laki-laki suka dengan sepakbola walaupun lapangan yang ada kecil. Selain sepakbola, santri laki-laki juga suka permainan tenis meja. Sebagian santri juga ada yang melakukan kegiatan selain berolahraga dan lain sebagainya. Kalau aku biasanya jarang berolahraga karena itu bukan hobiku. Aku sering menonton saja sambil duduk di kursi dekat lapangan.

Tempat Baru

Hari Ahad suatu ketika, semua santri disuruh untuk pergi bekerja bakti di tempat yang akan dijadikan asrama khusus laki-laki. Sekitar jam setengah delapan, kami berjalan kaki ke arah gunung. Aku kira tempat yang akan dijadikan asrama itu ada di puncak gunung. Padahal, tempatnya ada di dalam hutan yang terdapat beberapa rumah, di sampingnya ada sawah yang sangat hijau. Belakang sawah ada hutan dan empang.

Santri yang selesai kerja bakti, langsung berolahraga. Kami bermain bola karena ada yang memang membawa bola. Aku seperti biasa tidak ikut berolahraga. Hanya melihat rumah-rumah bantuan yang akan dijadikan asrama nantinya.

Sekitar jam 10.00, kami pulang, kembali ke pondok lama. Pada pekan-pekan berikutnya, seluruh santri di pagi hari Ahad, bersiap-siap pindah. Rumah bantuan dari pemda Bombana yang akan dipakai untuk asrama sudah jadi.

Lemari-lemari yang ada di dalam asrama kayu dan masjid dikeluarkan. Barang-barang itu akan diangkut dengan mobil open kap. Sambil menunggu datangnya mobil, kami sarapan nasi kuning.

Sebelum sampai di sana, kami berkumpul untuk dibagi menjadi enam asrama. Setiap asrama dipecah menjadi 13 orang, ada juga yang 12 orang.

Mobil yang kami tunggu-tunggu telah datang. Tandanya dari suara klaksonnya. Beberapa kali mobil itu bolak-balik mengangkut segala lemari kami. Aku baru tahu, mobil itu mengambil jalan yang berbeda ke asrama baru.

Sebelum rumah asrama ditempati, kami perlu membersihkannya. Kami juga harus mengatur lemari-lemari yang ada. Ustadz membariskan kami di depan asrama. Diberitahu dari yang paling ujung. Dua rumah bantuan akan dijadikan musholla. Rumah ustadz di dekat musholla. Ada asrama Badar, Uhud, Khandaq, Khaibar, Tabuk, Hunain, dan satu lagi rumah ustadz sekaligus kantin.

Asramaku bernama Badar. Ketika ustadz datang, rumah bantuan sekaligus sebagai musholla dipindahkan di tengah. Susunannya menjadi berubah. Rumah ustadz baru di ujung, rumah ustadz lagi, asrama Badar, Uhud, musholla, Khaibar, Tabuk, dan rumah ustadz plus kantin. Asramaku berubah menjadi Uhud.

Capeknya Menuntut Ilmu

Halaman depan asrama sangatlah luas. Kebiasaan kami setelah Subuh dan halaqoh tetap berlomba untuk mandi. Kami menunggu mobil hitam yang sering digunakan ke pesantren lama.

Namun, aku teringat bahwa mobil hitam itu sudah rusak. Ada santri yang melempar, lalu terkena kaca belakang. Mobil itu bukanlah milik pesantren, melainkan milik seorang ustadz. Akhirnya, ustadz tersebut mengambil kembali mobil hitamnya.

Oleh karena tidak ada mobil lagi, semua santri, mulai dari kelas 7 SMP sampai 12 SMA jalan kaki pergi ke pondok lama. Walaupun berjalan, aku tidak bosan karena beramai-ramai. Berjalan melewati kebun jambu mente, cokelat, semangka, sayuran, melewati hutan, pohon asam yang besar, hutan, melewati kali, kebun lagi, dan tembus juga di pesantren lama. Keringatku minta ampun, deh! Percuma mandi pagi-pagi kalau berkeringat sampai di sana. Jadi, banyak santri yang tidak mandi pagi ketika pergi ke pondok lama, hahaha..

***

Paling berat ketika puasa Senin-Kamis, apalagi kalau mau pulang kembali ke asrama khusus laki-laki. Ampuh deh godaannya begitu berat. Banyak di jalanan toko yang menjual makanan ringan, kalau jalanan yang lewat hutan banyak buah, seperti: asam, semangka, coklat, jambu mente, mangga, dan gersen. Berat cobaan yang harus dihadapi, huh!

Ketika sudah sampai lagi di pesantren khusus laki-laki, aku ingin tidur siang, karena telah menghadapi cobaan yang begitu berat setiap kali pergi ke pondok lama. Namun, ada terus cobaan yang harus dihadapi olehku dan semua santri laki-laki, yaitu: kepanasan. Jadi, tidak bisa tidur, deh, karena asrama adalah rumah bantuan yang terbuat dari seng dan ukuran asrama itu sangat kecil. Panasnya minta ampun, deh!

Air Hujan

Suatu hari, aku dan teman-teman berada di pondok lama. Hujan sangat deras. Kami belajar di pondok lama. Selesai belajar, kami pergi di Masjid An-Nur. Dalam masjid, kami merasakan hujan bertambah deras. Ketika hujan agak tenang, kami pun memutuskan untuk kembali ke pondok laki-laki.

Tepat di samping masjid, kami melihat got yang sangat besar mengalir air yang begitu cepat. Airnya keruh sekali, seperti tanah yang mengalir sangat cepat. Padahal itu cuma air.

Santri-santri seperti kelas 7 SMP sampai 12 SMA melewati jalur yang dekat, yaitu: jalur hutan. Namun, harus melewati got yang banjir itu. Sedangkan aku dan teman-teman sekelas memilih jalur yang jauh, yaitu: jalur jalanan.

Hujan kembali turun dengan deras. Kami pun berlari. Ada sebuah parkiran yang berada di pertengahan jalan menuju pesantren. Nah, di parkiran itulah, kami berteduh.

Ketika menunggu hujan, satu rombongan santri SMP dengan santai lewat. Baju sekolah mereka basah sekali. Kami saling menyapa. Mereka telah lewat, sedangkan aku dan teman-teman sekelas masih menanti hujan reda.

Kami terkejut, ternyata jam hampir menunjukkan dua belas siang. Tanpa berpikir lama, langsung saja menerobos hujan yang deras itu. Jelas membuat basah kuyup.

Aku melihat awan yang sangat gelap menutupi gunung. Aku berpikir, apakah kami akan sampai tepat waktu? Masih di pertengahan jalan, kami melihat genangan air yang berwarna kuning. Ketika itu, kami malah main dengan cara melempar batu dan mengenai genangan. Menciptakan cipratan yang mengenai kami. Ditambah kami main hujan-hujanan karena memang hujan bertambah deras, deras, dan deras.

Iqomat dikumandangkan saat sudah terlihat pondok pesantren oleh kami. Situasi tersebut menjadikan kami berlari dengan sangat cepat. Temanku berteriak, “Ayo, cepat, cepat, cepat!”

Baju kami yang sangat basah kuyup diganti dengan baju sholat. Saat sedang mengganti baju bersamaan dengan para santri lain melaksanakan sholat Dzuhur. Menuju ke musholla, lho, ternyata sudah selesai sholat. Ada ustadz bertanya, “Kenapa lama pulang?”

“Anu, Ustadz, deras sekali hujan, Ustadz,” jawab salah satu temanku.

“Ah, alasan ji itu,” bantah ustadz. “Kalau begitu, cepat mi sana pergi sholat!”

Hujan masih deras setelah kami sholat.

Kecelakaan

Suatu sore, aku dan anak SMA lainnya bersiap-siap untuk pergi ta’lim di pondok lama. Yang membawa mobil adalah santri yang memang bisa menyetir, karena para ustadz lain sedang sibuk. Mobil yang dibawa ini berbeda lagi dengan mobil hitam waktu itu. Mobil ini adalah mobil pesantren, warna hijau dan punya logo “Pesantren Al-Wahdah”.

Beberapa menit sebelum adzan, kami pun berangkat. Ketika pertengahan jalan, sopirnya mengebut karena sebentar lagi akan sholat Maghrib. Banyak yang berteriak, “Jatuh kita nanti ini!”

Akhirnya, mobil menginjak seperti batu atau lubang. Ditambah jalanan banyak kerikil, jadi mobil kehilangan kendali. Mobil bergoyang seperti ular. Sopir membanting ke setir. Kanan, kiri, kanan, dan kiri. Brakk! Mobil menabrak pohon dan terjatuh di got yang dalamnya hampir setengah badan manusia dewasa.

Berhenti, lalu mobil terbalik. Pintu sebelah kanan di atas, pintu sebelah kiri di bawah. Jadi, kami harus memanjat ke pintu yang di atas. Untung pintu mobil kacanya terbuka sehingga kami tidak perlu memecahkan kaca.

Ternyata ada salah satu santri yang tangan kirinya terjepit oleh dahan pohon di dalam mobil. Kaca bagian kiri terbuka, jadi dahan pohon tersebut berhasil masuk dan menjepit tangannya. Dia berteriak kesakitan, semua yang di situ bergerak cepat menolongnya.

Kalau aku, sibuk juga dengan urusan sendiri. Aku melihat sopir mobil, teman santriku, kebingungan dan terlihat dia merasa resah dalam pikiranku. Akhirnya, dia pun ingin melarikan diri. Dia memberi kunci mobil. Aku bertanya, “Mau ke mana?”

“Nggak tahu, Teman, yang penting melarikan diri!” Jawab santri itu. Dia masuk ke dalam hutan.

Ada seseorang mendatangi dan menolong kami. Memakai sepeda motornya, pergi ke pesantren, melapor bahwa mobil kecelakaan. Dua santri pergi melapor.

Setelah mereka kembali, bersama ustadz yang ikut. Dia bertanya, “Kenapa bisa jatuh?”

“Anu, Ustadz, ada tadi dia injak batu,” jawab salah seorang santri.

“Mana pale sopirnya?”

“Melarikan diri, Ustadz.”

“Hem, harusnya jangan melarikan diri kalau begitu.”

“Iye, Ustadz.”

“Kalau begitu, jalan kaki pergi di pondok. Nanti pi diurus itu.”

Kami berjalan ke pesantren lama. Singgah sholat di masjid dalam perjalanan. Salah satu santri menjadi imam karena bagus bacaannya. Ketika sampai di pesantren lama, hanya tinggal beberapa menit sampai adzan Isya berkumandang.

Sholat Isya di Masjid An-Nur. Urusan sholat selesai, kami kembali pergi ke tempat kecelakaan bersama para ustadz yang ada di masjid tersebut.

Cara yang dilakukan adalah dengan mendorong mobil. Ternyata, tidak bisa keluar dari got. Ada ustadz yang datang dan mengajak semua untuk mengangkat sebelah mobil agar keluar dari got. Mobil berhasil kembali di jalanan.

Dalam perjalanan pulang ke pondok baru, seorang ustadz menaiki motor sambil menerangi jalan. Ketika sudah sampai, aku ditanya oleh santri, “Kenapa pulang jalan kaki, Ndi?”

“Kecelakaan mobil! Jatuh di got tadi.”

“Masa?” Ekspresinya seperti tidak percaya kepadaku.

“Terserah mi kalau tidak percaya.” Ujarku.

Aku makan malam karena memang sangat capek. Selesai makan, aku tidur. Besoknya, ustadz mencari santri atau sopir yang melarikan diri ditemani oleh santri lain. Beberapa saat kemudian, ustadz pun kembali dan kami menanyakan kepada salah satu santri, “Bagaimana?”

Dia menjawab, “Mau pulang kembali ke rumahnya.”

Itu adalah santri yang tadi ikut bersama ustadz.

***

Kami pergi ke pondok lama untuk sekolah. Ketika di tempat itu, kami pergi ke kelas. . Saat di jalan menuju ke kelas, aku menoleh ke kanan dan aku melihat mobil tadi malam diperbaiki oleh ustadz.

 

NB: Maaf jika tidak ada menyebutkan nama, karena saya takut menyinggung orang yang bersangkutan.

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.